Puasa Ketika Musafir

Oleh Drs. Jamhuri, MA¨

Perjalanan panjang meneluri Sembilan Kabupaten di Aceh, saya lakukan mulai pada tanggal (09/08) sampai dengan (13/08), perjalanan ini dilakukan dengan mengenderai kendaraan pribadi. Kami yang berangkat sebanyak tiga orang dari Banda Aceh dan menambah seorang sopir di Takengon Aceh Tenggah. Tujuan dari perjalanan tersebut adalah melakukan safari ramadhan di tiga Kabupaten:  Aceh Tengah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara, sedang kabupaten/Kota yang kami lalui adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya Bireuen dan Bener Meriah.

Jam 11.45 WIB kami sampai di daerah Cot Panglima, sambil menunggu dibukanya jalan yang sedang diperbaiki, kami berhenti dengan deretan mobil yang antrian panjang, terlihat beberapa kerumunan orang, diantara mereka ada yang merokok sambil menikmati buah rambutan yang mereka beli dari penjual rambutan yang ikut antrian.

Karena merasa risih melihat kami yang sedang berpuasa, diantara mereka ada berkata  “tadi malam mobil kami rusak di tempat yang sepi dan tidak ada yang menjual nasi”, karena saya tahu mereka adalah orang Gayo, saya jawab dengan bahasa Gayo “ i izin agama gere pasa ke wan perjelenen” (agama mengizinkan tidak berpuasa bila dalam perjalanan). Jawaban ini saya sebutkan karena ada ungkapan dalam al-Qur’an “faman kana minkum maridhan aw ‘ala safarin fa iddah min ayyamin ukhar” (siapa saja diantara kamu dalam kondisi sakit dan dalam perjalanan, maka boleh berpuasa pada hari yang lain).

Salah seorang diantara kawan kami dalam rombongan, ketika saya berseloro “ Awan ! (panggilan saya untuk dia) kalau mau tidak puasa boleh, Allah mengizinkan, beliau menjawab. Untuk sekarang ini tidak ada lagi alasan untuk berbuka (tidak puasa) dalam perjalanan, karena perjalanan yang jauh saat ini telah dilalui dengan mudah, tidak lagi melelahkan. Sedangkan dahulu jalan yang dilalui memang tidak sejauh sekarang dan waktu yang kita habiskan juga tidak selama dahulu, perjalanan dahulu melelahkan karena dilakukan dengan berjalan kaki.

Alasan yang dikemukakan “awan”  tadi betul juga, kalau kita renungkan. Namun saya berpikir kembali, kalau begitu keadaannya apakah yang namanya kebolehan makan diperjalanan ketika bulan puasa tidak boleh lagi, lalu bagaimana jawaban saya terhadap mereka “yang merokok dan makan rambutan” tadi bahwa agama mengizinkan tidak puasa ketika dalam perjalanan.

Di dalam al-Qur’an tidak menyebut berapa jauh perjalanan sesorang yang membolehkan tidak berpuasa, Allah juga tidak menyebut transportasi apa yang digunakan ketika melakukan perjalanan.  Kalau kita ingat-ingat riwayat dari Nabi, bahwa beliau menganggap suatu perjalanan itu sebagai safar lebih kurang dengan jarak 80 km (delapan puluh kilo meter). Perjalanan yang dilakukan pada masa Rasul dengan menggunakan transpor unta atau kuda, namun tidak ditemukan apakah beliau dan sahabatnya menunggang unta/kuda ataukah mereka berjalan kaki sambil menarik kenderaan mereka.

Akibat dari perjalanan mereka menunggang unta pasti berbeda dengan berjalan kaki sambil menarik unta, tetapi dalam riwayatnya tidak menyebut apakan perjalanan itu melelahkan atau menyenangkan, yang jelas mereka melakukan perjalanan dengan jarak lebih kurang seperti yang di sebutkan di atas.

Jadi alasan “awan” saya tadi, yang menjadikan lelah dan tidak lelah sebagai alasan boleh tidaknya berbuka puasa dalam perjalanan masih belum sesuai dengan kehendak ayat di atas. Di samping juga lelah dan tidak lelah sangat tergantung pada kondisi orangnya.

Ada juga pendapat ulama yang mengatakan bahwa dengan kemajuan alat transportasi sekarang, ukuran jarak 80 kilo meter bukanlah jarak yang sangat jauh. Kita bisa mengukur jarak seperti itu dan dapat ditempuh dengan waktu 1 jam dengan kecepat 80 km/jam, atau kurang dari 1 jam kalau jalannya bagus, atau lebih lama kalau kondisi jalannya jebih jelek. Karena itu ulama menawarkan, supaya kita tidak lagi berpikir jarak tetapi mulai berpikir lama. Artinya kalau dahulu orang menepuh jarak 80 km dengan waktu sehari semalam, maka alangkah adilnya kalau kita yang naik pesawat atau dengan kendaraan lain juga baru dianggap musafir ketika menghabiskan waktu sehari semalam perjalanan.

Namun ketika perjalanan safari ramadhan kami lalui saya tidak berpikir untuk tidak berpuasa, karena alasan bahwa ketika puasa itu saya tinggalkan maka saya harus menqadhanya pada bulan yang lain dan itu hal yang paling berat bagi saya. Saya juga beralasan mengerjakan berpuasa kendati dalam perjalanan agak pusing dan hampir muntah, karena saya teringat dengan ayat di atan tadi.

Di dalam ayat tersebut disebutkan mereka yang musafir diizinkan tidak berpuasa, kalaulah kata yang digunakan kata mengizinkan dan bukan merupakan keharusan maka akan lebih baik bagi saya untuk tidak meninggalkan puasa. Karena mengqadha puasa itu berat bagi saya dan juga bagi orang lain.

Akhir dari tulisan ini memberi pemahaman kepada kita bahwa, kalau kita melakukan perjalanan baik karena alasan safari ramadhan, bertugas atau karena wisata atau juga alasan lain. Maka kita punya hak untuk tidak berpuasa, hanya saja harus mengqadhanya pada bulan lain selain bulan ramadhan, kalau kita merasa keberatan dengan mengqadha maka hak tersebut tidak harus kita pergunakan.

Sedang dalam kaitannya dengan kata safara bagi mereka yang melakukan musafir, dengan jarak tempuh 80 km atau dengan lama tempuh sehari semalam atau kurang, maka tetap boleh tidak puasa. Dan kita harus mengingat kendati boleh kita harus tetap menghormati orang lain yang tidak menggunakan haknya, dan itu akan menjadi lebih baik sebagai solusi.



¨ Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.