Dere Gayo dan Akalni Kero : Menggali Falsafah

Drs. Jamhuri, MA[*]

Istilah dere Gayo  dan akalni kero dahulu sering terdengar dari ungkapan masyarakat Gayo, secara bahasa dapat diartikan bahwa kata “dere” berarti pukul, “Gayo” adalah satu suku bangsa yang menempati enam Kabupaten di Aceh. Sedangkan kata “akal” artinya sama dengan yang kita pahami selama ini, yakni suatu kata yang berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti pikiran. Kamudian “kero” dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nasi.

Antara dere Gayo dengan akalni kero sebenarnya secara kebahasaan tidak memiliki keterkaitan, namun dari segi pembentukan pola pikir dan prilaku budaya sangat berpengaruh dalam  kehidupan masyarakat Gayo. Hal ini dapat kita pahami dari ungkapan emosional masyarakat ketika bercerita tentang perkelahian, seseorang sering mengatakan “kona dere Gayoni kase baro betihe”, ungkapan ini mengandung arti bahwa ketika seseorang terkena pukulan tersebut berakibat sangat parah. Namun harus dipahami bahwa dibalik kekuatan pukulan tersebut tidak memiliki teknik atau cara berkelahi.

Makna dari kata akalni kero juga tidak jauh berbeda dengan makna dere Gayo, akalni kero diekspresikan kepada keadaan orang yang hanya makan nasi tanpa dicampur dengan lauk dan ikan apapun, kalaupun ada campurannya hanyalah garam dan cabe besar yang masih muda. Ekspresi ini ditujukan kepada orang yang mencari penghidupan dan berjuang melawan kerasnya hidup dengan kemampuan ilmu dan pasilitas yang sangat terbatas, yang menurut dalil adat keberhasilan yang didapa tidaklah terlalu diharapkan.

Kendati tujuan dari kedua sikap yang dihasilkan dari istilah ini nampak berbeda, namun masih bisa ditemukan kesamaan nilainya, kesamaan nilai ini dijadikan sebagai palsafah dalam hidup. Orang Gayo ketika berjuang untuk mendapatkan apa yang diharapkan, selalu berusaha keras pantang menyerah walaupun hanya bermodalkan kekuatan otot. Dalam membangun dan mengembangkan diri mereka tidak memerlukan bantuan  orang lain termasuk dari komunitasnya sendiri, mereka juga tidak pernah berusaha untuk mendidik dan mempersiapkan orang lain, untuk melanggengkan dan menjaga apa yang telah ia dapatkan.

Mereka selalu mengatakan dirinya mampu dan berhasil karena usahanya sendir tanpa dibantu oleh orang lain, karer dan prestasi yang didapatkan dengan hasil keringatnya sendiri. Kendati sebenarnya terkadap ada orang lain dibelakang keberhasilannya ia sering menyembunyikannya. Inilah mungkin falsafah dari ungkapan di atas.

Tidaklah dikatakan benar (sportive) dalam sebuah pertandingan apabila tidak menggunakan teknik bagaimana menghadapi lawan, dan kalaupun menang maka orang lain akan katakan itu suatu keajaiban. Kendatipun ada, tidak banyak hitungan orang yang mendapat kemenangankarena keajaiban, tapi orang yang kalau karena tidak engetahui teknik dianggap biasa dan sudah seharusnya.

Ketika anak, adik dan orang yang hanya makan nasi tanpa ada lauk, kita selalu katakana “jangan malas makan sayur”, dan jika makan tidak ada ikan maka anak-anak akan protes “kami tidak mau makan kalau tidak ada ikan”, bahkan kalaupun ada ikan sering dikatakan “bosan makan, ikannya tidak berganti-ganti”. Di balik apa yang kita katakan kepada anak-anak dan protes yang disampaikan anak-anak kepada kita sebenarnya tersirat ketidak setujuan dengan pola hidup yang ada.

Analogi dari pola pikir ini bisa juga dilihat dalam kehidupan keberagamaan masyarakat, dimana pola pelaksanaan ibadah hanya bertumpu pada perbuatan wajib, sedang perbuatan sunat tidak dijadikan sebagai prioritas dalam amal keseharian. Pelaksanaan agama yang mengandung nilai syiar tidak sesemarak di tempat lain, organisasi-organisasi kemasyarakat tidak banyak yang tumbuh dan berkembang.

Ungkapan “dere Gayo dan akalni kero” sudah mulai hilang dari masyarakat, tidak banyak lagi yang mengatahuinya, dan kalaupun terdengar orang mengucapkan kata itu si perdengar tidak lagi memahaminya. Namun pola kehidupan seperti yang telah disebutkan belum lagi berubah dari kehidupan masyarakat, kendati sebenarnya tidak ada yang setuju dengan sikap tersebut.

Ada satu keluhan dari seseorang ketika ia harus digeser dari posisi yang lebih baik ke posisi yang biasa, kendati dari eselon dalam jabatan sama. Namun ia tidak merasa puas dengan kenyataan yang ada, karena merasa tidak melakukan kesalahan, pada saat itu ia berkata “alangkah jerohe ke kite ara mu dirin”. Ungkapan ini menunjukkan adanya suatu perasaan butuh kepada bantuan orang lain yang dapat membela dirinya karena memang tidak pernah melakukan kesalahan.

Banyak orang lain yang mempunyai kemampuan sama, tapi mereka yang mengamalkan palsafah dere Gayo dan akalni kero biasanya tidak lebih populer,  karena tidak ada upaya dari yang lain untuk mempopulerkannya. Dan kalaupun harus berpindah tempat dengan ketidaksalahannya maka tidak ada yang membela, karena ia tidak mempersiapkan pembela sebelumnya.

Agama Islam memberi isyarat kepada ummat manusia, bila suatu perbuatan yang dilakukan sendiri mendapat nilai satu dan kalau perbuatan itu dilakukan secara bersama akan mendapat nilai dua puluh lima atau dua puluh tujuh. Asy-Syathiby juga berpendapat bahwa suatu perbuatan sunat yang didalamnya terdapat nilai syiar, maka ia mendekati kepada wajib dan kalau tidak dilakukan bebrapa kali secara berturut-turut maka mereka akan jatuh pada perbuatan meninggalkan kewajiban.

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan menjadikan perkembangan peradaban manusia yang tidak terbendung,  persaingan hidup semakin sulit untuk diikuti, memerlukan suatu pemikiran untuk mengkaji kembali eksistensi keberadaan falsafah hidup yang menjadi panduan hidup.



[*] Dosen Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.