Jakarta | Lintas Gayo – Mahasiswa Asrama Lut Tawar Jakarta, Minggu (30/10) menggelar kuliah entrepreneurship. Dalam kesempatan tersebut, dihadirkan beberapa keynote speaker yang notabene pengusaha Gayo, seperti Baharuddin Wahab (Mantan Direktur BUMN), Bunyamin (Pengusaha Konstukri Lift), Ridwan (Manager WIKA), Muryati (PT Aria Tanjung, Produser&Composer Lagu), Tengku Usman Hamid (Bidang Pendidikan), dan Fikar W. Eda (Wartawan Serambi Indonesia) selaku moderator.
Dalam pembukaannya, Fikar menyebut, ada pandangan, orang Gayo tidak pandai berdagang. Pandangan ini melegalkan kewajaran. Akibatnya, orang Gayo tidak bisa berdagang, tidak melirik usaha, dan tidak mau berdagang. Ternyata, klaim ini tidak semuanya benar. Contohnya, dulu, ada PT Aceh tengah yang dideklarasikan H. Mahmud dan Tgk Dali. Termasuk, yang hadir hari ini, kata Fikar penuh semangat.
Setelah dibuka Fikar, Usman Hamid, dalam paparannya yang lebih melihat bisnis dari perspektif syari’ah, mengungkapkan, 90% rejeki umat dari dagang. “Lantas, tanyanya, kenapa kita tidak dagang? “Sekembali dari Mesir—10 tahun di sana—saya tidak mau jadi PNS. Bersama istri, kami merintis usaha di bidang pendidikan dengan 40 karyawan. Mari kita berdagang,” ajaknya. Tapi, ditekankan Hamid, jangan dicampur halal-riba dalam berdagang.
Di tempat yang sama, istrinya—Barka Abdul Jalil—yang juga alumni Kairo, Mesir, ingin membangun sekolah di Takengon, tahun 1992. Sayangnya, waktu itu, konflik sehingga tidak jadi. Pun demikian, mereka berharap bisa membangun pesanteren di Kenawat, kampung suaminya dengan pengalaman pengembangan TK/SD Islam Terpadu Al Manar sekarang (1995-2011). Lebih dari itu, mereka bercita-cita ingin pensiun dimasa tua dengan 100 kontrakan. Alhamdulilah, sementara, baru ada 5 kontrakan (pintu), kata perempuan berdarah Betawi tersebut.
Saat tiba giliran Bunyamin, dia menuturkan, tahun 1970 merupakan awal usahanya. Waktu itu, modalnya cuma 3 juta. “Alhamduillah, sekarang aset saya sudah 50-100 M,” katanya. Hebatnya lagi, 1500 lift buatannya dengan brand “Lueser” sudah terpasang di seluruh Indonesia. Sampai saat ini, laki-laki berkacamata tersebut memiliki 300 karyawan.
Dari pengalamannya, Bunyamin menyimpulkan, ber-entrepreneur mesti dibiasakan sejak kecil. Saat dirinya masih kecil, kenangnya, ibunya jualan dekat mersah Padang. Selain barang-barang dari Takengon, mereka juga belanja ke Bireuen. Khususnya, untuk memenuhi barang-barang yang tidak ada di Takengon, seperti ikan asin, dan lain-lain. “Kita harus kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas,” pesannya kepada peserta.
Selanjutnya, Baharuddin Wahab, mengungkapkan rasa syukurnya atas inisiatif mahasiswa Asrama Lut Tawar Jakarta. “Alhasil, kita bisa mencari tahu kultur orang Gayo, bagaimana anak-anak orang Gayo dalam perusahaan, kelemahannya, dan menembus tembok di tengah situasi yang semakin sulit sekarang, kata alumni SMAN 1 Takengon ini. Menurutnya, orang Gayo tidak punya mimpi. Padahal, semua orang-orang besar di dunia ini lahir dari mimpi.
Dalam kesempatan itu, alumni Universitas Gajah Mada tersebut, menekankan, agar forum yang digagas bisa bermanfaat, tidak banyak membuang waktu, dan substansi yang disampaikan layak dijadikan program. Selain itu, sampainya, ada pendokumentasian yang baik, sehingga bisa jadi referensi yang aktual. Akibatnya, akan lahir kelompok-kelompok diskusi yang aktual.
Baharuddin Wabab mencontohkan, bagaimana nilai-nilai entrepreneurship dalam tradisi masyarakat Gayo? Model komunikasi orang Gayo supaya bisa berhasil, seperti apa? Dengan begitu, hasil diskusi seperti ini bisa dijadikan sumbangan, minimal di tingkatan lokal. Pada akhirnya, bisa merangsang tenaga lokal, kata laki-laki yang bermoto lawan pendapat adalah teman berpikir itu.
Senada dengan Bunyamin, Ridwan menyatakan, wirausaha selain dibentuk, juga harus dilatih sejak kecil. Dia sendiri, berdagang sambil kuliah. Tak heran, kalau dikelasnya saat itu, dia yang paling berduit. Karena, setiap bulan, Ridwan punya keutungan dari usahanya. Di sisilain, banyak efek yang tanpa sadar, ternyata berdampak positif. Misalnya, adanya perempuan dan laki-laki. Hal itu sebetulnya bisa melatih kemel (rasa malu = bahasa Indonesia)
Setelah salat zuhur dan makan siang, paparan berikutnya dilanjutkan Muryati Tanjung (Tanjung = Atang Jungket). Pemilik PT dan Bengkel Musik Aria Tanjung ini mengatakan, tahun 1970, dia mulai merantau dari Takengon ke Medan. Saat itu, dia mulai kerja di Medan agar bisa bertahan hidup. Dari Medan, kemudian Muryati merantau ke Padang, Sumatera Barat. Di Padang, dia mulai berjualan dari pasar ke pasar, tambah pekan ke pekan. Tahun 1983, merantau lagi ke Jakarta dengan modal hanya baju yang ada di badan. Dia Jakarta, istri Arnold Tanjung ini mengalami pahit getir hidup, seperti berjualan bumbu masakan, sayur-sayuran, sampai menjadi kenek (kenep = bahasa Gayo) Metro Mini jurusan Pasar Minggu-Blok M “hidup di jalanan.” Karena, tidak ada pilihan lain.
“Saat melintasi jalan Sudirman—jadi kenek, saya melihat cewek-cewek yang keluar gedung. Keeseokan harinya, saya bertanya prihal pekerjaannya mereka. Mereka pun menjawab, sebagai cleaning service. Pada akhirnya, saya pun masuk ke perusahaan yang sama. Di situ pula, saya nikah dengan Arnold Tanjung, yang sudah lebih dulu kerja di sana,” kenangnya.
Setelah beberapa lama kerja di perusahaan kontraktor tersebut, Muryati memberanikan diri untuk bertemu dan bicara langsung kepada bosnya. Pada saat itu, kata wanita yang hanya berpendidikan sampai SMP ini, dia minta untuk meng-handle proyek pembersihan gedung-gedung di Jakarta yang baru selesai dibangun (general cleaning).
“Bos saya pun memberikan izin. Dari situ-lah peruntungan saya lebih baik. Sampai akhirnya, saya pun memubuat perusahaan sendiri—PT Aria Tanjung. Juga, bengkel musik, lagu-lagu daerah: Gayo, Aceh, Padang, dan berbahasa Indonesia. Kepada seluruh peserta, Muryati menekankan, agar membuang jauh-jauh kata gengsi (kemel). Terkait keberhasilan, harus diraih dengan kerja keras, tekun, jujur, dan perlunya net working (al-Gayoni)