Jakarta | Lintas Gayo – Bahasa berperan dalam penanggulangan bencana. “Kalau ini digali dengan mengedepankan aspek kelokalan dan disosialisasikan terus-temerus, kita bisa meminimize korban dan dampak yang ditimbulkan. Lebih dari itu, bisa menjadi sarana penanggulangan bencana yang efektif dan murah,” kata Yusradi Usman al-Gayoni, penulis buku Ekolinguistik (perpaduan ekologi dan linguistik) dalam acara bedah buku yang disiarkan “live” pukul 17.00-17.30 di RRI Pro 1 FM 91,2 Jakarta, Sabtu (29/9/2012).
Ekolinguistik melihat keterpengaruhan kerusakan dan kelestarian lingkungan (ekologi) terhadap bahasa (linguistik). Juga, peran bahasa terhadap kerusakan, kehijauan, keasrian, dan kelestarian lingkungan. Dalam acara yang dipandu Lia Achmadi dan Harun itu, Yusradi, mencontohkan istilah smong dalam bahasa Simelue (Aceh). Smong adalah istilah lain dari Tsunami.
Dalam ekolinguistik terutama analisis wacana eko-kritis, terangnya, ada lima hal yang dikandungi smong. Pertama, menyangkut pengertian; kedua, karakter atau ciri-ciri; ketiga, proses/daya rusak; keempat, langkah antisipatif warga; dan kelima, dampak yang ditimbulkan smong baik secara fisik maupun psikis.
Smong memuat pengetahuan dan manajemen bencana. Selain itu, smong senantiasa diwariskan dari generasi ke generasi Simelue melalui nafi-nafi (sastra lisan). Karenanya, di sana, korban Tsunami sedikit dibandingkan daerah lainnnya di pesisir Aceh dan di luar negeri.
Sayangnya, Smong hanya dikenal di Simelue. Disamping itu, kurang populer di daerah pesisir Aceh lainnya. “Bangsa kita pun lebih memakai istilah Tsunami. Padahal, kita punya istilah (kearifan lokal) sendiri. Giliran diklaim orang/bangsa lain, baru sumbu kita pendek dan marah. Padahal, kita sendiri tidak menghargai khasanah kekayan budaya sendiri “tidak tahu diri,” ujarnya.
Green vs Hijau
Disamping itu, katanya, penggunaan kata green dalam wacana lingkungan (greenspeak). Kenapa tidak dipakai kata hijau? Atau, ijo dalam bahasa Gayo. Masalahnya, jelasnya, ideologi, nilai, dan budaya yang dikandungi kata tadi berbeda. Pastinya, kurang berterima saat “sulit” diterapkan. Karena, masing-masing suku di Indonesia punya pengetahuan lingkungan tersendiri.
“Kalau didekati dari pengetahuan lokal, pasti lebih efektif dan berterima. Namun, kita lebih menghargai bahasa lain ketimbang bahasa sendiri,” tegasnya. Padahal, Indonesia punya lebih dari 700 bahasa daerah. Kemungkinan, masing-masing memiliki kearifan ekologi. Kalau diberdayakan, sambungnya, tentu hasilnya luar biasa dalam menyelamatkan lingkungan (LG06)