Program Keberni Gayo Jumāat (15/10) live kembali di Aceh TV dengan narasumber Sofyan, SH,MM (Pegawai Bank Bukopin Aceh), dengan tema āNahma Ni Urang Gayoā. Tema ini diangkat sebagai pokok bahasan dalam dialog inteaktif kali ini, guna memunculkanĀ kembali pemahaman masyarakat terhadap gelar yang pernah ada dalam masyarakat Gayo.
Penyebutan kata nahma dalam masyarakat Gayo erat kaitannya dengan nama baik, keilmuan dan populeritas yang landasan penyebutannya dihubungkan dengan otoritas keagamaan/keilmuan, harta dan juga kekuasaan. Seseorang dikatakan bernahma adalah orang yang memiliki keagamaan dan keilmuan, mengamalkannya secara benar dan dapat mengalirkan/mentransper agama dan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat sekitar. Mereka yang memiliki agama dan ilmu yang luas tapi tidak mengamalkannya, tidaklah disebut dengan orang yang bernahma, demikian juga dengan mereka yang mempunyai pengetauan yang banyakĀ dan mengamalkannya namun tidak mentranper pengetahuannya kepada orang lain juga belum disebut dengan orang bernahma. Bukan hanya itu mereka yang memiliki nahma harus mampu mendidik anak dan keluarganya ke jalan yang bernar, sehingga masyarakat menyebutnya dengan keluarga bernahma.
Orang yang memiliki harta yang banyak dalam masyarakat Gayo juga digolongkan kepada orang yang bernahma, dengan ketentuan harta yang didapat bermanfaat tidak hanya untuk diri dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat disekitar mereka. Demikian juga dengan kekuasaan yang dimiliki, juga dapat menempatkan posisi seseorang kederajat orang yang bernahma. Untuk kekuasaan ini, tidak hanya ditentukan kepada mereka yang memiliki jabatan yang tertiggi dalam wilayah kekuasaan yang luas, tetapi juga pada kekuasaan yang dengan wilayang yang terbatas. Syarat yang ditetapkan bagi penguasa yang bernahma sama dengan yang lain, yaitu ketika mereka menjadi pemimpin dalam sebuah daerah, tidak pernah memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Standar paling sederhana dikatakan sebagai orang yang bernahma adalah, ketika menyebutkan sebagai seorang bernahma maka tidak ada yang membantah atau tidak mengakuinya, walaupun dari golongan yang berbeda. Sebagai contoh bisa disebutkan apabila ada seorang tengku (paham agama) dari NU atau Muhammadiyah dikatakan bernahma, maka orang yang mempunyai aliran berbeda juga tidak membantah. Karena pengakuan bernahma dalam masyarakat merupakan pengakuan social.
Setiap generasi (kohot) dalam masyarakat pasti ada orang yang bernahma, baik adanya nahma itu dari keturunan atau adanya nahma itu dari diri seseorang. Kalau itu dari keturunan berarti ia dapat menjaga dan meneruskan nahma yang pernah ada pada orang tuanya dan ini sangat jarang terjadi, dan kalau nahma itu lahir dari diri sendiri berarti seseorang yang mempunyai ilmu atau harta atau juga kekuasaan yang dapat bermafaat bukan hanya untuk dirinya.
Karena tingginya penghargaan yang diberikan kepada seseorang dengan kata nahma, sehingga apabila anaknya tidak dapat mempertahankannya, maka anaknya akan di cap oleh masyarakat sebagai āanak patah ejerā. Artinya anak yang tidak dapat melanjutkan apa yang diajarkan oleh orang tua mereka, dan ini biasa diberikan kepada pola tingkah anak yang sangat bertentangan dengan pola kehidupan yang pernah dijalani oleh orang tua mereka.
Dari tiga standar dasar yang disebutkan, yaitu keagamaan/keilmuan, harta dan kekuasaan yang akhirnya mendapat penghargaan dan pengakuan dari masyarakat. Nampaknya keagamaan dan keilmuan merupakan rangking pertama, karena dengan agama dan ilmu seseorang dapat memanfaatkan harta dan juga kekuasaannya ke tujuan yang baik. Disamping juga dengan agama dan ilmu seseorang mendapatkan pengakuan kendati tidak memiliki harta dan kekuasan.
Sampai dengan tahun 90-an orang masih merasa bangga apabila ada anak atau keluarga yang memperoleh gelar sarjana, mereka merasakan dengan adanya seorang yang berilmu dalam keluarga mereka maka derajat keluarga akan terangkat, keluarga mereka akan dihormati. Demikian juga dengan orang yang ada bagian dari keluarganya menduduki satu jabatan, maka keluarga tersebut selalu mendapat pujian dan pengakuan dari orang lain. Namun pada saat ini penghargaan kepada mereka yang mempunyai harta sudah mulai menurun, bukan karena mereka tidak menggunakan harta mereka pada jalan kebaikan, tetapi karena standar yang ditentukan masyarakat sudah terpokus kepada dua hal (keilmuan dan jabatan) tersebut.
Kendati jabatan masih menjadi sarana untuk mendapatkan nahma, namun mereka yang mempunyai jabatan tidak merasa cukup dengan jabatan yang dimiliki, mereka selalu menanamkan kepada generasi mereka bahwa pola keilmuan untuk mendapatkan nahma tetap lebih tinggi dan abadi. Karena jabatan yang di dapat mempunyai tempo dan batas waktu, walaupun ada orang yang setelah meninggalkan jabatan, laqab jabatan masih tetap melekat padanya. Seperti sering dipanggli dalam masyarakat āgecik pulan, camat pulan, mukim pulan dan lain-lainā sedang mereka tidak menjabat lagi. Karena mereka menyadari bahwa system kepemimpinan dalam masyarakat Gayo walau disebut dengan ārejeā bukanlah berarti kerajaan yang jabatan boleh diwarisi.
Pola kehidupan masyarakat mulai berubah sejak tahun 90-an, dimana sebelumnya masyarakat mengetahui bahwa harta dan kekuasaan dapat dijadikan sarana untuk mendapatkan nahma, namun harus dipayungi dengan agama dan ilmu sehingga nahma yang didapat menjadi kekal. Tetapi sejak tahun 90-an orang-orang sudah mulai berupaya mendapatkan kekuasaan dengan cara yang tida sesuai dengan konsep agama dan ilmu pengetahuan, sehingga jabatan tidak lagi menjadi sarana mendapatkan nahma. Demikian juga dengan harta tidak dapat lagi dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan nahma, karena mereka yang mempunyai banyak harta tidak lagi memilikiĀ pemahaman agama dan ilmu yang mendalam.
Kemajuan ilmu dan peradaban serta kekuasaan yang tanpa batas sekarang ini menuntut masyarakat untuk mengadakan perbandingan dengan nahma yang dimiliki oleh orang lain, tujuan dari perbandingan ini untuk mengetahui keberadaan dan kebertahanan orang lain sebagai orang yang bernahma. Dalam hal ini Aman Aini (penelphon interaktif) membuat perbandingan dengan orang Israil yang menguasai dunia kendati jumlah mereka sangat sedikit, di sisi lain juga orang Israil mempunyai identitas yang selalu di kenang orang yaitu āgunung zionā. Sebenarnya masyarakat Gayo telah mencoba mengambil falsafah yahudi yang selalu disebut-sebut ājema tikik turah lisik, torah bidik,torah mersik dan torah cerdikā.
Orang Israil juga adalah penguasa ekonomi dunia, sehingga Negara super power sekalipun tidak sembarangan bertindak kepada mereka, tapi harus kita pahami bahwa maksud ekonomi di sini bukanlah kekayaan, tetapi pengetahuan. Mereka tidak menjadi penguasa di Negara lain, tapi mereka dapat mengendalikan Negara lain.
Menurut narasumber, orang Gayo punya kelebihan diberikan oleh Tuhan yaitu memiliki intlektual yang lebih bagus dari orang lain, selama ini orang segan melihat orang Gayo bukan karena jabatan dan juga bukan karena kekayaan, tetapi karena kemampuan akademis. Keseganan ini masih ada walaupun sudah mulai luntur, karenanya kalau kita ingin menjadikan diri sebagai orang yang bernahma di mata semua orang maka kita harus kembali lagi kepada identitas kita, yaitu akademik.
Pola lain yang harus kita rubah menurut narasumber adalah pola hidup individual, pola hidup ini tidak cocok lagi untuk diterapkan. Keberhasilan yang kita dapat walaupun tudak melibatkan peran atau jasa orang lain hendaklah kita jaga dengan melibatkan orang lain, kebersama, jaringan kerja yang kita bentuk menjadikan nahma yang ada menjadi kuat dan lebih bernilai. (Drs. Jamhuri, MA)