Menumpang dengan mobil Avanza, bersama sang sutradara film RRR Ikmal Gopi dan seorang wartawan harian di Aceh, Uyad Dasa kami bertiga pergi meninggalkan kota dingin Takengon menuju ke kota Juang Bireuen untuk menghadiri undangan Pemkab setempat untuk memutarkan film sejarah perjuangan Radio Rimba Raya, Sabtu (15/10/2011) didepan sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, pelaku sejarah dan para wartawan.
Melintasi kabupaten Bener Meriah yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah kami singgah di kampung Rime Raya yang terletak di Kecamatan Timang Gajah, menjemput seorang saksi hidup kisah perjuangan Radio Rimba Raya.
Namanya Reje Mude Tukiran Aman Jus. Awalnya saya hanya melihat sosok Aman Jus di Film Documeter RRR dan saya belum mengenal bagaimana perawakan sosok ini dalam kehidupan sehari-harinya.
Pria berperawakan kecil itu telah menanti didepan rumahnya. Sampai saya bertanya kepada rekan saya “Sesi ke jema e aman Jus ne bang ?” (yang mana orangnya Aman Jus bang-Gayo,red), dan rekan saya menunjuk ke arah tubuh kecil itu.
Aman Jus mendekati mobil yang kami tumpangi dengan membawa sebuah tas kecil berwarna hitam dan sebuah kantong plastik yang berisi buah Jambu Kelutuk (Gayo:Gelime)”. Lalu kami pun bersalaman dengannya dan istrinya, Ikmal memperkenalkan kami berdua kepada Aman Jus.
Kami meneruskan perjalanan. Aman Jus duduk disebelahku dan dia banyak bercerita tentang kehidupan masa kecilnya sampai ia dewasa. Aman Jus lahir di Kampung Rime Raya pada tahun 1941, empat tahun sebelum kemerdekaan Republik ini. Dia merupakan anak dari mukim kampung Rime Raya yang berasal dari kampung Linung Bulen kecamatan Bintang dan diberi nama Reje Mude Tukiran.
Saya sempat menanyakan kenapa nama ama ada nama Jawa-nya, dia menjawab karena pada masa kepemimpin ayahnya menjadi mukim di Kampung Rime Raya, saat itu warga setempat kebanyakan bersuku Jawa, kedekatan ayahnya dengan warganya membuatnya diberi nama R.M Tukiran atau Raden Mas Tukiran, kemudian ayahnya merubah singkatan R.M tersebut dengan Reje Mude bukan Raden Mas. Begitu kata Aman Jus. Karena berpembawaan humoris, kami jadi cepat akrab.
Sesampai kami tiba di Meuligo Kabupaten Bireuen kami disambut oleh pejabat setempat, lalu diajak makan siang dan kembali ke Meuligo untuk beristirahat dan ada kesempatan untuk mengorek informasi lebih dalam kepada Aman Jus bagaimana ia sewaktu kecil mengetahui sejarah Radio Rimba Raya.
Pengakuannya, dia berumur sekitar 8 tahun saat peristiwa besar tersebut terjadi. Di usia yang masih sangat muda itu ternyata Aman Jus sangat mengingat bagaimana Radio Rimba Raya itu mengudara di kelebatan hutan Rime Raya pada saat itu.
Dia kenal dekat dengan komandan Divisi X wilayah Sumatera Timur, Langkat dan Tanah Karo Kolonel Husein Yusuf dan istrinya Ummi Salamah, dan dia juga kenal semua dengan prajurit yang mengawal Pemancar Radio tersebut.
Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948 dan saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Belanda mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi, sementara Presiden dan Wakil Presiden pada saat itu telah diculik untuk Belanda guna mempropaganda negara-negara yang termasuk kedalam Dewan Keamanan PBB bahwa Indonesia itu sudah tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup tapi lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya mematahkan pemberitaan tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.
Akibat berita itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui Indonesia masih merdeka, Belanda belum menguasai pemerintahan Indonesia. Dan dengan adanya berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan telak “KO” bagi Pemerintahan Belanda. (Sumber Wikipedia)
Dalam ingatan dari seorang Aman Jus, pesawat pengintai Belanda hampir setiap hari mengintai keberadaan pemancar Radio tersebut, karena letak pemancarnya terletak dikedalaman hutan rimba yang sangat lebat maka pemancar itu tidak dapat terdeteksi oleh pesawat-pesawat Belanda.
Aman Jus mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar dari Ikmal bahwasanya orang lain di pulau Jawa ada yang mengatakan bahwa Radio Rimba Raya hanyalah sebuah dongeng yang terlalu dibesar-besarkan. Aman Jus berang. “Siapa yang bilang dogeng, saya sendiri yang melihat bagaimana radio itu mengudara, kalau ada yang berani bilang cerita ini dongeng akan saya cincang dia” begitu kata aman Jus seperti tak sadar bernada humor namun dengan penekanan perjuangan Radio Rimba Raya itu benar-benar ada.
Kedekatan aman Jus dengan Kolonel Husein Yusuf dan juga prajuritnya mempunyai catatan tersendiri di hati Aman Jus. dia juga mengatakan bahwa dirinya hampir setiap hari mendampingi prajurit RR tersebut, sampai-sampai dia mengatakan ike tentra RR a gere demu urum aku serlo padih ne, kero-kero gere sedep ne i pangan ne, beta kedah (rasanya tak enak makan jika tidak bertemu tentara RR). Hal ini menunjukkan bahwa Aman Jus kecil melihat apa pun kejadian-kejadian di seputaran Radio Rimba Raya.
Nonton Film Documenter RRR di Meuligo Bireuen
Dalam film documenter RRR, Aman Jus yang juga sebagai tokoh primer sangat ingin menonton bagaimana saat dirinya di film tersebut. Dan saat nonton bareng di Meuligoe Kabupaten Bireuen Ikmal Gopi memperkenalkan dirinya sebagai salah seorang saksi hidup bagaimana kisah dari Radio Rimba Raya mengudara.
Belum lagi Ikmal berhenti berbicara sejumlah orang langsung menyalami dan merangkul Aman Jus. Begitulah ekspresi sekelompok orang yang prihatin terhadap sejarah Aceh yang mulai terlupakan, karena mengingat Aceh merupakan detik nadir dari sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam suasana nonton bareng tersebut, terlihat keseriusan para pengunjung, tanpa bersuara dan tenang, aman Jus yang juga sebagai aktor primer dalam film tersebut mulai tampak, sosok humoris dan selalu bersemangat dalam bercerita ini membuat adegan yang menarik dan membuat tawa para penonton di Meuligoe tersebut sembari kembali menyalami aman Jus. Aman Jus juga terlihat tersipu malu melihat adegannya di layar tersebut. Tanpa disadarinya suasanapun mulai hidup, karena karakter aman Jus terlihat lugu dan apa adanya menceritakan apa yang dialaminya saat RRR mengudara.
Film itupun selesai diputarkan, kami kembali ke penginapan di Meuligoe tersebut dan aku beserta Aman Jus akhirnya tidur sekamar. Mata belum terpejam, Aman Jus angkat bicara, “Wen rupen hebat aku wan film ne geh, sawah meh kedek urang Aceh ni boh”, katanya sambil tersenyum saya menjawab dan memujinya.
Ternyata dia terus memikirkan adegannya dalam film tersebut sampai-sampai dia tak bisa tidur, saya pun berusaha untuk mengajaknya tidur, tapi apalah daya itulah watak aman Jus. Terpaksa saya menemaninya bercerita hingga waktu subuh tiba.
Dalam perbincangan dengan aman Jus saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang sejarah Rimba Raya, sosok yang telah berumur 70 tahun ini rupanya mempunyai cerita-cerita yang unik.
Bukan Seperti Saksi Sejarah
Matahari telah terbit, kami beranjak pulang ke Takengon dan menyempatkan diri mampir di rumah Aman Jus.
Hidup dalam keluarga yang sangat sederhana aman Jus mempunyai 11 orang anak hasil dari pernikahannya dengan (alm) Cut Sariguna yang memiliki 10 orang anak dan menikah lagi dengan Legina.
Aman Jus yang merupakan kepala keluarga menghidupi keluarganya dari bertani. Istri Aman Jus, Legina memiliki bisnis sampingan dengan membuat Tape (Ragi : Gayo) dan tempe untuk dijual demi menambah penghasilan keluarganya.
Dirumahnya tidak ada meubel atau sarana pendukung lainnya seperti rumah kebanyakan. Bagian depan rumahnya dibiarkan kosong dan hanya diisi oleh satu buah lemari saja. Kehidupan aman Jus yang pas-pas saja itu. Tubuh yang telah renta tersebut masih saja banting tulang untuk menghidupi keluarganya. Anak bungsunya sedang kuliah di Universitas Gajah Putih Takengon.
Sempat saya berpikir aman Jus adalah saksi sejarah bagaimana Radio Rimba Raya menginformasikan kepada dunia luar bahwa Indonesia tetap ada dan merdeka, aman Jus pun ikut dalam mengantarkar penyiar ke tengah hutan belantara itu. Dan aman Jus merasa sedih ketika pemerintah tak mau berjuang untuk mempertahankan eksistensi sejarah radio tersebut.
Sepasang mata milik aman Jus tampak berkaca, berbinar memberikan isyarat kesedihannya. Butiran air yang ingin tumpah ditahannya sekuat tenaga. Kami pun terdiam dan berusaha mengalihkan pembicaraan ke arah yang lain.
Aman Jus seharusnya dijadikan tokoh sejarah yang mengetahui bagaimana Radio perjuangan tersebut beroperasi. Tapi sayang hutan yang dulunya Rimba sekarang sudah tak rimba lagi, hutan yang dulunya tak terlihat disatelit sekaliber google earth pun, sekarang menjadi padang alang-alang yang gersang, begitulah hutan Rimba yang hilang seakan mengiringi sejarah yang hilang juga.
Tugu Radio Rimba Raya yang dibangun dijadikan hanya sebagai simbol yang tatanannyapun dibuat tak seindah TMII, Monas, Jam Gadang dan sejenis Landmark masing-masing daerah di Indonesia ini, hal ini menjadi menambah sederetan hal yang akan punah di bumi Gayo tanoh tembuni, termasuk sejarahnya. Siapakan yang bertanggung jawab dengan semua ini ?
Tanpa terasa perpisahan dengan aman Jus pun tiba, kami harus melanjutkan perjalanan ke Takengon, dalam perpisahan itu aman Jus berkata, “kase ike beloh keliling mien, mai aku pe boh, walau pun aku nge tue aku pe tetap mude des lagu kam”, sembari menyalaminya dan saling berangkulan dia pun berkata “buge ara umur te mien, kati lebih dele si kite erah”.
Dia juga berpesan kepada ku agar jangan pernah melupakan sejarah, dan jangan menganggap sepele tentang kebenaran sejarah Radio Rimba Raya ini, “Ike gere ara radio ni wen, kemerdekaan Indonesia ni pe gere ara, ingeti oya boh,” kata Aman Jus berpesan.
Tanpa disadari, selama kurang dari dua hari telah bersama tokoh sejarah yang mungkin akan terlupakan ini tanpa diperhatikan oleh pemerintah dan patut dihormati ini. Kisah ini tak akan terlupakan. Semoga Aman Jus diberi kesehatan dan kelapangan, agar dilain waktu dapat bertemu kembali. Terima kasih ama telah membuka mata kami untuk kebesaran sejarah di bumi Gayo ini. (Darmawan Masri)