Dampak Bahasa Kiasan Terhadap Sikap Si Penutur

Joni MN, A.Rima*

Manusia berkomunikasi dengan satu sama lain menggunakan sinar bahasa yang mempesonakan, masing-masing berbeda memiliki banyak cara. Apakah bahasa kita berbicara membentuk cara kita melihat dunia, cara berbahasa yang berpikir? Apakah orang-orang yang berbicara dan berbahasa yang berbeda juga berbeda cara mereka berpikir, hanya karena mereka berbicara dengan memakai bahasa yang berbeda? Apakah bahasa yang baru di pelajari dapat mengubah cara Anda berpikir? Hal ini dapat terjawab setelah kita memahami statements di atas, dan kemudian hal tersebut dapat terbukti apabila kita mau menerapkannya di dalam keidupan kita sehari-hari. Minsalnya, dengan memakai bahasa kiasan (Figurative) yang dapat membuat respondents memungsikan pikirannya secara full, guna untuk memahami maksud dan makna dari kalimat yang di lontarkan atau yang di ucapkan. Pengaruh bahasa yang bersifat figurative adalah sangat besar terutama terhadap keharmonisan di dalam elangsungkan komunikasi.

Bahasa kiasan menggunakan “tamsilan” – sebuah cara untuk mengatakan sesuatu yang lain daripada makna harfiah dari kata-kata. Misalnya, “Seluruh dunia adalah panggung” Frost sering menyebut mereka hanya sebagai “angka.” Frost mengatakan, “Setiap puisi yang saya tulis kiasan dalam dua pengertian ini akan memiliki tokoh di dalamnya, tentu saja, tapi itu juga tokoh itu sendiri – angka untuk sesuatu, dan itu dibuat agar Anda bisa mendapatkan lebih dari satu mencari tahu itu[1].

Jadi apabila pada setiap kali anda mengucapkan dengan cara menamsilkan, membandingkan dengan satu yang lain, hal ini sudah termasuk kedalam bahasa kiasaan. Pemilihan bahasa yang bernilai kiasan sangatlah efective didalam menjalankan kehidupan bersama manusia yang lain, guna melanggengkan keharmonisan dan ketentraman berinteraksi. Disamping memilki nilai phylosophy yang tinggi kata/bahasa figurative ini juga dapat menjaga ketersinggungan, dan dapat digunakan pada setiap acara. Beberapa contoh bahasa yang bernilai kiasan dan yang memiliki nilai philosopi yang sangat tinggi maknanya, yaitu penulis kutip dari bahasa kiasan/Filosophy Masyarakat Gayo takengen.

Pada saat kesal/marah :

katak mangan uwah, nguk…,engang si bolonen
(orang lain yang berbuat, lalu ada yang di antara kita yang ikut  jadi susah)

enti lagu kedidi paya si gere percaya kin bumi
(Orang yang hayalannya tinggi, yang tidak sesuai dengan    kemampuannya, dan orang yang tidak percaya kepada kenyataan)

Lagu tongar manut, isi selkat i sone sangkut
(orang yang tidak memiliki pendirian/tidak konsisten)

Lagu lemu i tangkuhen ari paya
(orang yang tidak tahu balas budi)/ (sudah di tolong kemudian menghianati si penolong)

Dan lain-lain

Nasehat :

Kapur boh jire, melas nge lepas, nesal nge munge.
(sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna)

Lelang lolo, lelang ku lah, lelang ku ewih, iyawin mutewah, i  jangko muleno.
(semua pekerjaan yang di kerjakan jangan tanggung-tanggung, tanggung ketengah, tanggung pula kepinggir, semuanya dalam keadaan ragu)

Mupolok ranting ku roroh, mulimak wih ku tiduk
(ini sering di gunakan orang tua (Ibu/ayah) pada saat menashati anak-anak mereka, yang bermakna; menunjukan sifat rendah diri)

Wo anak-ku, gelah lagu santan mulimak i bibirmu, tikel berbunge i delahmu,
(Bertutur katalah yang sopan dan baik, lemah lembut seperti lemaknya santan kelapa yang ada di bibir, seperti manisnya madu terasa di lidah)

Dan Lain-lain

Bahasa yang bernilai kiasan seperti di atas tidak lagi terdengar pada saat ini di tengah-tengah masyarakat Gayo, bahasa kiasan (figurative) hanya sering di pergunakan pada beberapa tahun yang lalu oleh orang – orang tua yang kelahiran 1940 s/d 1955, zaman ini bahasa tersebut sepertinya sudah terkubur, dan tingkah laku para orang tua kita dahulu juga dapat dibuktikan seperti; sopan di dalam bertutur kata, santun disaat bertindak dan lain-lain, tidak seperti orang – orang saat ini berbicara tampa berpikir terlebih dahulu, namun ada yang manis di bibir busuk di hati. Ini membuktikan hilangnya nilai-nilai budaya di dalam mental bahasa yang di pakai pada saat berkomunikasi dalam pemebntukan sikap.

Nilai – nilai adalah aspek evaluatif dari sistem – sistem kepercayaan, nilai dan sikap[2]. Hal ini disebabkan karena budaya memainkan suatu peranan penting dalam pemebentukan kepercayaan dan merupakan identitas si pemakai budaya itu sendiri atau mental bahasa. Nilai – nilai budaya biasanya berasal dari isu-isu filosofis lebih besar yang merupakan bagian dari suatu pedoman bagi masyarakatnya. Nilai – nilai suatu budaya menampakkan diri dalam prilaku para anggota budaya yang di tuntut oleh budaya tersebut.  Deddy Mulyana  dalam bukunya Komunikasi antar Budaya, hal beliau sebut dengan nilai-nilai Normatif. Seperti halnya dahulu sekitar tahun delapan puluhan sampai 90-an, hampir umat muslim seluruh Indonesia, lebih-lebih di Takengon Aceh Tengah, memberlakukan pembudayaan pada setiap Jum’at yaitu begitu shalat jum’at di mulai, para pengemudi di harap berhenti pada saat di pasang tanda lalulintas di depan, samping atau di bahagian belakang Masjid, dan setiap pekerja baik di kebun (pekerjaan pribadi), di kantor, di dalam bus dan Terminal semuanya memberhentikan kegiatannya sementara, bagi siapa-siapa yang tidak menuruti peraturan ini maka akan di datangi oleh ulama dan di beri tegoran. Hal inilah yang dimaksud dengan prilaku Normatif dan yang menjalankan nilai-nilai normatif di dalam kehidupan mereka, namun pada saat ini sedikit sekali orang-orang menerapkan hal tersebut, realitasnya, begitu saat Azan Jum’at berkumandang ternyata masih banyak orang-orang yang melanjutkan pekerjaan mereka, apabila ada orang yang meninggal di salah satu, terlihat yang masih juga menjalankan kegiatannya seperti  biasa, malah yang yang memutar tape recorder, hal ini tahun terdahulu tidak terlihat di daerah dataran Tinggi Gayo, tetapi sekarang sudah mulai muncul di tempat tersebut atau dengan kata lain semakin banyak orang yang pinter semakin banyak pula orang yang meninggalkan norma dan nilai-nilai normatif di dalam menjalankan kehidupan mereka.

Nilai-nilai ini sebenarnya sangat banyak memberikan kontribusi bagi pengembangan sikap dari diri manusianya. Mungkin sikap dapat di definisikan suatu kecendrungan yang di peroleh dengan cara belajar untuk merespon sesuatu secara fokus dan terus menerus. Sikap hanya dapat di pelajari di dalam suatu kontek budaya. Bagaimana lingkungan kita dan kemudian lingkungan tersebut akan memberi konstribusi kepada orang yang ada pada lingkungan tersebut. Dan kemudian lingkungan itu juga ikut membentuk sikap kita, kesiapan kita untuk merespon dan kemudian akhirnya menjadi prilaku dan mental.

Proses mental yang terjadi pada saat kita berinteraksi dengan lingkungan dan berbicara ataupun proses mental yang terjadi pada saat mendengar, mengingat dapat diterangkan dengan suatu sistem kognitif yang ada pada manusia. Manusia mempunyai suatu sistem penggunaan bahasa dan psikology bahasa yang memperlajari cara kerja dari sistem ini[3].  Sistem ini menerangkan bahwa bagaimana manusia dapat menyampaikan pikiran dengan kata-kata (produksi Bahasa) dan bagaimana manusia dapat mengerti “isi Pikiran” atau makna dari suatu kalimat yang di ucapkan atau di tulis (persepsi Bahasa).  Jadi sistem –sistem pengguna bahasa atau Language User sangat berhubungan dengan yang lain di dalam memproduksi bahasa dan emiliki tugas yang berbeda, hal ini di kuatkan oleh G.Kampen, 1975, di dalam buku Prof.Dr. Samsunuwiyati Mar’at yaitu yang membahas tentang Psikolinguisti, hal 34, 2009, bahwa “dalam model itu menjelaskan bahwa sistem penggunaan bahasa itu terdiri dari sistem bagian-bagian yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain secara erat dan masing-masing bagian memiliki tugas masing-masing (G.Kempen, 1975). Dalam hal ini beliau menjelaskan bahwa kedudukan  Language User dengan sistem penggunaan bahasa dalam kognitif manusia sangat ketergantungan khususnya pembiasaan budaya si-pelakunya. Fungsi – fungsi dari sistem tersebut sebagai mengenal bunyi-bunyi, menganalisis kalimat, sistem konseftual, artikulasi, dan leksikol. Sistem-sistem tersebut juga dapat di pengaruhi oleh lingkungannya yaitu proses mental yang di hadapi saat mereka berinteraksi, sehingga nilai-nilai yang terrekam pada diri manusia itu untuk di komunikasi sesuai dengan apa-apa yang mereka respon dari produk budaya yang teremplementasi di keseharian mereka. Kebiasaan yang ter-persepsi di dalam kognitif para pelaku budaya adalah dunia bagaimana mereka berkomunikasi dan bertindak secara wajar.

Berhubungan dengan hal tersebut di atas, bahwa bahasa yang berbudaya sangatlah menentukan keberhasilan mereka disaat berkomunikasi atau saat memakai bahasa tersebut. Jenis bahasa yang di pakai juga sangat mempengaruhi cara manusianya untuk bertindak, karena pemilihan kosa-kata dapat memberi dampak baik negatif atau positif kepada para partisipantnya, hal ini dapat terjadi karena para pelaku budaya daapat memfungsikan kognitifnya sehingga proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran, dan pendekatan-pendekatanterhadap yang terdapat dalam komponen budaya dapat terpecahkan. Seperti penggunaan kebiasaan fonology, tinggi rendahnya suara, pemilihan kata-kata (antara kata-kata anak-anak, orang dewasa dan orang tua), dan gaya berbahasa, di dalam budaya yang diajarkan bahwa kita harus mengetahui kepada siapa, dimana, apa yang akan dibicarakan atau di kerjakan.

Hal ini diperkuat oleh pendapat para ahli, seperti;

  • Wittgenstein: “batas-batas bahasa berarti batas-batas duniaku” Ia berarti bahwa satu-satunya cara kita dapat memahami dunia kita adalah melalui bahasa.
  • Sapir mengklaim bahwa kita mengalami hal-hal karena bahasa yang kita gunakan panduan pikiran kita. Perpanjangan dari ini adalah bahwa bahasa yang berbeda panduan mereka dengan cara yang berbeda – penutur bahasa yang berbeda tidak hanya berbicara secara berbeda, mereka berpikir secara berbeda.
  • Whorf: “. … Kami memotong alam, mengatur ke dalam konsep-konsep dan menggambarkan signifikansi seperti yang kita lakukan, terutama karena kita adalah pihak yang mencapai kesepakatan yang memegang dalam pola bahasa kita”

Dari penjelasan di atas, dipandang perlu ditumbuhkan dan pembentukan nilai – nilai yang sebenarnya guna memberikan kontribusi bagi pengembangan sikap dari diri manusianya si pelakunya. Karena aspek evaluatif dari sistem dapat membentuk kepercayaan, nilai dan sikap yang memberi identitas diri kepada manusianya.

Suara manusia terdiri dari suara yang dibuat oleh manusia menggunakan lipatan vokal, bagian tubuh, untuk berbicara, menyanyi, tertawa, menangis, berteriak, dll Its rentang frekuensi dari sekitar 60-7000 Hz. Suara manusia secara khusus bahwa bagian dari produksi suara manusia di mana lipatan vokal (pita suara) adalah sumber suara utama. Secara umum, mekanisme untuk menghasilkan suara manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian, paru-paru, lipatan vokal dalam laring, dan artikulator-artikulator. Paru-paru (pompa) harus menghasilkan aliran udara yang memadai dan tekanan udara bergetar lipatan vokal (ini tekanan udara adalah bahan bakar dari suara). Lipatan vokal (pita suara) adalah katup bergetar bahwa daging sampai aliran udara dari paru-paru menjadi pulsa terdengar yang membentuk sumber suara laring. Otot-otot laring menyesuaikan panjang dan ketegangan lipatan vokal untuk pitch ‘fine tune’ dan nada. Para artikulator (bagian dari saluran vokal di atas laring terdiri dari pipi lidah,, langit-langit, bibir, dll) mengartikulasikan dan menyaring suara yang berasal dari laring dan sampai tingkat tertentu dapat berinteraksi dengan aliran udara laring untuk memperkuat atau melemahkannya sebagai sumber suara[4]

Bahan Bacaan:

  1. S. C. Levinson and D. P. Wilkins, eds., Grammars of Space: Explorations in Cognitive Diversity (New York: Cambridge University Press, 2006).
  2. Levinson, Space in Language and Cognition: Explorations in Cognitive Diversity (New York: Cambridge University Press, 2003).
  3. B. Tversky et al., “ Cross-Cultural and Developmental Trends in Graphic Productions,” Cognitive Psychology 23(1991): 515–7; O. Fuhrman and L. Boroditsky, “Mental Time-Lines Follow Writing Direction: Comparing English and Hebrew Speakers.” Proceedings of the 29th Annual Conference of the Cognitive Science Society (2007): 1007–10\
  4. Casasanto et al., “How Deep Are Effects of Language on Thought? Time Estimation in Speakers of English, Indonesian Greek, and Spanish,” Proceedings of the 26th Annual Conference of the Cognitive Science Society (2004): 575–80.

 

Kin Sudereng-ku bewene:

Deret ni uwer i pangan kule, deret ni taraq i pangan supaq – sehinge denie ni nge telangisi, kite nantin mi ke dedalu kin kayu asal, gerupel dene ku serge????



[2] Dr. Deddy Mulyana, M.A., DRS. Jalaluddin Rahmat, M.Sc. Remaja Rosda Karya Bandung,ISBN 979-514-782-X, 2009

[3] Prof.Dr. Samsunuwiyati Mar’at, Psi.Psikolinguistik, ISBN 979-3304-49-9, PT.Refika Aditama Bandung,2009.h.35

[4] Titze, IR; Mapes, S; Story, B (1994). “Acoustics of the tenor high voice.”. The Journal of the Acoustical Society of America 95 (2): 1133–42. doi:10.1121/1.408461. PMID 8132903

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.