Tak Punya Baju Kerawang, Beberu Gayo Yogya Tak Bisa Tampilkan Tari Guel

Oleh : Syarifuddin*

Tepat pukul 09.00 WIB, Minggu (30/10/2011), asrama Lut Tawar Yogyakarta ramai tidak seperti biasanya. Maklum hari ini sejumlah beberu (gadis-gadis-red) Gayo Yogyakarta berkumpul untuk latihan menari. Hari Minggu merupakan jadwal rutin Divisi Seni dan Budaya melakukan latihan, baik latihan tari Guel maupun latihan kesenian Didong.

Belasan beberu Gayo tersebut terlihat serius melakukan latihan gerakan tari Guel, dan tari kreasi. Meski sesekali tawa terdengar dari mereka.

Mereka adalah anggota IPEMAHLUTYO merupakan organisasi paguyuban mahasiswa Gayo yang ada di Yogyakarta dengan kepanjangan Ikatan Pelajar Mahasiswa Lut Tawar Gayo yang sejauh ini menjadi tempat yang tepat bagi mahasiswa Gayo yang ada di Yogyakarta untuk mengekspresikan diri dan menyalurkan bakat-bakat yang mereka miliki selaku Urang Gayo.

Selain sebagai wadah untuk mengespresikan diri, IPEMAHLUTYO melalui Divisi Seni dan Budaya pernah menampilkan tari Guel yang merupakan tari sejarah Gayo pada Festival Kebudayaan Yogyakarta pada tahun 2006.

Namun setelah itu, tari Guel belum pernah tampil kembali dalam event yang ada di Yogjakarta disebabkan oleh berkurangnya personil. Maklum, banyak yang sudah lulus dan kembali ke Gayo atau tempat lain.

Selain itu juga terkendala oleh ‘baju kerawang’. Sebelumnya, ‘baju kerawang didapatkan dari menyewa pada seorang kakak senior yang saat ini sudah tidak ada lagi di Yogja, hal ini dituturkan Wein, Ketua Divisi Seni dan Budaya.

Latihan Minggu (30/10/2011) merupakan langkah awal lagi bagi IPEMAHLUTYO untuk menjaga Seni dan Budaya yang ada dari perantauan dengan melakukan regenerasi bagi penari.  Sebab, ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) telah terpenuhi oleh generasi baru yang rata-rata angkatan 2010 dan 2011.

Kegiatan kali ini juga merupakan salah satu cara yang akan dilakukan untuk kembali menyatukan para pelajar dan mahasiswa asal Gayo, serta untuk mewadahi bakat dan ketertarikan terhadap seni dan budaya.

Ini merupakan poin penting yang ingin dicapai, ketika SDM yang sebelumnya tidak ada kini telah tersedia kembali.

Pertemuan dengan pola latihan seni ini akan terus dilakukan, sampai IPEMAHLUTYO dapat menemukan solusi untuk pengadaan sarana prasarana pendukung kegiatan, terutama baju kerawang sebagai persyaratan untuk tampil dalam pagelaran-pagelaran budaya di Yogyakarta.

Menurut Wein, setidaknya pihaknya sudah dapat menyelesaikan kendala awal yaitu SDM yang kurang, kendala berikutnya yaitu ketersediaan Baju Kerawang. Meski demikian, latihan ini akan terus berlangsung setidaknya itu yang disampaikan oleh salah satu penari Triana sekaligus menjabat  sebagai ketua sanggar Lungun.

Kami akan terus menari, sampai kami benar-benar menguasai gerakan tarian sejarah Gajah Putih saat digiring ke Kute Redje ini. Kami berharap ada baju Kerawang yang bisa kami pakai untuk tampil nantinya melalui beberapa tarian kreasi yang juga kami tengah berlatih’, ujarnya berharap.

Kostum seragam berupa Kerawang menjadi sangat penting, karena itu adalah salah satu identitas Gayo. Apalagi saat bertari Guel, tidak mungkin tampil dengan pakaian identitas orang lain atau seragam biasa.

Terlebih Kerawang sendiri sudah mulai familiar bagi sejumlah orang yang ada di Yogyakarta, terutama dalam bentuk tas dan dompet, namun dalam bentuk baju, Kerawang masih belum terlalu dikenal. Butuh upaya keras dan dukungan seluruh pihak ke-Gayo-an untuk mengenalkan Gayo lebih luas lagi.

—–

*Koordinator Divisi bidang Agama Taman Pelajar Aceh Yogyakarta dan Penasehat IPEMAHLUTYO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.