“Awan Dollah aku datang…”
Kutembus waktu begitu aku memasuki kampung halamanku, tempat dimana aku dilahirkan dan kenangan yang tak dapat beranjak sedikitpun dari ingatan. Sepuluh tahun telah berlalu dan kini aku akan menemui lebaran di kampung halamanku setelah waktu dan jarak begitu lama telah terpisah.
Selesai aku mengorek segala nostalgia dengan gunung yang gagah nun indah, danau yang terbentang begitu pasrahnya, udara dingin yang saling mencintai, sungai-sungai yang merayap bernari tak mau tenang dan rumah di bukit-bukit bercucul mengintip seolah ingin tahu. Aku yakin negeri kampung halamanku ini adalah negeri surga picisan di atas awan. Daerah yang hanya pada lebaran saja orang akan membludak, tidak di hari biasa.
Kutuju sebuah Meunasah atau Masjid kecil kampung tempat aku mengaji dan menimba ilmu agama, saat dulu kala ketika aku masih kecil. Kuputar ingatan; dari 360 hari, ada satu hari yang sangat kami tunggu-tunggu: Malam Takbiran. Kami sangat bahagia ketika malam takbiran tiba, selain begitu ramainya tempat kelahiranku dimana semua keluarga kembali saling temu, selain suara takbir berkumandang dan selain mercon-mercon saling bersahutan. Selain kami anak kampung mendapatkan baju baru dan selain kebahagian itu semua, kami kembali akan bertemu dengan seorang kakek yang sangat kami kagumi dan sangat kami sukai hikayat-hikayatnya, kami memangilnya; “Awan Dollah..”
Awan Dollah hanya mau memberikan hikayat-hikyatnya pada malam takbiran saja, dan itu pun terbatas hanya dengan kami saja yang anak-anak. Dia tak mau berceramah di Meunasah pada hari jum‟at atau hari-hari lainnya. Entahlah, kami tak tahu alasannya, padahal Awan Dollah termasuk orang yang sangat dihormati dan dituakan dikampung kami. Aku juga banyak mendengar bahwa Awan Dollah waktu mudanya adalah seorang Kiayi muda yang sangat disegani sesantreo Sumatra, namun akhirnya Awan Dollah mundur dari dunia para penceramah. Kata banyak orang, Awan kecewa dengan kehidupan Kiayi-Kiaya yang tak tuntas dalam beragama sedangkan kehidupan rakyat kampung—yang semakin diberikan pencerahan malah semakin sesat jalan yang ditempuh. Aku jadi bingung; “sebenarnya yang keras kepala itu Awan Dollah atau rakyat kampung kami?” Tapi kami tetap mencintai Awan Dollah.
Aku sungguh merindukan sosok yang pasti dahulunya bukanlah orang sembarangan; cara bertutur yang luar biasa indahnya, tak ada rasa ingin menggurui sedikit pun, bahkan setelah aku pergi dari kampung ini baru aku menyadari bahwa kakek tua berjenggot panjang yang selalu bangun lebih pagi dari orang-orang kampung itu sering mengutarakan guyonan khas Persia dan Arab. Tak banyak yang mampu melakukannya kecuali ahli-ahli tafsir yang paham seluk beluk negeri-negeri Nabi dan Rasul tersebut.
Aku masuki Meunasah, berharap akan menemukan sosok Awan Dollah. Aku tahu malam ini adalah malam Takbiran. Malam kemenangan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Awan Dollah pasti akan berbicang tentang hikayat-hikayatnya kepada anak-anak kecil. Namun tak bertemu aku dengan apa yang kucari. Duduklah aku dengan sedih, takut aku bertanya kepada orang sekitar yang sedang tadarus. Takut aku menerima kabar yang tak sanggup aku terima. “Aku tak kuat…”
Termenung di sudut belakang Meunasah, kuputar hikayat terakhir yang aku dengar dari Awan Dollah sebelum berangkat meninggalkan tanah kelahiranku ini. Awan Dollah berbicara tentang sejarah Idul Fitri,—cerita yang paling aku kagumi; “Jauh sebelum ada Islam, masyarakat jahiliah Arab sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan. Mereka menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Selain menari-nari, baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka juga bernyanyi dan menyantap hidangan lezat serta minuman memabukkan, pakaian mewah dan pemborosan yang luarbiasa hebatnya.” Kata Awan Dollah dengan tenang dan khusuk.
Aku langsung bertanya; ”apa bedanya dengan saat ini Awan?” aku lanjuti lagi. “atau hanya bentuknya saja yang berbeda?”
Awan Dollah hanya tersenyum tak menjawab pertanyaanku, dia elus rambutku sambil tersenyum lebar menampakkan giginya yang berderet rapi.
Awan Dollah meneruskan; “Nairuz dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman Persia Kuno. Namun setelah turunnya kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2 Hijriah.” Sambil mengelus jenggotnya dengan matanya yang menerawang, “Rasulullah SAW bersabda; „Sesungguhnya Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.‟”
“Bagaimana dengan perayaan untuk umat beragama lain?” Aku tahu hanya aku yang terus bertanya, teman-temanku yang lain sudah beku tersihir oleh kharisma Awan Dollah.
Dengan tenang awan Dollah menjawab, “semua umat memiliki perayaan besarnya masing-masing dan kita harus menghormati hal tersebut.” lalu melanjutkan hikayatnya: “Hari Raya Idul Fitri untuk pertama kalinya dirayakan umat Islam, selepas Perang Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijriah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Sebanyak 319 kaum Muslimin harus berhadapan dengan 1.000 tentara dari kaum kafir Quraisy.”
Aku hafal sekali cerita itu; hingga pada saat itu, Rasulullah SAW dan para sahabat merayakan dua kemenangan, yakni keberhasilan mengalahkan kaum kafir dalam Perang Badar dan menaklukkan hawa nafsu setelah sebulan berpuasa. Menurut sebuah riwayat, Nabi SAW dan para sahabat menunaikan shalat Id pertama dengan kondisi luka-luka yang masih belum pulih akibat Perang Badar.
Ada satu bagian yang sangat aku senangi walaupun pada saat itu aku tak paham maknanya, dan aku menuliskannya agar tak lupa, setelah besar aku mencari dan memahami mengenai hakikat Idul Fitri; “Sejatinya, hakikat Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas
nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasill menundukkan nafsu, kaum Muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan dapat kembali ke fitrah. Yakni kembali ke asal kejadian.”
Lamunan ku digugah, pintu Meunasah akan dikunci karena semua akan dipindahkan ke lapangan sepak bola untuk mempersiapkan Shalat Id besok hari.
Namun ada yang sangat mengganjal dalam hatiku setelah aku melewati lebaran pertamaku di negeri orang dan setelah aku kembali ke kampung halamanku. “Kenapa hakikat Idul Fitri yang dikemukakan oleh Awan Dollah sama sekali tidak seperti realitanya?” aku bertanya pada diri sendiri; kenapa seseorang harus memaksa mudik, apa mudik adalah budaya Islam? Andai mudik adalah sesuatu hal yang tidak melangar nilai-nilai agama, tapi bagaimana dengan orang miskin yang memaksakan untuk mudik? Mana yang harus didahulukan agama yang mengikuti budaya atau sebaliknya, budaya yang mengikuti agama.
Pertanyaan demi pertanyaan terus tercetak di otakku; Apakah Idul Fitri harus membeli baju baru? apakah Idul Fitri harus memasak rendang dan ketupat? apakah Idul Fitri mengharuskan seseorang untuk menerima tamunya dengan bermewah-mewahan hingga seseorang harus berutang? Dan bagaiman menetukan, andai ada 2 keyakinan yang tak sepemahaman dalam menentukan jatuhnya hari Idul Fitri sehingga Indonesia akan ada 2 golongan yang tak sependapat? Bagaimana dengan pemerintahannya?
Dimana engkau Awan Dollah, ingin aku selesaikan segala kegelisahanku dengan menara pengatahuanmu untuk mengisi secawan ingin tahuku agar aku tak sesat di hari yang suci dan bersih ini seperti aku yang sebelum-belum.
Hatiku berkecamuk gemuruh, “aku rindu Awan Dollah…..” (Yaumil Fauzi Gayo)