Ironi di Bulan Ramadan

Oleh: Muhamad Hamka*

RAMADHAN adalah bulan istimewa yang penuh petunjuk kebaikan, keagungan, kemuliaan dan ampunan. Sehingga bagi orang beriman ia akan memaksimalkan kehadiran Ramadhan dengan meningkatkan kualitas ibadah menuju derajat takwa yang paripurna. Namun tak sedikit juga umat muslim yang tak begitu hirau dengan keistimewaan dan sejumlah berkah yang ditawarkan oleh bulan suci Ramadan.

Bagi mereka Ramadhan tak ada bedanya dengan sebelas bulan yang lain. Sehingga sikap dan perilaku mereka tak ada bedanya sewaktu memasuki Ramadhan dengan sebelum Ramadhan. Salah satu ironi di bulan suci Ramadhan yang membuat kita prihatin adalah pergaulan muda-mudi yang sudah kelewat batas syariat.

Seperti yang disampaikan oleh seorang khatib dalam khutbahnya sewaktu saya mengikuti shalat Jumat beberapa hari yang lalu disalah satu masjid di kota Takengon. Sang khatib dalam khutbahnya begitu prihatin dengan pergaulan muda-mudi di Takengon. Dimana pergaulan anak muda Takengon sudah pada taraf yang mengkhawatirkan.

Bahkan mereka menurut sang khatib, sudah tidak malu lagi berpasang-pasangan dengan yang bukan muhrim diatas kendaraan bermotor jalan-jalan berdua menunggu waktu berbuka puasa. Padahal, hal ini sangat tegas dilarang oleh Islam. Bahkan menurut khatib tersebut perilaku seperti ini akan menghilangkan pahala puasa itu sendiri.

Kerisauan kita semua

Seyogianya, kerisauan khatib diatas adalah kerisauan kita semua. Karena mereka adalah generasi penerus yang akan mewarisi dan melanjutkan peradaban Gayo. Bagaimana mereka menjadi generasi yang rabani sementara akhlak mereka jauh dari akhlak seorang muslim. Kondisi ini merupakan preseden buruk bagi syariat Islam di tanoh Gayo. Hal ini merupakan penanda bahwa syariat Islam di Aceh tengah belum terinternalisasi dalam diri sebagaian umat Islam. Syariat Islam boleh jadi masih bergema dalam wujud simbolik dan formalistik.

Untuk itu, menjadi tanggung-jawab semua komponen masyarakat Aceh Tengah untuk mengingatkan para generasi muda ini dari kelalaian. Karena ketika kita membiarkan perilaku seperti ini berkembang, maka lambat laun ia akan menjadi kebiasaan. Dan ketika sudah menjadi kebiasaan maka ia akan menjelma dalam karakter dan paradigma berpikir. Ketika perilaku buruk ini sudah bertransformasi dalam karakter maka bukan pekerjaan mudah untuk menghilangkanya.

Hal inilah yang dingatkan oleh Ibnu al-Jauzi dalam Shaidul Khatir ā€œketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Diantara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginanya tercapaiā€ (Shaidul Khatir, 169).

Refleksi Ibnu al-Jauzi diatas terasa sangat relevan dengan tulisan ini, untuk itu patut kita renungi. Sehingga kita tidak akan terbebani oleh rasa bersalah karena membiarkan kemungkaran menari-nari didepan dimuka kita sendiri. Untuk itu, peran kita adalah minimal harus menegur dan mengingatkan ketika melihat pasangan muda-mudi yang bukan muhrim ini berdua-duan diatas kendaraan bermotor apalagi ditempat sepi.

Karena boleh jadi sikap dan perilaku anak muda ini karena akibat tidak merasa bersalah dan berdosa, sementara kita tidak menegur dan membiarkan perilaku itu membangun habitusnya. Semoga Ramadan akan menjadi resolusi terbaik bagi kita semua menuju perubahan yang lebih baik.(for_h4mk4@yahoo.co.id)

*Analis Sosial/tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.