Kemampuan Baca Al-Qur’an Urang Gayo Lemah, Mengapa ?

Oleh: Ali Abubakar Aman Nabila*

“Di Bener Meriah, 2 Balonwabup Dinyatakan Tidak Lulus Uji Baca Al-Quran”.  Begitulah kata situs berita lintasgayo.com. Sementara di Aceh Tengah, semua calon lulus, tapi sebagian masyarakat menyangsikan keabsahan hasil  ujian itu. Forum Mahasiswa Peduli Demokrasi (FMPD) Kabupaten Aceh Tengah sudah menyatakan sikap menolak calon pemimpin Aceh Tengah yang tidak mampu membaca Alquran. Alasannya, membaca Al-Quran saja tidak mampu, apalagi mau memahami dan menerapkan isinya.

Secara pribadi, saya mengomentari berita tentang sikap FMPD tersebut dengan menyatakan bahwa secara umum, Urang Gayo memang memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam membaca Alquran dibanding kaum Muslimin yang tinggal di pesisir Aceh. Salah satu sebabnya karena pendidikan di pesisir memang lebih duluan mulai daripada di Gayo. …. Mudah2an walaupun delahte gere pasehtu mubaca Kiteb Suci, tapi cukup paseh memahami dan melaksanakan ejerenne. Oya si lebih penting! Alhamdulillah, komentar saya ini mendapat tanggapan serius dari Serinenku Ahmad Muqorrobin dan Denganku, Yenny ‘kin tuah’ Silvani dengan meminta sedikit penjelasan tambahan bnukti empiris. Saya ingin tunjukkan dari dua aspek, historis dan fakta yang ada sekarang.

Pertama, secara historis, Jalan Bireuen-Takengon dibangun  pemerintah kolonial Belanda pada 1903 (bukan tahun 1930 seperti saya tulis di komentar) dan selesai pada 1916.  Jalan berkelok-kelok itu tentu saja dibuat Belanda untuk mendukung pembukaan perkebunan kopi dan pabrik pengolahan dan perkebunan pinus (uyem). Kebun kopi dan pabrik pengolahan pinus mulai berproduksi 1930-an. Belakangan, Belanda juga membuka kebun teh seluas 15 ribu ha di Redelong dan berproduksi pada 1940-an. Munculnya tiga perkebunan besar itu, dengan sendirinya membuka isolasi Tanah Gayo.

Tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat yang didasari oleh pengetahuan yang diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda. Pada akhir tahun 1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng.

Akibat kegiatan itu, taraf hidup Urang Gayo meningkat.  Kopi arabika menjadi komoditi penting bagi perekonomian rakyat. Hal itu memengaruhi “syahwat” untuk mengenyam pendidikan ke luar daerah. Apalagi hubungan dengan dunia luar sudah terbuka. Sejak itulah banyak Urang Gayo yang turun gunung untuk mencari ilmu pengetahuan. Sebagian pencari ilmu berangkat ke Sumatera Barat, pulau Jawa, dan kebanyakan adalah di pesisir Aceh, misalnya di Cot Merak, Grugok, dan Pulo Kiton di Bireuen. Sehingga di Pesantren Gele Gantung Kebayakan dikenal nama Tgk Pulo Kiton (Tgk Muhammad Shaleh). Dari hasil dari thalabul ilmi ini muncullah antara lain Tengku Abdul Kadir atau Tengku Pasir  (orang tua Profesor Baihaqi AK) yang kemudian mendirikan Pesantren Pasir, Mendale Kebayakan tahun 1942, Tengku M. Saleh Adri, Teungku Ilyas Leubee, Tengku Banta Cut (Guru MIN Kenawat), Tengku Abd Rahman Bebesen, Tengku Abu Bakar Pulih, Tengku Ahmad Damanhuri (Tengku Silang), dan Tengku Abdul Djalil (Tengku Jali). Tengku Abd Rahman tahun 1939 mendirikan Madrasah Tarbiyah Islam di Bebesen. Tengku Banta Cut kemudian mendirikan pesantren di Ujung Gergung sekitar 1966-an.  Tengku Silang mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Kebayakan tahun 1938. Pada tahun yang sama Tengku Jali mendirikan Taman Pendidikan Islam (PI) di Bale Takengon. Selain itu, dapat disebut misalnya Tengku Mude Kala, alumni pesantren Gele Gantung Kebayakan, penulis Tafsir Gayo yang diterbitkan di Mesir tahun 1938. Jadi praktis, mulai maraknya pertumbuhan kegiatan pendidikan di Aceh adalah antara tahun 1930-1960-an.  Sampai sekarang belum ada bukti bahwa sebelumnya pernah ada lembaga pendidikan di Tanoh Gayo.

Pesantren tertua di Tanah Gayo didirikan di Kenawat Lut  tahun 1920-an (ada informasi lain menyebut di Toweren) oleh Tengku Kadhi Rampak. Coba kita bandingkan; pesantren/dayah tertua di Aceh tercatat adalah Zawiyah Cot Kala Langsa yang didirikan sekitar  akhir abad III H atau awal abad X M. Dayah ini berdiri di Kerajaan Islam Perlak yang dibangun oleh seorang pangeran, Teungku Chik Muhammad Amin. Berdasarkan tahun berdirinya, lembaga ini bukan hanya menjadi pesantren tertua di Aceh tapi juga pusat pendidikan Islam di Nusantara.

Setelah itu ada Dayah Kan’an (abad ke-7 H), didirikan  Syekh Abdullah Kan’an.  Dayah tertua yang masih eksis adalah Dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh Besar, yang lahir pada awal abad ke 17 M.  Jika Zawiyah Cot Kala lahir abad ke-10, ini menunjukkan bahwa paling tidak, pesantren tertua di Takengon tertinggal sekitar 10 abad dari daerah pesisir. Dengan kata lain, pendidikan Tanah Gayo tertinggal di belakang selama 1.000 tahun! Pesantren-pesantren di Tanah Gayo juga umumnya kecil-kecil, tidak semegah dayah di pesisir Aceh dan tentu saja, perubahan-perubahan sosial masyarakat turut membawa pesantren ini lebih banyak mati daripada bertahan. Sebab penting lain adalah tidak ada penerus yang dapat mewarisi kepemimpinan dan keilmuan sang pimpinan. Ini adalah fenomena menarik di Gayo; banyak tengku tidak mendidik anaknya sebagai penerus menjadi tengku.

Akibatnya, tradisi keilmuan Islam di Gayo menjadi terputus-putus. Akibat lanjutnya, pengaruh keilmuan tersebut kepada masyarakat bawah juga tidak begitu besar. Perubahan-perubahan sosial politik yang terjadi demikian cepat di Tanoh Gayo membuat kelahiran generasi Qurani tidak berkesinambungan.

Kedua, fenomena yang kami dapat di Banda Aceh saat menguji kemampuan baca Alquran calon mahasiswa (cama) IAIN. Dapat disebut bahwa dalam 10 cama asal Gayo, rata-rata hanya dua orang yang mampu membaca Alquran dengan baik dan benar. Ketika ditanya latar belakangnya, kebanyakan mereka menyebut lulusan salah satu dayah di pesisir Aceh atau ayahnya seorang tengku, bukan karena lulusan sebuah Taman Pendidikan Alquran (TPA) di Negeri Antara. Pada awalnya, IAIN tidak memiliki kurikulum khusus untuk membaca Alquran karena hal itu mestinya sudah selesai di tingkat dasar; tidak menjadi tugas IAIN. Karena itu, harus diakui, masih ada sarjana IAIN yang belum fasih betul membaca kitab suci. Tapi karena maraknya fenomena ini, ke depan IAIN akan mengasramakan mahasiswa tahun awal khusus untuk memperbaiki bacaan, pendalaman ajaran, dan, tentu saja, pengamalan Alquran  dalam berbagai disiplin ilmu.

Saat kami menjadi mahasiswa dulu, kalau ada mata kuliah membaca kitab Arab, sang dosen akan segera tahu mana mahasiswa yang berasal dari Gayo, utamanya karena “pukul rata” antara huruf dza, za, zha atau sa, sya, sha; fa dibaca pa, gha dibaca ga dan lain-lain.

Fenomena lain, mungkin akibat kesejarahan keilmuan Islam di atas, kita menemukan banyak tengku imeum mersah yang juga kurang dapat membaca Alquran dengan baik. Tengku imeum adalah sebuah jabatan terhormat dalam kampung, karena itu pemilihannya lebih didasarkan kepada kewibawaan dan umurnya daripada kemampuan membaca Alquran dan pengetahuan agama. Akibatnya, ia harus memperdalam ilmu keislamannya secara otodidak di kala usia sudah mulai senja (nge meh masa kin tuwis). Ilmu yang ia pelajari itulah yang ditularkan kepada murid-murid mengajinya. Coba dengarkan senandung beberapa tengku imeum di mersah-mersah ketika mengimami shalat atau memimpin doa dan samadiyah. Akan tampak bahwa kesalahan makhraj huruf dan panjang pendek bacaan adalah sebuah fenomena umum. Belum lagi kalau kita dengarkan iramanya; saya sering mendengarnya seolah-olah irama sebuah lagu didong, bahkan sebuah irama tep onem.

Dalam sebuah pertemuan kami dengan sebagian Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA Kec) Aceh Tengah dan Bener Meriah di Banda Aceh terungkap juga hal yang sama. Para calon pengantin yang berurusan di kantor KUA sebagian besar tidak dapat membaca Alquran dengan baik.

Karena hal di atas, harus diakui bahwa di antara masalah besar dihadapi Urang Gayo adalah kelemahan membaca, apalagi memahami, Alquran. Minat belajar Alquran pada masyarakat kita mungkin sangat besar, tapi guru yang mengajarnya tidak cukup, baik kuantitas maupun kualitas. Jadi masalah tidak dapat membaca Alquran dengan baik bukan hanya pada calon pemimpin, tapi juga pada masyarakat.  Kita berharap, kalaupun nanti bupati/wakil yang terpilih tidak memiliki kemampuan yang baik dalam membaca Alquran, paling tidak dia harus memahami bahwa ia tidak mampu dalam hal itu dan karena itu ia harus belajar dan memprioritaskan hal itu dalam program pembangunan pemberdayaan masyarakatnya. Harus ada program pemberantasan buta huruf Alquran yang berkesinambungan. Harus ada tradisi bersahabat dengan Alquran.  Lebih dari itu, kita sangat ingin ada qari nasional, yang berasal dari Tanoh Gayo.

Sebagai penutup, dalam sebuah pepatah Arab disebut beberapa kategori orang dalam “tahu”:

  1. Orang yang tahu dan ia tahu apa yang ia tahu;
  2. Orang yang tahu tapi ia tidak tahu apa yang ia tahu;
  3. Orang yang tidak tahu tapi ia tahu apa yang tidak tahu;
  4. Orang yang tidak tahu dan ia tidak tahu apa yang ia tidak tahu;

Yang pertama adalah orang yang berilmu; yang kedua orang yang sedang tidur (karena itu ingatkanlah). Kalaupun tidak jadi yang pertama, paling tidak, kita harus menjadi orang nomor tiga, karena itu berarti orang yang mau menuntut ilmu. Yang paling sulit adalah orang keempat; dan lebih sulit lagi kalau ada kategori “orang yang tidak tahu dan tidak mau tahu” atau yang lebih celaka, “orang yang tidak tahu tapi sok tahu”. Para calon reje Gayo yang akan kita pilih itu ada dalam kategori mana?

(Dari berbagai sumber)

——

*Dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.