Joni MN, Aman Rima*
Manusia hidup di alam yang diciptakan oleh Sang Khaliq ini adalah untuk berinteraksi dan saling embutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Pembauran dijalani dengan berbagai cara, seperti; saling bercengkerama, bekerja sama, dan saling isi mengisi pada masing-masing kekurangan. Jelasnya, kita sebagai mahluk Allah SWT tidak dapat dihindari lagi, selalu saling membutuhkan di dalam semua aspek kehidupan di dunia ini. Apapun kegiatan di dalam kehidupan kita tidak dapat dikerjakan sendiri, contohnya; sewaktu salah satu mata kita masuk abu atau pasir untuk melihat dan meniup untuk mengeluarkan kotoran dari mata kita itu membutuhkan pertolongan orang lain, berkomunikasi kita membutuhkan kawan disaat memberi atau berdialog – tidak mungkin kita berbicara sendiri. Ini hanya segelintir contoh bahwa kita saling membutuhkan.
Di dalam bergaul, berinteraksi, dan berbaur dengan masyarakat sekitar kita sangat diharapkan untuk selalu dapat bekerja sama dan bersama – sama, seperti yang diwajibkan Allah kepada kita, yaitu; Hablum Minannas, intinya saling menjaga hubungan antara sesama manusia guna untuk mencapai Hablum Minallah. Oleh sebab inilah suku Gayo atau masyarakat di Dataran Tinggi Gayo dianjurkan agar tidak melakukan tiga hal di saat menjalani kehidupan, seperti;
1. Enti lagu ulung bayur (kipes ni ulung bayur)
Maksud dari palsafah ini, dianjurkan kepada masyarakat di dataran tinggi Gayo untuk tidak meniru gerak gerik yang diexpresikan oleh ulung bayur tersebut, yang mana ulung (daun) bayur (nama tumbuhan/ jenis kayu, yang sekarang mungkin sudah jarang tumbuh di sekitaran kota takengon hanya dapat di jumpai di daerah – daerah pedalaman) yang daunnya sedikit saja tertiup oleh angin langsung bergoyang kencang/berkipas seperti dihembus oleh angin yang besar, yang artinya; dilarang bagi kita membesar-besarkan masalah apalagi masalah yang belum jelas kedudukannya, dan dilarang bagi kita menambah – nambah berita dari sedikit didengar menjadi besar di saat menyampaikannya kepada pihak ke-tiga, dan lain – lain.
2. Enti lagu ngut ni engkong,
Jangan seperti monyet menggoyang –goyang pohon (enti lagu ngut ni engkong), maksudnya; sifat monyet sangat senang atau mungkin sudah menjadi budaya-nya menggoyang-goyang dahan kayu yang dia tumpangi atau naiki disaat dia akan melompati dari satu cabang/dahan ke dahan atau cabang yang lainnya. Dan monyet selalu makan setiap dia jumpa dengan makanan mereka walaupun perut mereka sudah penuh dengan makanan, namun dia menyimpan makanan tersebut di bawah rahangnya, monyet selalu merebut makanan dari kawannya yang mendapatkan makanan sekalipun dia sudah kenyang, setelah ini mereka lebih sering kembali ke budaya-nya yaitu naik pohon dan menggoyang – goyang dahan yang mereka naiki, mereka tidak pernah berfikir bahaya yang akan terjadi kepada anak yang mereka gendong, kawan – kawan mereka di sekelilingnya dan bahkan mereka tidak pernah perduli terhadap bahaya yang akan menimpa diri-nya sendiri. Kebiasaan engkong (sebangsa monyet) ini hampir diaplikasikan oleh manusia saat ini, dan mungkin inilah pembuktian dari pembenaran teory Darwin (Darwinisme) oleh manusia yang belum memahami tentang asal usulnya kejadian Manusia yang sebenarnya.
3. Enti lagu kedidi paya
Kedidi Paya adalah sebangsa burung yang besarnya seperti burung pipit atau burung gereja yang biasa hinggap di sawah dan di rawa – rawa, yang mana pada saat jenis burung ini hinggap diantara salah satu jenis lahan ini, burung tersebut selalu menggoyang ekornya ke atas dan ke bawah dan selalu menggerak-gerakan badannya bila burung itu masih di tempat masih hinggap atau berada di tempat itu. Jadi, orang tua dahulu mentamsilkan jenis burung ini untuk tidak ditiru. Burung jenis kedidi ini berbadan kecil namun memiliki ke-inginan besar yang sepertinya ingin menggoyang bumi, karena dia selalu menggerak-gerakan tempat dimana dia hinggap, dan ekornya juga tidak henti bergerak naik turun, tidak seperti jenis burung yang lain yang diam dan anteng. Maksudnya, segala sesuatunya kembali kepada kemampuan dan lihat sampai dimana kemampuan atau potensi kita untuk meraih sesuatu itu. Analog yang lain, setiap baju atau pakaian yang akan dikenakan harus memang sesuai dengan besar kecilnyan pakaian tersebut, minsal ukuran baju kita X janganlah dipakai baju atau pakaian yang ukuran M atau XL. Tamsilan ini sering digunakan oleh para petue atau pemangku adat di kampung untuk menasehati para anak muda yang akan melangsungkan pernikahan atau bagi mereka yang akan memulai menjalani hidup bersama di dalam suatu rumah tangga, dan masih banyak makna yang lain dari kebiasaan burung ini untuk dijadikan pembelajaran dalam menjalani hidup bermasyarakat.
Sebenarnya masih banyak hal – hal pembelajaran untuk kehidupan yang bermakna untuk diambil hikmahnya dari ke-tiga (3) aspek palsafah larangan di atas. Dan selanjutnya para orang tua di dataran tinggi Gayo itu mengeluarkan beberapa kalimat palsafah untuk mengantisipasi gejolak dari ketiga aspek palsafah larangan di atas, ada pun makna dari kalimat palsafah (mengantisifasi) ini adalah untuk mengatur tindakan di dalam kehidupan dan disaat kita berinteraksi dengan sesama kita juga bertindak, kalimat tersebut adalah;
Remalan bertungket, Peri berabun.
Kalimat ini bermakna agar kita untuk dapat mengatur dengan baik dan tidak merugikan satu apapun/orang pun disaat kita berbaur atau berinteraksi antara satu sama lainnya, dalam hal ini merugikan maksudnya adalah diutamakan perasaan, menyakiti hati dan lain-lain. Sampai – sampai cara kita berjalan, berbicara diatur dalam kalimat ini.
Fungsinya atau manfaat dari kalimat ini, para orang tua dahulu berpendapat, bahwa semua yang didapat dan bahkan penyakit yang ada pada diri manusia itu datangnya atau bersumber dari dirinya juga, artinya hal ini terjadi atas dasar tindakannya seperti kalimat sering di dengar di dalam Album yang dinyanyikan oleh aman Fara an di ciptakan oleh aman Rima “penyakit ari awah geh e, ike bele ari gerak geh e”. dan atau yang populer kita dengar di dalam Album “Aman” Ceh Daman Kebayakan dengan kata-kata “awah-mu kin kule-mu” .
“Lut Mupasir, Umah Mupepir, Cerak bepikir, Hamal betabir”
——-
*Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih takengon