Seniman Gayo Di Tepi Jurang

Jamhiri, Anak ke enam Ceh To'et (LIntas Gayo | Ria Devitariska)
Jamhiri, Anak ke enam Ceh To’et (LIntas Gayo | Ria Devitariska)

GARIN Nugroho dalam pengantarnya pada buku Didong Pentas Kreativitas Gayo oleh M. Junus Melala Toa (2001) menyatakan didong adalah suatu perpustakaan hidup yang mampu menggambarkan bagaimana komunitas gayo berpikir, menanggapi, bereaksi dalam proses kebudayaan. Lewat tradisi lisan didong ini, kita bisa membaca berbagai peristiwa kehidupan (banjir, kebakaran, tanah longsor) yang menjadi penanda sejarah masyarakat tersebut.

Memaknai kalimat ini, menyadarkan kita bahwa kesenian didong merupakan identitas yang harus dilestarikan. Didong sebagai suatu seni tradisi lisan yang sangat berbeda dari jenis tradisi lisan yang ada di Indonesia, memberikan suatu sisi yang klasik serta menarik.

Pun didong yang telah menjadi konsumsi masyarakat Gayo mulai dari anak-anak sampai orang tua, pembuktian bahwa orang Gayo sangat menyukai dan membanggakan didong, rela begadang semalaman, berteman udara dingin, demi menyaksikan pertunjukan didong.

Kelahiran didong yang semakin populer di kalangan masyarakat serta menjelang memperingati 8 tahun meninggalnya ceh To’et, belakangan membuat penulis tertarik untuk  mengetahui sosok pe-didong yang ada di Takengon, selain nama pesohor seperti Ceh To’et, Lakiki, Sali Gobal. Rabu (15/5/2013) lalu, penulis bersama beberapa rekan berkunjung ke pemukiman ceh yang ada di Blang Bebangka Kecamatan Pegasing.

Menemukan sosok Pak Jamhiri (Aman Budi) yang merupakan anak ke-6 dari Alm Ceh To’et yang juga sebagai penggerak group didong Siner Jaya (sebelumnya bernama Siner Pagi).  Aman Budi  adalah satu-satunya putra To’et yang mewarisi bakat dari ceh To’et. Dengan ramah beliau bercerita tentang Alm To’et yang memiliki sifat sangat rendah hati.

Aman Budi adalah salah satu ceh yang sampai sekarang masih begitu aktif berdidong, Aman Budi mengakui bahwa ia tidak pernah dididik langsung oleh sang ayah dalam berdidong, ia hanya sering melihat To’et ketika mentas dan itu langsung tersimpan di memorinya begitu saja.

Syair didongnya banyak terinspirasi dari karya sang ayah dan ia banyak belajar mengembangkan larik-larik dari syair didong Ceh To’et.

Ditarik rasa penasaran, salah satu rekan penulis pun akhirnya meminta kesediaan Aman Budi untuk membawakan sebaris saja salah satu syair dari Alm Ceh To’et. Sontak dibuat kagum seketika, pasalnya Aman Budi ternyata memiliki karakter suara yang begitu mirip dengan Ceh besar itu. Hati berdesir, seperti mendengar Ceh To’et secara langsung.

Dalam dialog singkat itu, Aman Budi mengakui ternyata juga pernah mewakili Aceh mengikuti lomba tradisi lisan di Jakarta pada tahun 1997 lalu, ia menunjukan beberapa penghargaan yang pernah ia dapat. Ia pulang dengan membawa nama harum Gayo.

Pria paruh baya ini, juga memiliki impian yang begitu mulia. Ia ingin membentuk sanggar To’et, ia sangat berharap semoga kelak impiannya akan menjadi nyata. Tentunya, dengan dukungan dari masyarakat serta pemerintah. Aman Budi juga menyatakan bahwa tiap bulannya ia dan groupnya bisa mentas sampai enam kali dalam sebulan. Hal ini membuktikan bahwa sosok Aman Budi begitu masih sangat dinanti oleh para penggemar didong.

M. Din AW, pengrajin alat musik bambu Gayo, Teganing dari Weh Lah-Pegasing (Lintas Gayo | Ria Devitariska)
M. Din AW, pengrajin alat musik bambu Gayo, Teganing dari Weh Lah-Pegasing (Lintas Gayo | Ria Devitariska)

Di lain sisi,  tepatnya di Weh Lah Kecamatan Pegasing. Penulis dan rekan-rekan melanjutkan kunjungan ke rumah salah satu pengrajin alat musik bambu. Nama lelaki berperawakan tegap itu M. Din A.W yang dengan senyum ramahnya juga menyambut kedatangan penulis dan kawan-kawan.

Di rumah yang sederhana di pinggiran sawah, sosok  M. Din AW juga tak kalah mengesankan. Ternyata selain sebagai pengrajin alat musik bambu seperti teganing dan suling, 35 tahun yang lalu dia juga ceh didong.

M. Din AW yang sekarang berumur 50 tahunan itu mengakui ia pernah menciptakan syair-syair didong dan dipentaskan di acara-acara hajatan, namun sekarang beliau tidak aktif lagi berdidong dan sayangnya tidak menyimpan dokumentasi karya-karyanya. Hari-hari M. Din AW pun sekarang lebih banyak dihabiskan sebagai muadzin di masjid.

Selain bercerita seputar didong, ia juga bercerita tentang alat musik bambu Gayo. Ia menyatakan kekecewaannya terhadap masyarakat Gayo yang saat ini, hanya sedikit sekali yang mengenal alat musik Gayo teganing.

Lelaki paruh baya ini  mengakui membuat alat musik awal-awalnya merupakan ajang coba-coba dan ternyata karena menghasilkan suara yang bagus, ia perlahan semakin tertarik untuk membuat alat-alat musik itu dan sekarang dia pun hanya membuat alat musik, jika ada yang meminta (ditempah). Komunitas Seni Budaya Lintas Gayo, salah satu komunitas seni di Aceh Tengah yang beberapa bulan belakangan meminta jasanya membuat beberapa Teganing.

Dari kedua sosok di atas yang masing-masing bertarung dengan ke-eksistensi-annya, penulis berpendapat bahwa pada dasarnya seorang seniman adalah ia yang memperkenalkan Gayo baik itu lewat tradisi lisan maupun alat musik.

Menyadari kedua sosok yang harus mampu bertarung dengan perubahan lingkungan, perkembangan zaman bahkan umur, ternyata itu masih menjadi hambatan bagi sebagian seniman.

Kesadaran atau kecintaan akan seni yang belum kokoh terjalin, membuat batasan pada diri untuk berkarya pada suatu situasi saja. Misalnya hanya berkesenian di waktu muda atau berkesenian di waktu tua. Hanya sedikit saja yang berkesenian sejak kecil hingga ajal menjelang.

Banyaknya seniman yang berkesenian serba tanggung, berakibat pada maju mundurnya kelahiran para seniman. Sebab dengan seniman, Gayo bernafas. Dengan Seniman, Gayo berirama. Dengan seniman, Gayo berwarna dan dengan seniman, kesenian tak akan masuk jurang.  (Zuliana Ibrahim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.