Jakarta (Pinmas) | Lintas Gayo : Pemerintah akan menggelar sidang itsbat penetapan 1 Syawal 1432 H pada Senin, 29 Agustus 2011. Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kementerian Agama Muhyiddin mengatakan, sidang dilakukan sesuai ketetapan yang berlaku dalam syariat, yaitu penetapan awal bulan, terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah oleh pemerintah.
“Tapi, pemerintah tak bisa memaksakan hasil keputusan sidang itu kepada masyarakat,” kata Muhyiddin di Jakarta, Ahad (21/8). Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Pemerintah, kata dia, hanya mengimbau agar masyarakat menyikapi perbedaan dengan arif, termasuk jika ada perbedaan dalam perayaan Idul Fitri.
Sidang itsbat melibatkan sejumlah pakar hisab rukyat dan instansi yang tergabung dalam Badan Hisab Rukyat (BHR). Di antaranya, Observatorium Bosscha ITB, Planetarium Jakarta, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Di samping itu, ada 12 titik pengamatan hilal dalam penentuan 1 Syawal.
Titik-titik itu, di antaranya adalah Observatorium Hilal Lhok Nga, Aceh; Pekan Baru, Riau; Menara Timur Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung; Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, Jawa Barat; Pos Observasi Bulan (POB) Bukit Bela-belu, Bantul, Yogyakarta; Mataram, Nusa Tenggara Barat; SPD LAPAN, Biak, Papua; Makassar, Sulawesi Selatan; Samarinda, Kalimantan Timur; Nusa Tenggara Barat; Pantai Gebang, Madura; SPD LAPAN Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.
Secara terpisah, peneliti senior Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengatakan, perayaan 1 Syawal 1432 H berpotensi mengalami perbedaan. Ini dipicu oleh penggunaan kriteria hilal yang barbeda sebagai acuan penetapan awal Syawal. Bagi mereka yang menggunakan kriteria wujudul hilal dipastikan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011.
Kalangan yang memakai kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat), besar kemungkinan berhari raya pada 31 Agustus 2011. Sebab, ketinggian bulan pada 29 Agustus kurang dari dua derajat sehingga tak memungkinkan hilal terlihat dengan mata telanjang. Sementara, batas bulan menurut kriteria tersebut mesti berada di atas dua derajat. “Jadi, berpotensi berbeda,” katanya.
Perbedaan itu, kata Thomas, tidak mustahil akan terulang di masa mendatang selama tidak ada kesepakatan tentang kriteria itu. Ia mengusulkan penyamaan sistem kalender Hijriah. Diperlukan tiga syarat utama untuk mewujudkannya. Indonesia sudah memenuhi dua syarat, yaitu batas wilayah dan otoritas tunggal, dalam hal ini menteri agama. Tetapi, Indonesia belum memiliki kesamaan kriteria.
Penyamaan kriteria itu, menurutnya, bisa mengacu pada ketentuan yang berlaku dalam astronomi. Ia mengusulkan kriteria hisab rukyat Indonesia. Kriteria itu yaitu jarak sudut pandang bulan-matahari lebih dari 6,4 derajat dan beda tinggi bulan-matahari lebih dari empat derajat. Upaya penyatuan tersebut tengah ditempuh oleh pemerintah. “Saya yakin itu akan terealisasi.” (rep/nashih/kemenag.go.id)