Hukuman ”Jèrèt Naru”

Yusra Habib Abdul Gani[1]

Salah satu hal yang menarik dan spesifik dalam hukum adat masyarakat Gayo adalah dikenalnya istilah ”Jèrèt Naru” (Kuburan Panjang). Sesungguhnya, istilah ”Jeret Naru” hanyalah bahasa lain dari ”Hukuman Buang” (exile)yang dijatuhkan kepada seseorang, karena terlibat dengan pelanggaran sexual yang terjadi dalam lingkungan keluarga (’incest’), clan dan sekampung.

Dalam masyarakat gayo, pelanggaran sexual merupakan delik yang sangat ’aib; karena itulah dalam hukum Adat Gayo, hukuman moral terhadap pelaku kejahatan ini dinamai dengan ”Jèrèt Naru” (Kuburan Panjang), yang secara simbulik berarti: pelakunya dianggap hilang, terbuang, mati, tidak akan kembali lagi buat selama-lamanya dan putus hubungan sosial dan moral dengan masyarakat kampung asal.’

Dahulu –setidak-tidaknya- sampai awal tahun 1960-an, untuk menghindari terjadinya kasus pelanggaran sexual, setiap belah di masing-masing kampung punya pasukan pengawal keamanan yang terdiri dari pemuda-pemuda yang aktif berjaga-jaga di post ”Serami Bebujang”, sehingga kalau ada pihak luar yang mengganggu anak gadis di suatu belah, sudah pasti akan berhadapan dengan pemuda-pemuda pengawal. Anak muda dari belah lain, tidak boleh masuk ke wilayah berdaulat suatu belah dengan sesuka hati, sebelum melapor kepada bebujang yang bertugas di post jaga (Serami). Sistem pertahanan ini untuk menjaga dan melindungi kehormatan, marwah dan harga diri wanita dari gangguan dan tindakan pelècèhan dari lawan jenis. Dalam peradaban masyarakat adat gayo, tindakan pelècèhan ini dibebut ”Sumang”, meliputi: sumang pecerakan, penèngonen, pelangkahan, apatah lagi mengganggu dan menodai. Dengan cara demikian, nilai-nilai Islam sebagaimana diamanahkan dalam Qur’an yang menyebut: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (Surah an-Nur, ayat 30) dan “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dada mereka...” (Surah an-Nur, ayat 31), benar-benar terjaga.

Hal yang sama didapati dalam peradaban masyarakat muslim Arab dikenal dengan ”Ghirah”, yakni: tidakan melindungi/membela agama dan kehormatan wanita. Misalnya saja: ”pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW; di mana seorang muslimah membawa perhiasannya kepada seorang tukang sepuh Yahudi dari Bani Qainuqa’. Tiba-tiba datang sekelompok remaja Yahudi meminta supaya wanita ini membuka jilbabnya, bahkan sempat auratnya terbuka karena diganggu dan tukang sepuh menggantungkan kerudungnya. Saat dia menjerit, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda tadi langsung menyerang dan membunuh tukang sepuh. Pemuda muslim ini pun, akhirnya dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Medengar peristiwa ini, Rasulullah SAW langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah tidak berkutik lagi. Pembelaan tadi hanya atas dasar adanya ikatan aqidah. Inilah “ghirah”.(baca: “Ghirah” yang Hilang. Serambi Indonesia,  15 Agustus 2011). Jika ternyata ”gawang kebobolan” juga, tokh upaya preventif sudah dilakukan.

Diberlakukannya hukuman ”Jèrèt Naru”, ternyata relevan dan erat sekali kaitannya dengan pelaksanaan hukum jenayah yang berhubungan dengan delik susila, yang diatur dalam surat An-Nur, ayat 2 bahwa: ”Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya…” Dalam yurisprudensi hukum Islam, jenis hukuman hukuman pokok –cambuk seratus kaliselalu dibarengi dengan hukuman tambahan, yakni: hukuman buang selama satu tahun. Tentang hal ini Rasulullah bersabda: ”Pemuda dan pemudi (hukuman zinanya) adalah seratus kali cambuk dan pembuangan selama satu tahun.” Dr. Muhammad Rawas Qal’ahji. ”Ensiklopedia Fiqih Umar bin Khattab ra”, halaman 700, 1999. Oleh sebab itulah, di zaman khalifah Umar Ibn Khattab, ketentuan ini tetap diberlakukan dan beliau pernah mencambuk orang yang berzina sebanyak seratus kali dan menghukum buang selama satu tahun lamanya. Beliau pernah mengasingkan ke Basrah, Fida dan Khaibar.

Menurut Abi Syaibah, hukuman buang ini bukan saja dijatuhkan kepada pelaku jenayah sexual, akan tetapi juga diberlakukan oleh Umar Ibn Khattab kepada peminum arak. Umar bin Khattab baru menghentikan hukuman ini, setelah menghukum buang Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf karena terlibat dalam minuman keras, yang selama dalam pembuangan bertemu dengan Harqal dan kemudian dia masuk agama Nasrani. Sestelah mendengar cerita ini, Umar berkata: ”Saya tidak akan mengasingkan seseorang muslim setelah kejadian ini untuk selamanya.” Idem, halaman 700.

Dipercayai bahwa ketentuan hukuman tambahan –hukuman buang- dalam hukum Islam ini telah ditransfer oleh pemikir hukum adat Gayo dengan cara meng-gayo-kan- ke dalam isltilah ”Jèrèt Naru”, yang bertujuan untuk menjaga kemurnian iman dan Adat Gayo; sekaligus membuktikan bahwa kehormatan wanita benar-benar dilindungi dan ianya merupakan benteng pertahanan terakhir dalam adat gayo, lagi pun penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan sexual ini tidak dibenarkan memakai intrumen rasa kasih sayang sebagai standard untuk mengukur prikemanusiaan. Di sini tidak berlaku standard prikemanusiaan, sebagaimana dijelaskan: ”…janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum agama Allah…” (surat An-Nur, ayat 2.)

Terus terang, dalam kajian hukum Islam di tanah gayo; terutama mengenai: kapan mulai berlaku hukuman ”Jeret Naru”, apakah jenis hukuman adat ini masih wujud sampai sekarang dalam masyarakat gayo, apakah jenis hukuman adat ini hanya dikenal dan berlaku hanya di kampung-kampung tertentu saja dan atau berlaku secara menyeluruh dalam masyarakat adat gayo, penulis belum melakukan research secara khusus dan komprehensif. Namun begitu, dalam amatan penulis semasa tinggal di Jakarta (1974-1990), mengetahui bahwa jenis hukuman ”Jeret Naru” pernah dijatuhkan oleh Majlis Adat Kampung Kenawat yang tinggal di Jakarta terhadap seorang lelaki punya 6 orang anak –karena terbukti telah memperkosa seorang gadis di bawah umum (masih ada hubungan keluarga dengan pelaku) dan sekampung.

Walau pun, Pengadilan Negeri Jakarta-Timur/Utara yang menyidangkan perkara ini menjatuhkan putusan bebas atas pelaku, namun anggota majlis hukum adat kampung Kenawat di Jakarta (anggota: Zulkèpli, Tengku H. Ali Hasyim, Tengku Baihaqi, AK, Herman, Tani, Mukhtaruddin dan Nurdin Bakri) tetap menjatuhkan hukuman ”Jeret Naru” kepada lelaki tuha bajingan ini. Dalam diktumnya disebut: ”Pelaku kejahatan sexual ini dinyatakan diusir selama seumur hidup dari lingkungan masyarakat adat Kenawat Jakarta. Putusan ini berlaku terhitung sejak tarikh putusan ini dijatuhkan…” Ini merupakan yurisprudensi hukum Adat yang menarik, sebab selain jenis hukuman ”Jeret Naru” yang hampir-hampir tidak lagi dikenal dalam lingkungan hukum adat Gayo, juga lokus delicti-nya di Jakarta, bukan di kampung Kenawat lôt, Takengen.

Gagasan:

Menurut penulis, hukuman ”Jèrè Naru” sangat relevan jika dijatuhkan kepada koruptor, sebab korupsi merupakan kejahatan yang sama ’aibnya dengan pelanggaran sexual –keduanya merupakan kejahatan yang menodai kemasylahatan umum: kehormatan, marwah dan harga diri- oleh sebab itu, bagi terpidana dalam kasus sexual dan korupsi –khususnya di tanah Gayo- yang telah dijatuhi hukuman pokok berdasarkan KUHPidana dan UU Korupsi, secara adat tetap harus dijatuhi hukuman ”Jeret Naru” –hukuman tambahan- berupa hukuman moral dari masyarakat yang punya peradaban. Dengan demikian, Pemda yang berada dalam lingkungan administrasi pemerintahan di tanah gayo, punya ciri khas dalam sistem perundangan-undangan Indonesia. Akankah wujud dan pernahkah perkara ini menjadi agenda pemikiran Ulama, DPRK dan tokoh masyarakat di Gayo? Wallahu’aklam bissawab!


[1]. Penulis buku Self-government (Studi Perbadingan  Tentang Desain Administrasi Negara), tahun 2009.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Ada kemungkinan (perlu penelitian lebih lanjut), “jeret naru” terkait dengan pola hidup dan bentuk masyarakat Gayo yang “murum” (hidup dalam satu clan dan satu kampung). Orang Gayo dulu lahir, mengalami masa anak-anak, remaja, dewasa, berumah tangga, sampai meninggal dunia pada tempat yang sama. Untuk kondisi seperti ini, “jeret naru” merupakan sanksi yang menyakitkan karena keluar dari identitas kegayoan. Sekarang ini, “murum” dalam bentuk seperti itu dianggap tidak penting lagi, paling tidak sudah mengalami pergeseran makna. Pola perpindahan masyarakat yang demikian tinggi menjadikan “jeret naru” tidak lagi menyakitkan bagi orang Gayo. Karena itu, khusus untuk Adat Gayo, untuk kondisi sekarang barangkali hukuman “diyet” (denda) menjadi penting diwacanakan kembali. Sanksi tindakan asusila berupa denda memberi makan orang sekampung (kinduri mugelih koro) akan lebih sesuai dengan pola hidup masyarakat yang sudah berubah tersebut. Namun demikian, saya setuju dengan gagasan Pak Yusra Habib; “jeret naru” sekarang ini diberlakukan dalam bentuk exile, misalnya antar pulau, seperti Soekarno dulu yang pernah diasingkan Belanda ke Flores dan Bengkulu. Atau seperti Syekh Yusuf al-Makassari yang diasingkan ke Affika Selatan. Dengan “jeret naru” seperti ini, seorang penjahat yang merusak kemaslahatan umum akan benar-benar keluar dari komunitasnya. Sanksi itu akan membuat komunitasnya merasakan terhindar dari sebuah sumber penyakit yang dapat menular kepada siapa saja. Wallahu a`lam.