Mudik Era TI, Mudik Tanpa Romantika…..

Win Wan Nur*

Aku dan anak-anakku yang kepanasan, di dalam Bis Kurnia yang rusak AC-nya.Tanggal 3 kemarin kami sekeluarga mudik ke Takengen. Sebenarnya mudik kali ini ada di luar rencana, karena sebenarnya kesibukan kerja saat ini membuat saya tidak mungkin bisa mudik.

Tapi karena tanggal 12 september ini adik bungsu saya akan menikah, akhirnya semua ketidak mungkinan itu saya singkirkan dan kami sekeluarga pun pulang ke Tanoh Gayo.

Seperti biasa yang namanya pulang kampung selalu merupakan hal yang menyenangkan terutama bagi anak sulung saya yang sudah ingat suasana pulang kampung sebelumnya. Dia sudah membayangkan bagaimana serunya, bertemu dengan para sepupu dan sanak saudara. Sehingga kami sekeluarga yang memiliki jadwal keberangkatan pesawat pukul 9.00 pagi dari Soekarno – Hatta, sudah dibangunkan pada jam 1.00 dini hari oleh anak sulung saya, karena dia takut kami yang tinggal di Karawaci akan ketinggalan pesawat jika tidak berangkat ke Cengkareng secepatnya.

Sedangkan bagi kedua anak kembar saya, ini akan menjadi pengalaman pulang kampung untuk pertama kalinya. Sedangkan bagi saya sendiri, sudah tidak tahu lagi ini akan menjadi pulang kampung yang keberapa, karena sejak umur 14 tahun saya memang sudah pergi merantau dan dalam setahun pulang kampung beberapa kali.

Karena sudah pulang beberapa kali saya bisa merasakan perbedaan pulang kampung pada masa-masa awal saya pergi merantau dengan pulang kampun di zaman teknologi informasi sudah berkembang pesat seperti sekarang.

Dulu telepon rumah masih menjadi barang mewah, ketika bertelepon interlokal dengan antri di warnet hanya bisa dilakukan sesekali saja dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Tidak mungkin bisa memuaskan kerinduan pada kampung halaman dan sanak saudara.

Sehingga saat itu yang namanya pulang kampung itu rasanya penuh romantika. Meskipun jaraknya merantau itu hanya dari Takengen ke Banda Aceh yang jaraknya cuma 300 kilometer saja. Rasanya itu adalah jarak yang sangat jauh sekali.

Sehingga pulang kampung benar-benar menjadi momen yang selalu ditunggu-tunggu

Saya masih ingat persis pengalaman saya pulang kampung pertama kalinya, saat liburan semester pertama waktu SMA. Itu adalah liburan pertama saya setelah merantau selama 6 bulan.

Saya pulang dengan bis PT. Aceh Tengah yang mutu kendaraan dan fasilitasnya jauh di bawah bis kurnia yang sekarang melayani rute Takengen.

Saat itu saya ingat sekali hati selalu berdebar-debar setiap melewati jalan yang dulu pernah dilewati saat menuju Banda Aceh. Setiap melewati jalan itu langsung terbayang kenangan yang ada di sana, baik kenangan manis maupun pahitnya. Ada rasa keterkejutan melihat perubahan yang ditemui di setiap bagian yang dilewati. Ada rasa penasaran yang membuncah untuk menyaksikan kabar terbaru dari sanak saudara, ada rasa penasaran menyaksikan perkembangan para sepupu yang baru lahir saat 6 bulan yang lalu saya meninggalkan Takengen menuju Banda Aceh.

Dalam perjalanan mudik itu, setiap kilometer yang dilewati yang artinya semakin mendekatkan diri ke kampung. Malah waktu rasanya berjalan semakin lambat. Setiap keterlambatan yang disebabkan berbagai gangguan seperti macet, adalah hal yang sangat menyebalkan. Dan bagi saya sendiri, pengalaman pulang kampung pertama itu benar-benar bencana. Saat menjelang masuk ke perbatasan Aceh Tengah, bis kami patah as, sehingga kami harus melewatkan malam di jalan. Benar-benar menyebalkan, padahal rindu sudah membuncah.

Begitu mendalamnya kerinduan pada kampung halaman bagi para perantau masa itu, telah menghasilkan banyak karya musik dengan lirik-lirik sedemikian indah.

Contohnya seperti lirik lagu dari Singkite sebuah kelompok musik asal Gayo yang ada di Jakarta.

“Kin ko, rakan sebetku, mokot nge aku gere mudemu”…… ” Kepada kamu, rakan dan sahabatku, sudah lama kita tidak bertemu”

“Olok nge denem aku”…..” Aku sudah sangat rindu”

“Ku Tuhen tatangen pumu, naru mi umur ku”……” Kepada Tuhan kuangkat tangan”

“Kutalu gere sawah lagu, oya sebuku”…..”Kupanggil, tidak sampai suara”

“Asal kenak ku pe ulak,. luah canu orom galak”……” Memang keinginanku pulang (ke kampung), melepaskan rindu dan rasa senang”

“Cumen kenak ni Tuhen aku nyanya, murip ilen”…..” Tapi kehendak Tuhan aku masih hidup susah”

Lirik lagu inilah yang selalu terngiang-ngiang di kepala saya waktu dulu tahun 1989, saya pulang kampung dari Banda Aceh ke Takengen untuk pertama kalinya.

Pengalaman pulang kampung pada masa itu benar-benar penuh romantika.

Tapi sekarang suasananya sudah berbeda. 22 tahun sejak saya pulang kampung untuk pertama kalinya. Teknologi informasi berkembang jauh dari apa yang bisa dibayangkan oleh saya dan manusia manapun yang hidup di masa itu.

Sekarang, hampir semua orang memiliki telepon selular. Berkomunikasi menjadi sebegitu mudah dan murahnya, dengan TM ON berbiaya 2000 perak. Sudah bisa menelepon sampai kuping panas dan bisa dilakukan kapan saja.

Setiap perkembangan sepupu dan dan adik-adik yang baru lahir selalu terpantau di facebook.

Setiap perkembangan apapun, entah itu fisik, ekonomi sampai politik di tanah kelahiran selalu dengan mudah bisa diikuti melalui internet.

Perkembangan ini benar-benar sangat membantu mendekatkan diri secara psikologis dengan kampung halaman dan sanak saudara.

Tapi setiap perkembangan apapun, positif atau negatif pasti menghilangkan beberapa hal yang biasa kita alami sebelumnya.

Dan apa yang saya rasakan dari perkembangan teknologi informasi ini adalah hilangnya ROMANTIKA pulang kampung.

Kalau dulu pulang kampung adalah pengalaman yang sangat mendebarkan dan penuh dengan rasa penasaran dan rindu yang membuncah, sekarang sudah tidak lagi. Pulang kampung sekarang nyaris hanya seperti sebuah formalitas saja. Hanya membuat diri hadir secara fisik saja ke kampung halaman, tidak ada lagi rasa ingin tahu terhadap setiap perkembangan.

Dan ini sangat saya rasakan ketika saya rasakan saat naik bis selama 14 jam dari Medan ke Takengen yang sudah saya tinggalkan hampir 3 tahun lamanya. Rasanya pulang ke Takengen datar aja, oh udah di Singah Mulo, Ronga-ronga,  Lampahan, Simpang Balik….semua datar aja. Bahkan sudah di Singah Mata saat permukaan danau Laut Tawar pun rasanya nggak ada yang istimewa, karena semua perubahan di setiap jalan itu sudah diketahui melalui  www.lovegayo.com.

Rasa rindu ingin bertemu teman dan kerabat juga sudah hilang, karena tidak ada lagi rasa penasaran, sebab sudah setiap hari berkomunikasi dengan facebook.

Yah begitulah, setiap perubahan memang ada harganya…

*Orang Gayo berdomisili di Karawaci

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.