Tradisi Masyarakat Gayo Ketika Hari Besar Islam

DALAM Acara Keberni Gayo yang disiarkan secara live pada hari Jum’at (03/08) jam 14.00 WIB di Aceh TV, narasumber Joe Samalanga memaparkan tentang tradisi dalam masyarakat Gayo ketika menghadapi hari-hari besar Islam. Hari besar Islam dalam masyarakat Gayo utamanya dirayakan melebihi hari-hari besar lain, bentuk perayaan tersebut bermacam. Mulai dari mengadakan ceramah keagamaan, perlombaan sampai kepada mengadakan ritual berdo’a kepada kerabat yang telah dahuluan meninggal dunia.

Menurut penuturan Joe, ada hal yang unik dalam tradisi masyarakat Gayo ketika menghadapi hari-hari besar Islam. Seperti ketika berpuasa, masyarakat memiliki tradisi menyiapkan cecah pasa (cecah kelat) dan ketikan lebaran mereka menyiapkan cecah reraya, tradisi ini nampaknya ringan namun nilai pilosofi yang dikandung sangat dalam, hal ini bisa kita lihat dari bahan-bahan yang digunakan, dimana ketika seseorang membuat cecah kelat pasti tujuannya untuk menjaga kesehatan setelah menahan diri dari makan dan minum sehari penuh. Sedangkan untuk cecah reraya dibedakan bahannya karena pada saat ini mereka tidak lagi berpuasa.

Pada hari-hari besar Islam juga masyarakat mempunyai tadisi untuk membuat lepat (timpan), makanan ini hampir tidak pernah dibuat kalau tidak berhadapan dengan hari besar Islam, utamanya lagi pada saat maulid Nabi dan puasa selanjutnya lebaran. Dalam dua hari besar ini seolah tidak ada syiar bila tidak membuat lepat. Nilai kebersamaan yang tinggi kita temukan dalam masa pembuatan lepat ini dimana para ibu dibantu oleh bapak-bapak antrian di Jingki (alat penghalus tepung) untuk menumbuk beras yang akan dijadikan tepung (budaya ini sudah terkikis dengan majunya tekhnologi). Namun nilai pilosofi dari dari sebuah lepat tidak pernah hilang dari masyarakat, yaitu bahan baku yang digunakan dari tepung pulut yang merupakan perekat persaudaraan dalam masyarakat, kelapa merupakan bahan baku yang mahal dan tidak ditemukan di Gayo, bahan ini merupakan bahan yang dibawa dari Beruen yang diramu dengan gula tebu atau gula aren yang memberi isyarat bahwa persatuan yang diikat harus berperi sopan karena lemaknya kelapa dan manisnya gula.

Persatuan yang kuat dengan tradisi berbahasa yang sopan tidaklah membuat masyarakat Gayo hidup dengan kemegahan dan kesombongan karenanya harus dibughus dengan daun pisang pilihan, remasan tepung yang dilumuri air gula sebagai bukti bahwa kesempurnaan akan lahir dengan olahan tangan-tangan yang berpengalaman dan kreatif. Itulah nilai yang rerdapat dalam seuntai lepat yang selanjutnya akan tergantung di atas perapian rumah.

Kebersamaan dan kesetaraan dalam masyarakat Gayo juga ditemukan dalam menyambut datangnya hari-hari besar Islam, mereka mempunyai tradisi makan bersama di mersah (menasah), setiap keluarga membawa makanan sesuai dengan kesanggupan dan kebutuhan anggota keluarga dan setelah sampai di mersah semua makanan digabung dan dihidangkan kepada semua anggota masyarakat, tidak ada ungkapan dan sikap miring kepada mereka yang membawa makanan seadanya dan juga tidak ada pujian dan sanjungan bagi mereka yang membawa makanan yang mewah, semua mereka sama dan merasakan makanan yang dimasak oleh keluarga lain.

Tradisi lain dari masyarakat Gayo dalam menyambut datangnya hari-hari besar Islam adalah dengan mengadakan hiburan, mereka membawakan lagu-lagu atau nyanyian yang bernafaskan Islam, seperti syair dan qasidah. Tidah pernah terdengar nyanyian yang tidak Islami, mereka mengatakan sumang bila menyanyikan lagu yang bukan Islami pada saat hari besar Islam (Jamhuri).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.