Oleh L.K.Ara
Seniman Mahlil membawakan nyanyian ‘Datu Empu Beru’ karya Ibrahim Kadir. Ia mempesona peserta yang mengikuti Pagelaran Kesenian & Workshop Seni 1999 yang diadakan Kandep Dikbud Kabupaten Aceh Tengah, 8 September 1999. Suara Mahlil meninggi menderas sesuai dengan lagu yang heroik tentang pahlawan wanita Gayo pada abad yang ke 19 itu.
Selain termashur sebagai biduan, Mahlil dikenal juga sebagai pencipta lagu. Dorongan sebagai pencipta lagu lebih dipertegas oleh kedudukannya sebagai seniman utama pada grup Didong Winar Bujang. Sudah menjadi kebiasaan bagi seniman utama pada setiap grup Didong di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah membawa nyanyian ciptaan baru pada setiap pertandingan. Maka hingga kini bagi Mahlil yang sudah menjadi seniman didong sejak usia remaja sudah mencipta lagu ratusan buah.
Berbicara tentang dunia rekaman nyanyian Gayo yang berupa Didong, Ceh (seniman) Mahlil dapat disebut sebagai seniman yang sudah banyak makan asam garam. Album pertamanya berjudul “Ampung-Ampung Pulo” terbit pada tahun 1974 di Medan. Ketika itu Mahlil bersama rekannya M.Din dibayar Rp. 12.000,-
Selain sebagai biduan dan pencipta lagu Mahlil juga pernah mencetuskan ide cerita sandiwara lalu menyutradarai. Misalnya sandiwara ‘Anak Merek’ (Anak Yatim) yang mengambil inspirasi dari nyanyian. Tokoh cerita menurut Mahlil berkembang menurut isi nyanyian. Tokoh tertentu membawa lagu kemudian mengucapkan dialog. Tentu saja tidak semua tokoh harus bisa berlagu.
Cerita lainnya yang pernah disutradarai Mahlil adalah ‘Ine Ude'(Ibu Muda). Semua cerita yang dipentaskan dengan gaya impropisasi itu dibawakan dalam bahasa Gayo.
Sebuah nyanyian Mahlil yang cukup terkenal bertema keindahan alam. Dalam lagu itu ia menceritakan kecantikan alam yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Nyanyian itu berjudul ‘Ujung Gempulo’ditulis tahun l993. Berikut ini petikannya :
Gayo | Indonesia |
Ujung Gempulo penyangkulen muriti dedesen si bengi … Lelabu tempatte langkah diang-diang le aku ku uken perahu ku kayuhen ineo singah ku Ujung Seregelah pane luge tingkah sut samuten kusi die kase puren ine perahuku peserme mukaledi jingki inyon urum kiding mukaledi pating temeh wan sempol gampang | Ujung Gempulo penyangkulen berbaris tempat ikan dingin Lelabu tempatnya sambil jalan-jalan saya kesana perahu ku kayuh mampir ke Ujung Serepandai-pandailah pengayuh bersahut-sahutan kemana gerangan kelak perahuku terhempas rindu penumbuk dipermainkan kaki rindu pating duduk dalam sempol gampang |
Selain kemolekan alam di sekitar danau Laut Tawar itu, sang penyair juga bercerita tentang manfaat alam bagi kehidupan manusia. Ini nampak ketika syair menceritakan tentang adanya tempat untuk menangkap ikan. Dan sudah umum dikenal didanau Laut Tawar ada ikan depik, sejenis ikan teri yang datang bermusim.
Seniman Mahlil juga cukup terampil menggunakan kata-kata untuk mengurai rasa sedihnya. Ini nampak pada syairnya berjudul ‘Pongot Senye’ (tangis senja). Nyanyian yang ditulisnya th 1985 ini menurut Mahlil merupakan sebagian dari pengalaman hidup peribadi. Dibawah ini kita turunkan petikannya :
Gayo | Indonesia |
eee pongot senye pongot senye ku bebalik diringku nengon tepi ni alas berbantal sekemul kapas ulu pening mencari lues di itemmo langit taon te temerbang gere teles ne bebayang
eee pongot senye pongot senye rasa lagu si pating nge lagu si pantak lidi | eee tangis senja tangis senja ku balik-balik tubuhku melihat tepi tikar bantalku sejemput kapas kepala pening mencari)
(luas langit tempat terbang tak nampak bayang eee tangis senja tangis senja duh sungguh sakit seperti di cucuk lidi |
Mahlil mula-mula belajar berkesenian didong dengan mengikuti grup ‘Kemara Bujang’ di kampung Kung. Setelah beberapa tahun mendapat didikan dari seniman Sali Gobal, ceh utama Kemara Bujang, Mahlil merasa sudah waktunya untuk mendirikan grup sendiri. Ia bersama rekannya M. Din pada tahun l96l mendirikan grup ‘Winar Bujang’. Nama ini diambil dari kampung Mahlil berdomisili yakni Wih Nareh. Sejak itu grup Winar Bujang sering tampil didepan umum untuk bertanding didong dengan lawan-lawannya seperti grup ‘Terunajaya’, ‘Musara Bintang’, ‘Kala Laut’, dan lain-lain. Selama kurang lebih 30 tahun membawa grup ‘Winar Bujang’ ketengah-tengah masyarakat penonton, Mahlil sudah mencipta ratus nyanyian. Antara lain yang cukup populer adalah, Bensu, Tumpit, Ampung-Ampung Pulo, Enti Mongot Onot, Pongot Senye, Neneng-neneng dan Ranto si Jarak.
Selain bercerita tentang keindah alam, Mahlil juga menaruh perhatian pada hewan yang ada disekitar dirinya. Sebagai petani ia tentu sangat akrab dengan burung-burung. Salah satu jenis burung yang sempat dinyanyikannya adalah burung ‘tumpit’ (pipit). Berikut ini petikan syairnya, (terjemahan),
jangan kau makan lagi pulut lengkawing ku
sekedar berayun-ayun aku di tangkai
mencicipi minuman di pelepahnya
padi menguning akan di panen
hatipun senang
sorak sorai tak terkata
berayun-ayun di atas tangkai