Jakarta | Lintas Gayo – Bertempat di Meunasah Aceh, seputar Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, mahasiswa Aceh yang kuliah di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi menyaksikan film dokumenter Radio Rimba Raya (RRR), Sabtu malam (29/10). Acara yang digagas Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) ini bertemakan “RRR dan Refleksi Pendokumentasian Sejarah Aceh.” Selain Ikmal Gopi, sutradara film RRR, turut hadir Yusradi Usman al-Gayoni, pemerhati sejarah.
Dalam pengantarnya, Ikmal yang juga mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) mengatakan, keinginan membuat film radio yang begitu berjasa dalam menyuarakan Indonesia masih ada saat agresi militer I & II Belanda sudah ada sejak tahun 2002. Namun, risetnya baru bisa dimulai tahun 2006. “Awalnya, saya pikir, pembuatannya gampang. Tapi, setelah dijalani, ternyata sebaliknya. Sebab, RRR berhubungan dengan daerah Yogyakarta, sebagai ibu kota negara pada waktu itu dan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Padang. Jadi, saya harus riset ke sana. Otomatis, perlu pemikiran, energi, waktu, dan dana yang tidak sedikit,” kata Ikmal.
Lebih lanjut, kata Ikmal, awalnya dia pun tidak tahu sejarah RRR. Karena, tidak dipelajari dalam pelajaran sejarah serta muatan lokal di daerah. Bahkan, teman-temannya sempat mengatakan, kalau RRR adalah dongeng. “Dari situ, saya semakin tertantang membuat film ini dan ingin membuktikan kalau RRR memang ada serta berkontribusi besar terhadap republik ini
Saat ditanya oleh Mulyadi terkait dana pembuatan film RRR, Ikmal mengungkapkan dana awalnya berasal dari uangnya sendiri. Dalam prosesnya, banyak pihak yang membantu. Tapi, yang paling banyak membantu, pak Parni Hadi, Direktur Radio Republik Indonesia (RRI). Perlu dicatat, tidak ada sumbangan sedikit pun dari Pemerintah dan LSM. Kalau dari pemerintah, selalu yang jadi kendala, tidak ada anggaran. Saya kayak jadi pengemis bikin film ni, karena uang 50 ribu pun saya terima dari teman-teman,” ungkap Ikmal.
Sementara itu, Yusradi Usman al-Gayoni mengatakan, cukup mengapresiasi IMAPA. Apa yang dilakukan IMAPA—nontong bareng RRR—merupakan penghargaan terhadap sejarah Aceh, khususnya RRR. “Kalau tidak ada RRR dulu, bisa jadi Indonesia dan IMAPA tidak ada. Lebih dari itu, kita pun tidak bisa bertemu dan saling mengenal malam ini,” katanya.
Lebih lanjut, kata Mantan Ketua Dewan Pengawas Nasional (DPN) Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris (HIMABSII) 2005-2007 itu, ada sumbangan “modal” Aceh yang dilupakan negara ini, yaitu RRR. “Saya tidak tahu pasti, apa sengaja dilupakan?” tanyanya miris. Dalam konteks refleksi pendokumentasian sejarah Aceh, ungkapnya, masih sedikit sekali yang difilmkan.
Namun, bila dikaji lebih jauh, orang Aceh punya pendokumentasian yang lebih baik dari suku lainnya di Aceh. Mereka juga lebih menghargai sejarah daripada orang Gayo, misalnya. Dalam berbahasa pun begitu, orang Aceh jauh lebih setia berbahasa Aceh dibandingkan orang Gayo dalam menggunakan berbahasa Gayo.
“Jadi tugas kita bersama untuk lebih mensosialisasikan RRR. Apa pun ceritanya, ini sejarah kita (Aceh),” ujar Wakil Ketua DPD KNPI Aceh Tengah ini. Dalam konteks yang lebih kecil, IMAPA pun harus berbuat dalam menyelamatkan (mendokumentasikan) jejak-jejak masyarakat Aceh di sini. Sambil tanya jawab dengan peserta, Yusradi pun kemudian bertanya, “Apa sejarah IMAPA sudah terbukukan?” “Sudah, bang,” jawab seluruh peserta. “Kalau sudah, syukur alhamdulillah. Di audio-visualkan, sudah?” tanyanya lagi. Belum, dijawab peserta lagi.
“Nah, itu yang perlu kita kerjakan. Mumpung, pakar kita, bang Ikmal ada sama kita. Demikian halnya dengan jejak-jejak masyarakat Aceh di Jakarta dan sekitarnya. Pastinya, ada hal yang menarik dari rangkaian sejarah tersebut. Dan manfaatnya tidak sekarang, katanya melanjutkan, melainkan nanti. Mungkin, setelah kita tidak ada lagi.” (M. Faiz)