Daalen Gebergte. Sebutan untuk Tanoh Gayo

Oleh : Win Ruhdi Bathin

Takengon | lintasgayo.com Sebutan Daalen Gebergte  ternyata adalah nama untuk Tanah Gayo di zaman kolonial. Nama ini merujuk pada G.C.E. van Daalen yang sempat menjabat sebagai gubernur militer.

Van Daalen di era itu begitu populer atas keberhasilannya membantai rakyat Gayo dan Alas. Sebagai upaya Belanda menguasai Atjeh dan mengakhiri perlawanan.

Rombongan Letnan Kolonel Gotfried Coenraad Ernst van Daalen bertolak ke Lhokseumawe, dari Banda Aceh.

Dari Lhokseumawe perjalanan dilanjutkan dengan menumpang kereta api (trem) menuju Bireuen dengan menghabiskan waktu  4 jam.

Bireuen-Takengon ditempuh dengan perjalanan darat yang sulit. Ratusan orang yang dipimpin Van Daalen itu, bergerak dengan tujuan Dataran Tinggi Gayo. Perjalanan rombongan Van Daalen
memakan waktu hingga 163 hari (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999: 229).

Van Daalen ke Gayo setelah membaca laporan Snouck Hurgronje berjudul  “Het Gajolan en Zijn Bewoners” atau “Tanah Gayo dan Penduduknya.

Laporan analisis Snouck H itu ditujukan kepada  Van Heutsz. Sang Gubernur Jenderal. Van Heutsz memilih Van Daalen memimpin operasi militer, karena  keluarga van Daalen sudah sangat berpengalaman di Aceh.

Ayah Gotfried, van Daalen Sr., pernah menjabat kapten dalam Perang Aceh periode kedua (1874-1880), tapi gagal menyelesaikan misinya. Van Daalen muda pun menerima penunjukan tugas militernya sekaligus menuntaskan tugas bapaknya

Tiba di Gayo Van Daalen langsung mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo agar mereka segera menghadap.

Van Daalen menghendaki para pemimpin rakyat itu menandatangani perjanjian takluk seperti yang telah dilakukan oleh banyak pemimpin rakyat di wilayah Aceh lain (Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, 2014:280).

Respons para pemimpin Gayo ternyata di luar dugaan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memenuhi undangan itu.

Van Daalen yang murka kemudian menggerakkan pasukan untuk menyisir satu demi satu perkampungan di wilayah tersebut. Raja-raja dan pemuka masyarakat dipaksa datang. Jika tetap enggan, moncong senjata yang akan berbicara.

Rakyat Gayo bersikukuh menolak takluk dan memilih melawan. Orang-orang Gayo punya ciri khas dalam berperang atau mempertahankan diri. Semua penghuni desa tanpa kecuali berkumpul di benteng-benteng dari bambu dan semak berduri untuk menahan gempuran musuh.

Masyarakat Gayo  memakai pakaian serba putih untuk menandakan bahwa inilah perang suci melawan kaum  kafir dan Syahid jika wafat.

Van Daalen tidak menerapkan taktik khusus. Ia hanya memerintahkan agar seluruh musuh dibasmi tanpa ampun. Deli Courant (1940) menyebutkan, dalam suatu penaklukan di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai. Korban tewas terdiri 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak.

Tak hanya di Gayo, aksi pembantaian ini berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara. Salah satu insiden itu terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuta Reh.

Menurut Asnawi Ali, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, ada 2.922 orang tewas dalam tragedi itu: 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua.

Belakangan, Hurgronje muak atas aksi van Daalen yang dinilai “melampaui batas” dalam ekspedisi ke Aceh pada 1904 itu. Namun, tidak demikian van Heutsz.

Fakta yang mengejutkan telah diungkap oleh ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees. Dalam laporan berjudul “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904), Kempees menyebut ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh itu setidaknya menelan korban nyawa hingga 4.000 orang.

Masih dalam laporannya, Kempees menyertakan foto-foto yang menjadi bukti telah terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang dari Suku Gayo maupun Alas. Setiap kali usai penyerbuan, van Daalen memerintahkan ajudannya untuk memotret tumpukan-tumpukan mayat dengan para Marsose yang berpose di sekitarnya (Dien Madjid, 2014: 282)

Iwan Gayo, Penulis Buku Pinter dan wartawan pernah melakukan Ekspedisi Van Daalen tahun 2015.

Iwan menelusuri jejak kesadisan Van Daalen membantai rakyat Gayo yang merupakan benteng terakhir pertahanan Aceh di pegunungan.Dan berencana menuntut kompensasi kepada Pemerintah Belanda dengan menunjuk pengacara.

Daalen Gebergte , sebutan untuk Gayo berasal dari bahasa Belanda. Jika diterjemahkan secara bebas artinya adalah
“Pegunungan Daalen”.

Van Daalen di akhir karirnya sangat menyedihkan. Pembunuhan massal sebagai bentuk kekejamannya  sebagai gubernur militer, banyak diliput media Belanda, Van Daalen harus mengundurkan diri.

Dikutip dari berbagai sumber

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.