Seorang laki-laki jangkung berusia 50 tahun dengan wajah masam, rambut kusut dan gelisah masuk ke Batas Kota Cafe, dan tiba-tiba tanpa basa basi dia berujar: “alangkah bahagianya mereka yang tidak tahu kalau dia tidak tahu.
”Semua pengunjung yang sedang menikmati secangkir espresso tersentak mendengar pernyataannya. Di otak teman-teman yang biasa mangkal di cafe itu, bergejolak berbagai tanda tanya, apa gerangan yang sedang dihadapinya.
Sang laki-laki, yang biasa dipanggil Bang Kul, menghempaskan punggungnya di atas kursi warna hitam sambil memesan secangkir espresso kepada barista, Bang Win, yang juga sempat bengong mendengar kata-kata “keramat” tadi. Bang Win segera menyiapkan secangkir espresso dan meletakkannya di meja Bang Kul. Namun, dia masih menarik napas panjang, memang kelihatan sangat gelisah.
Aku yang sering bercanda dengan Bang Kul, juga tidak berani menanyakan maksud ucapannya. Aku hanya mengamati tingkah lakunya, termasuk gerakan tangannya yang terus menggaruk-garuk kepala.
Aku berpikir, sepertinya Bang Kul membutuhkan support dari teman-teman. Dia sedang menghadapi sebuah persoalan besar. Aku mencoba berkomunikasi dengannya, tetapi masih ragu-ragu, takut dia tersinggung.
“Ada apa, kok kelihatan sangat resah,” kucoba memecah keheningan.
Bang Kul menghirup espressonya, dan mengulang lagi kalimat tadi: mereka yang tidak tahu bahagia, mereka yang tahu gelisah!
“Maksudnya apa?” tanyaku penasaran.
“Aku sudah dua malam tidak bisa tidur sedetikpun, tidak enak makan, sekarang stop facebook,” ungkapnya.
“Lha, kok bisa?” tanyaku lagi.
“Itulah……” jawabnya singkat sambil menghirup espressonya.
“Itulah bagaimana?” aku dan penikmat kopi yang lain makin penasaran.
“Begini….!” kata Bang Kul sambil memperbaiki tempat duduknya.
Waktu terjadi pembantaian sadis di Gang Asam Gelime Manis Takengon, Jumat (28/10) lalu, aku ikut datang ke TKP (Tempat Kejadian Perkara-Red). Aku menyaksikan korban pembantaian itu, darahnya bergelimangan, kepala korban hancur, pokoknya semua aku amati dan memotretnya.
Awalnya biasa, sebagai insan pers meliput peristiwa seperti itu, ya sudah sering.
Tetapi saat melihat korban Lasiem (38) yang kepalanya hancur, pergelangan tangan kirinya putus, darahnya begitu banyak, aku langsung muntah dan sempoyongan. Semua jadi gelap. Aku tidak mampu lagi memotret, lemas. Aku sampai muntah dan harus dipapah orang lain untuk keluar dari TKP.
Di rumah, aku kehilangan selera makan. Aku tidak bisa tidur. Kucoba membuka facebook. Wah…teman-teman pada mengupload gambar korban pembunuhan sadis tadi. Aku kembali muntah berkali-kali. Aku tidak sanggup melihatnya.
“Sadis banget ! Bukan manusia yang lakukan kejahatan seperti itu,” teriak Bang Kul, histeris.
Sampai pagi ini, aku belum selera makan, dua malam tidak bisa pejamkan mata. Untuk sementara, aku menghentikan membuka FB. Makanya kalian sangat beruntung tidak melihat kekejaman itu, bisa nikmati kopi, bisa makan, bisa tidur.
Semua pengunjung cafe terhenyak mendengar penuturan Bang Kul. Tidak ada yang memberi komentar, hanya tarikan nafas yang terdengan. Aku, mungkin juga teman-teman yang lain tidak memiliki solusi mengatasi persoalan yang sedang dihadapi Bang Kul.
Aku juga menyesali, kenapa teman-teman FB mengupload foto tersebut ke wall mereka. Apabila keluarganya melihat foto korban, tidakkah kesedihannya makin mendalam?. (MSy)