Jakarta | Lintas Gayo –Beberapa hari yang lalu, Indonesia kembali dihebohkan dengan aksi bom bunuh diri pada salah satu gereja, di Solo, buka Suradi selaku moderator Dialog Kenegaraan “Terorisme dan Potensi Konflik Sosial di Daerah” di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) Senayan, Rabu (28/9).
Dialog Kenegaraan tersebut menghadirkan beberapa pembicara, diantaranya: Mursyid (Anggota DPD RI Provinsi Aceh), Mahfud Siddiq (Ketua Komisi I DPR RI), M. Taslim (Anggota Komisi III DPR RI), dan Mardugi Wowiek Prasantyo (Pengamat Teroris Universitas Indonesia).
“Saya melihat aksi tersebut lebih mengalihkan isu. Maaf, saya ngomong blak-blakkan. Memang, gaya saya seperti itu,” kata Mursyid selaku tuan rumah. Terkait potensi konflik sosial di daerah, sebut Mursyid lebih lanjut, di Aceh, khususnya Aceh Tenggara banyak yang Nasrani. Di sana, juga banyak gereja. Tapi, tidak pernah ada konflik berbau agama, kata politisi asal tanoh Gayo, Aceh ini. “Pastinya, ada yang bermain dalam aksi tersebut,” katanya lagi.
“Saya lebih paham kondisi Jakarta, karena di sini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menang. Kalau Solo, saya kurang paham. Saya pikir, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lebih tahu kondisi Solo. Karena, Solo daerah-nya PDIP,” seloro Mahfud Siddiq, politisi PKS yang mengundang tawa peserta.
Anehnya lagi, kata Mahfud, dalam press conference-nya, SBY menyebut, aksi teroris Solo terkait Cirebon. Padahal, tambahnya, saat yang sama, Polisi masih mengidentifikasi di TKP. “Ini kan bahaya. Kalau begini, presiden perlu di-reshuffle,” canda Mahfud lagi.
Dihubungkan dengan RUU intelejen, Mahfud dengan tegas mengatakan, sebenarnya pihak intel tidak senang dengan adanya RUU ini. “Mereka lebih suka dengan kondisi sekarang, sehingga mereka bisa berbuat semaunya,” kata Mahfud.
Saat Mahfud ditanya Ridwan, salah satu peserta, prihal absennya negara dalam setiap aksi teror dan konflik. “Memang, budaya titip absen masih berkembang di negara ini,” jawab Mahfud singkat. Di sisi lain, M. Taslim melihat, akar terorisme lebih disebabkan oleh ideologi dan kesenjangan ekonomi.
Sementara itu, Mardugi Wowiek Prasantyo melihat, aksi di Solo well designed. “Lucunya lagi, sebelum melakukan bom bunuh diri, pelakunya masih sempat ke warnet; liat situs, baca-baca buat nambah motivasi, dan makan. Posisi bom-nya kan di perut. Dan, cukup bahaya kalau terjadi gerakan. Saya mikir, pelakunya bodoh. Atau, memang sudah disetel?”
Dalam kaitan bom itu, sambungnya, pencegahan polisi sangat lemah. Padahal, data intel sudah masuk sebelumnya. Jadi, semacam ada pembiaran. “Saya katakan dan ini valid, sekarang ini, di Indonesia ada 10.000 spionase asing. Dan mereka adalah orang Indonesia sendiri” (Win Kin Tawar)