Mahlil Winar, Biduan dan Sutradara

Oleh L.K.Ara

Seniman Mahlil membawakan nyanyian ‘Datu Empu Beru’ karya Ibrahim Kadir. Ia mempesona peserta yang mengikuti Pagelaran Kesenian & Workshop Seni 1999 yang diadakan Kandep Dikbud Kabupaten Aceh Tengah, 8 September 1999. Suara Mahlil meninggi menderas sesuai dengan lagu yang heroik tentang pahlawan wanita Gayo pada abad yang ke 19 itu.

Mahlil saat bernyanyi di salah satu pesta di Pante Raya Bener Meriah, Selasa (11/10/2011). (Foto : Khalisuddin)

Selain termashur sebagai biduan, Mahlil dikenal juga sebagai pencipta lagu. Dorongan sebagai pencipta lagu lebih dipertegas oleh kedudukannya sebagai seniman utama pada grup Didong Winar Bujang. Sudah menjadi kebiasaan bagi seniman utama pada setiap grup Didong di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah membawa nyanyian ciptaan baru pada setiap pertandingan. Maka hingga kini bagi Mahlil yang sudah menjadi seniman didong sejak usia remaja sudah mencipta lagu ratusan buah.

Berbicara tentang dunia rekaman nyanyian Gayo yang berupa Didong, Ceh (seniman) Mahlil dapat disebut sebagai seniman yang sudah banyak makan asam garam. Album pertamanya berjudul “Ampung-Ampung Pulo” terbit pada tahun 1974 di Medan. Ketika itu Mahlil bersama rekannya M.Din dibayar Rp. 12.000,-

Selain sebagai biduan dan pencipta lagu Mahlil juga pernah mencetuskan ide cerita sandiwara lalu menyutradarai. Misalnya sandiwara ‘Anak Merek’ (Anak Yatim) yang mengambil inspirasi dari nyanyian. Tokoh cerita menurut Mahlil berkembang menurut isi nyanyian. Tokoh tertentu membawa lagu kemudian mengucapkan dialog. Tentu saja tidak semua tokoh harus bisa berlagu.

Cerita lainnya yang pernah disutradarai Mahlil adalah ‘Ine Ude'(Ibu Muda). Semua cerita yang dipentaskan dengan gaya impropisasi itu dibawakan dalam bahasa Gayo.

Sebuah nyanyian Mahlil yang cukup terkenal bertema keindahan alam. Dalam lagu itu ia menceritakan kecantikan alam yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Nyanyian itu berjudul ‘Ujung Gempulo’ditulis tahun l993. Berikut ini petikannya :

GayoIndonesia
Ujung Gempulo penyangkulen muriti
dedesen si bengi … Lelabu tempatte
langkah diang-diang le aku ku uken
perahu ku kayuhen ineo singah ku Ujung Sere
gelah pane luge tingkah sut samuten
kusi die kase puren ine perahuku peserme
mukaledi jingki inyon urum kiding
mukaledi pating temeh wan sempol gampang
Ujung Gempulo penyangkulen berbaris
tempat ikan dingin Lelabu tempatnya
sambil jalan-jalan saya kesana
perahu ku kayuh mampir ke Ujung Serepandai-pandailah pengayuh bersahut-sahutan
kemana gerangan kelak perahuku terhempas
rindu penumbuk dipermainkan kaki
rindu pating duduk dalam sempol gampang


Selain kemolekan alam di sekitar danau Laut Tawar itu, sang penyair juga bercerita tentang manfaat alam bagi kehidupan manusia. Ini nampak ketika syair menceritakan tentang adanya tempat untuk menangkap ikan. Dan sudah umum dikenal didanau Laut Tawar ada ikan depik, sejenis ikan teri yang datang bermusim.

Seniman Mahlil juga cukup terampil menggunakan kata-kata untuk mengurai rasa sedihnya. Ini nampak pada syairnya berjudul ‘Pongot Senye’ (tangis senja). Nyanyian yang ditulisnya th 1985 ini menurut Mahlil merupakan sebagian dari pengalaman hidup peribadi. Dibawah ini kita turunkan petikannya :


GayoIndonesia
eee pongot senye pongot senye
ku bebalik diringku nengon tepi ni alas
berbantal sekemul kapas
ulu pening mencari

lues di itemmo langit taon te temerbang
kuengon turun ni bintang
bene i pucuk si lemi
gelep di temmo ulen pedem ngih ku terang

gere teles ne bebayang
osop libet si kuingetti

 

eee pongot senye pongot senye
dele di itemmo nenong lawuh kuamuren
asal bencana ni beden sungguh dele pedi
beden sejuken itemmmo tamah bise terkemiring

rasa lagu si pating nge lagu si pantak lidi

eee tangis senja tangis senja
ku balik-balik tubuhku melihat tepi tikar
bantalku sejemput kapas
kepala pening mencari)

 

(luas langit tempat terbang
kulihat turun ke bintang
hilang dipucuk-pucuk
gelap bulan hilang tak kan terang

tak nampak bayang
hilang selintas kukenang)

eee tangis senja tangis senja
banyak sudah air mata tumpah
bencana tubuh sudah melimpah
tubuh kedinginan di tambah telingapun sakit

duh sungguh sakit seperti di cucuk lidi

Mahlil mula-mula belajar berkesenian didong dengan mengikuti  grup ‘Kemara Bujang’ di kampung Kung. Setelah beberapa tahun  mendapat didikan dari seniman Sali Gobal, ceh utama Kemara Bujang, Mahlil merasa sudah waktunya untuk mendirikan grup sendiri. Ia bersama rekannya M. Din pada tahun l96l mendirikan grup ‘Winar Bujang’. Nama ini diambil dari kampung Mahlil berdomisili yakni Wih Nareh. Sejak itu grup Winar Bujang sering tampil didepan umum untuk bertanding didong dengan lawan-lawannya seperti grup ‘Terunajaya’, ‘Musara Bintang’, ‘Kala Laut’, dan lain-lain. Selama kurang lebih 30 tahun membawa grup ‘Winar Bujang’ ketengah-tengah masyarakat penonton, Mahlil sudah mencipta ratus nyanyian. Antara lain yang cukup populer adalah, Bensu, Tumpit, Ampung-Ampung Pulo, Enti Mongot Onot, Pongot Senye, Neneng-neneng dan Ranto si Jarak.

Selain bercerita tentang keindah alam, Mahlil juga menaruh perhatian pada hewan yang ada disekitar dirinya. Sebagai petani ia tentu sangat akrab dengan burung-burung. Salah satu jenis burung yang sempat dinyanyikannya adalah burung ‘tumpit’ (pipit). Berikut ini petikan syairnya, (terjemahan),

jangan kau makan lagi pulut lengkawing ku
sekedar berayun-ayun aku di tangkai
mencicipi minuman di pelepahnya

padi menguning akan di panen
hatipun senang
sorak sorai tak terkata
berayun-ayun di atas tangkai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.