Melukis Raja Buta

Ali Abubakar Aman Nabila*

Alkisah,  kata yang empunya cerita, ada seorang raja buta sebelah memimpin sebuah kerajaan. Pada suatu ketika, ia ingin mencari calon perdana menteri yang dapat membantunya mengatur kerajaan. Dari seleksi tingkat pertama, ia memanggil tiga orang yang dianggap bijak, cakap dan profesional. Ketiga orang itu harus melalui fit and proper test yang sangat berat; mereka dititahkan untuk membuat lukisan diri raja.

Setelah selesai, ketiganya menghadap raja sambil membawa lukisannya. Orang pertama menunjukkan lukisannya yang natural, tidak ada rekayasa. Raja dilukis apa adanya dan tampak dalam keadaan buta sebelah seperti keadaan yang sebenarnya. Raja berkomentar, “Kamu terlalu jujur. Apa kamu tidak malu jika orang melihat rajamu buta sebelah?”   Orang pertama gagal menjadi perdana menteri. Orang kedua menghadap; raja dilukis tampak sangat tampan dan gagah, lengkap dengan mahkota dan kedua matanya dilukis normal karena ia berpikir raja harus sempurna dan merasa senang. Melihat lukisan itu, raja berkomentar: “Kamu tidak jujur, mengapa kamu melukis aku normal? Bukankah aku buta sebelah?” Orang kedua juga gagal. Orang ketiga berpikir bahwa ia harus melukis raja apa adanya, tetapi juga harus menunjukkan kesempurnaan fisik sebagai seorang panutan rakyat. Ia menemukan ide cemerlang; melukis raja dalam keadaan sedang menembak. Matanya yang buta seolah sedang dipicingkan untuk membidik sasaran. Ketika melihat lukisan itu, raja tersenyum, lalu memujinya dan mengangkatnya menjadi perdana menteri. Ia dianggap jujur sekaligus mampu menutupi kelemahan atasannya.

Orang pertama adalah gambaran sosok yang jujur dan teguh pada pendirian menegakkan kebenaran. Ia akan mengatakan kebenaran walaupun pahit. Tetapi ia memiliki satu kelemahan yaitu tidak mampu menyampaikan kebenaran itu dengan hikmah/bijaksana. Ia tidak memiliki pilihan alternatif dalam cara menyampaikan maksudnya sehingga orang yang menerima jadi tersinggung dan akhirnya kebenaran itu tidak ia terima walaupun ia mengakuinya. Dalam penafsiran yang lebih luas, ia hanya mampu menunjukkan banyak problem yang dihadapi oleh suatu komunitas masyarakat, tetapi ia tidak mampu memberikan pemecahan masalahnya.

Orang kedua adalah tokoh penjilat ulung. Ia menggunakan pola ABS alias asal bapak senang. Ia tidak segan-segan menyembunyikan kebenaran asal kepentingan pribadi atau golongannya terpenuhi. Ia bekerja bukan untuk rakyat, bukan untuk karya, bukan karena tugasnya, tapi untuk uang atau jabatannya. Tidak sedikit jumlah orang tipe ini sehingga dalam suatu lembaga muncul suasana yang tidak kondusif, tidak efektif, tidak nyaman, tidak maksimal dan akhirnya lembaga itu hancur dari dalam. Sekiranya masyarakat dipimpin oleh orang seperti ini, akan banyak masalah penting yang dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, apa yang sesungguhnya adalah sebuah masalah, suatu ketika akan dianggap bukan sebuah masalah.

Orang ketiga adalah orang yang cerdas, jujur sekaligus bijak. Di satu sisi ia harus menyampaikan kebenaran yang diketahuinya, tapi di sisi lain ia bijak dalam menyampaikannya sehingga dapat diterima semua orang. Dialah yang disebut orang yang bijak berperi. Orang seperti itulah yang dibutuhkan menjadi pemimpin atau wakil rakyat di dewan.  Masalah bukan untuk diungkap atau disembunyikan, tetapi untuk dipecahkan.

Kini, siapakah di antara calon reje kita yang dapat melukis seperti pelukis ketiga? Ini penting karena begitu banyak “raja buta” (baca:  masalah)  yang harus dihadapi untuk  membangun tanoh tembuni. Apakah  calon-calon reje kita dapat  melukis kelemahan (weakness) urang Gayo menjadi sumber kekuatan (strong) mereka sendiri? Itulah pemimpin yang kita cari.

*Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.