Bur Telege, Cerminan Keteladanan, dan Kritik Tajam untuk Pemda Aceh Tengah

Doc. Agus Muliara. Pribadi

Oleh : Agus Muliara*

Lonjakan pengunjung di objek wisata Bur Telege selama libur Lebaran 1446 Hijriah bukan sekadar kabar baik ini adalah tamparan lembut namun nyata bagi Pemerintah Daerah Aceh Tengah.

Bagaimana tidak? Sebuah destinasi yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) mampu mencatat lebih dari 24 ribu kunjungan hanya dalam tujuh hari dan menyetor puluhan juta rupiah ke kas daerah secara transparan.

Sementara itu, 13 destinasi wisata lain yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah malah tampak seperti diam di tempat, tanpa sistem pungutan resmi yang jelas.

Bur Telege, yang berada di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut, tidak hanya menyuguhkan panorama indah Danau Lut Tawar dan kesejukan alam pegunungan.

Ia menyuguhkan sebuah pelajaran penting tentang bagaimana tata kelola yang sederhana namun profesional bisa menjadi motor penggerak ekonomi daerah.

Pengelola tak hanya menarik tiket Rp 10.000 per orang, tapi juga memastikan 10 persen langsung masuk ke kas daerah. Jelas, transparansi bukan hal mustahil jika ada niat baik.

Bandingkan dengan objek wisata milik Pemda yang bahkan saat momen emas liburan justru kehilangan potensi pendapatan. Bukankah ini bentuk kelalaian? Saat desa bisa, mengapa pemerintah daerah tidak?

Yang juga perlu disorot adalah minimnya pertanggungjawaban dari Dinas Pariwisata Aceh Tengah terkait tren lonjakan kunjungan wisatawan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, baik saat akhir pekan maupun pada momen hari besar keagamaan dan nasional.

Publik patut bertanya: di mana data konkret kontribusi pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)?

Selama ini, kita hanya mendengar kabar soal ramainya wisatawan, tapi tidak pernah disajikan informasi resmi tentang berapa persen realisasi pendapatan yang masuk ke kas daerah.

Padahal, transparansi ini penting sebagai bentuk akuntabilitas publik dan dasar untuk evaluasi kebijakan ke depan. Penting penerapan sistem pungutan resmi, audit menyeluruh terhadap Dinas Pariwisata, dan kolaborasi strategis dengan entitas seperti BUMK.

Ini bukan tuntutan muluk, ini adalah langkah dasar untuk menghindari kebocoran PAD dan mendorong pembangunan yang merata.

Jika Aceh Tengah butuh inspirasi tambahan, tengoklah daerah-daerah lain yang berhasil:

Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sukses menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan untuk peningkatan PAD. Lewat event-event berskala nasional dan internasional, serta digitalisasi sistem tiket, PAD sektor wisata Banyuwangi melonjak signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Kabupaten Badung, Bali, mampu menyumbang hampir 80% PAD-nya dari sektor pariwisata, karena pengelolaan destinasi yang tertata, tarif retribusi yang jelas, dan sinergi kuat dengan pelaku usaha lokal.

Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, juga menjadi contoh menarik. Pemerintah kota ini menetapkan tiket masuk pada hampir semua destinasi dan mengintegrasikan sektor wisata dengan UMKM lokal sehingga perputaran uang tidak hanya berhenti di retribusi, tapi juga berdampak langsung pada masyarakat.

Ada beberapa saran yang patut dipertimbangkan oleh Pemda Aceh Tengah ;

1. Terapkan sistem tiket resmi digital maupun manual, di semua destinasi wisata yang dikelola pemerintah agar tidak ada lagi ruang bagi kebocoran pendapatan.

2. Lakukan audit berkala terhadap Dinas Pariwisata, tidak hanya dari sisi laporan keuangan tetapi juga kinerja lapangan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal.

3. Publikasikan laporan realisasi pendapatan dari sektor pariwisata secara berkala, agar publik dapat menilai sejauh mana efektivitas kebijakan dan pengelolaan destinasi yang dilakukan pemerintah.

4. Bentuk kemitraan strategis antara Pemda dan BUMK, dalam pengelolaan objek wisata, karena terbukti pendekatan berbasis komunitas lebih akuntabel dan dekat dengan kebutuhan pengunjung.

5. Tingkatkan kualitas sarana dan prasarana, termasuk akses jalan, fasilitas umum, dan layanan informasi, untuk mendukung pertumbuhan wisata yang berkelanjutan.

6. Kampanyekan pentingnya wisata yang tertib dan beretika, kepada pengunjung, sembari mengedukasi warga agar bisa menjadi bagian dari ekosistem wisata, bukan sekadar penonton.

Bur Telege kini bukan hanya destinasi, tapi simbol perlawanan terhadap birokrasi lamban dan tidak efisien. Ia menunjukkan bahwa perubahan bisa datang dari akar rumput, dari desa-desa yang mengerti betul pentingnya keberlanjutan dan dampak langsung bagi masyarakat.

Saatnya Pemda Aceh Tengah berhenti menjadi penonton dan mulai belajar dari desa dan dari daerah-daerah lain yang sudah membuktikan bahwa wisata bukan sekadar hiburan, melainkan sumber kekuatan ekonomi lokal.

*Penulis Merupakan Fungsionaris PB HMI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.