Darmawan Masri*
Guru adalah sebuah profesi yang sangat mulia, kehadiran guru bagi peserta didik ibarat sebuah lilin yang menjadi penerang tanpa batas juga tanpa membedakan siapa yang diterangi nya demikian pula terhadap peserta didik. Tetapi, dalam mengemban amanah sebagai seorang guru, perlu kiranya tampil sebagai sosok profesional. Sosok yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan mengembangkan diri untuk mendapatkan inovasi yang bermanfaat sebagai bahan pengajaran kepada anak didiknya.
Guru selalu dihadapkan dengan aktifitas mengajar dan mendidik, proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan. Proses pembelajaran berhasil dan mutu pendidikan dapat meningkat apabila guru mampu memahami dan menghayati profesinya dan dan tentunya guru yang memiliki wawasan pengetahuan dan keterampilan sehingga membuat proses pembelajaran aktif, guru mampu menciptakan suasana pembelajaran inovatif, kreatif, dan menyenangkan.
Guru dalam melaksanakan tugas profesinya dihadapkan pada berbagai pilihan, seperti cara bertindak bagaimana yang paling tepat, bahan belajar apa yang paling sesuai, metode penyajian bagaimana yang paling efektif, alat bantu apa yang paling cocok, langkah-langkah apa yang paling efisien, sumber belajar mana yang paling lengkap, sistem evaluasi apa yang paling tepat, dan sebagainya.
Kualitas guru yang terkadang kurang mampu memenuhi kualifikasi guru profesional, acap kali membuat produk suatu institusi pendidikan “tidak terpakai”. Alasannya sangatlah jelas, kurang berkualitas.
Hal tersebut kiranya ada beberapa penyebab. Pertama, orientasi nilai pada guru ketika menempuh studi kuliah, kebanyakan kuliah di Fakultas Keguruan adalah sebagai pelarian semata, karena tidak lulus di fakultas-fakultas lain yang lebih bonafit menurut mereka, seperti fakultas kedokteran, fakultas teknik dan lain-lain. Hal ini yang mengakibatkan bahan pengetahuan, pengajaran dan skill hanya diukur berdasar nilai yang didapat. Sehingga, terkadang semasa menjadi mahasiswa, pendalaman pada penguasaan materi kurang dikuasai.
Kedua, guru kurang memperluas pengetahuan lewat buku. Singkatnya, ada kecenderungan malas membaca buku. Dan tampaknya gejala malas membaca buku perlu menjadi sorotan. Sebagai guru, sudah menjadi kewajiban untuk berlaku dan berpikir cerdas. Membiasakan aktifitas yang bersifat pengayaan intelektual, seperti diskusi, membaca buku, dan seminar, adalah kebutuhan pokok. Malas membaca menyebabkan kualitas guru kurang matang. Kerap kala waktu menjadi mahasiswa bersentuhan dengan buku hanya untuk urusan tugas semata. Selebihnya, menjadi sesuatu yang sulit untuk direalisasikan.
Membaca, pada dasarnya adalah proses penciptaan generasi intelektual. Dengan kebiasaan membaca, tentunya secara tidak sadar, kita dilatih untuk berpikir analisis, serta semakin melatih pemikiran yang bersifat kritis. Ada ungkapan yang sering dikaitkan untuk memahami kecerdasan seseorang. Kecerdasan seseorang adalah apa yang dibacanya. Dan kebebasan membaca buku sekarang sudah tidak lagi ada pembatasan. Kita bebas membaca buku apa saja. Semua tersedia, tidak dilarang pula. Berbeda pada zaman Orde Lama, untuk membaca buku tertentu, seperti buku beraliran kiri dan karya sastra serupa, sangatlah dilarang, bahkan sampai pada penangkapan. Hanya karena membaca buku.
Kualitas guru dan buku akan meningkatkat peningkatan mutu peserta didik, memang guru dan buku selalu berkaitan dengan proses peningkatan mutu pendidikan, bukan hanya itu ketiganya sering kali dijadikan sebagai moto di dunia pendidikan. Mengapa tidak belajar tanpa guru sangat bisa terlaksana asalkan peserta didik mempunyai keinginan untuk mendapatkan dan membeli serta membacanya. Sangat mungkin terjadi bahwa seorang murid akan lebih banyak tau dari pada guru. Karena muridnya lebih aktif menggali informasi-informasi teraktual lewat buku maupun tulisan-tulisan yang tersebar dijejaring dunia maya. Terlebih zaman sekarang dimana informasi dan teknologi merajai dunia pendidikan. Oleh sebab itu, sebagai seorang yang harus lebih pintar dan lebih pandai dari anak didik nya, mau tak mau harus lebih banyak membaca buku dan selalu mengupdate informasi terbaru agar selalu lebih tau dari pada siswanya. Bila tidak guru tersebut akan merasa tersindir akibat ketidaktahuannya.
Ketiga, tunjangan sertifikasi guru yang menuntut seorang guru tersebut harus profesional bukanlah hal yang paling efektif dalam menunjang kemajuan mutu pendidikan. Akan tetapi tunjangan itu diberikan semata-mata hanya untuk menambah kelayakan hidup seorang guru, bukan menjadi jaminan bahwa pendidikan akan menjadi bermutu. Memang dalam mendapat tunjangan sertifikasi akan menambah gairah guru dalam mengajar, akan tetapi kualitas seorang guru juga perlu dipertanyakan. Sangat banyak profesi yang sangat mulia ini dijadikan sebagai alternatif atau pelampiasan (jalan keluar untuk mencari nafkah) saja. Hal tersebut akan terasa sangat mengerikan dan paling berbahaya, mengapa tidak walau ditambah tunjangan sertifikasi yang tinggi pun pasti guru tersebut tidak mampu membentuk karakter kecerdasan anak didiknya.
Sangat banyak terjadi sekarang ini seorang murid tidak lagi menghormati gurunya. Proses belajar mengajar semata-mata bukan lagi menjadi hal yang wajib dilakukan oleh seorang guru akan tetapi sudah menjadi suatu bagian dari sunat. Kenapa ? apakah semua ini terjadi karena guru tidak lagi menjadi yang lebih tau dari siswanya ? atau siswanya menganggap bahwa guru itu tidak lagi diperlukan, yang diperlukan hanyalah bagaimana jika mereka nantinya menghadapi Ujian Nasional dapat lulus dengan dibantu oleh pihak sekolah, karena kalau tidak dibantu, sekolah dan daerah yang akan tersudutkan, dan menggagap proses belajar mengajar adalah suatu formalitas belaka. Tingkat kelulusan pun selalu dipuja dan diagungkan untuk mencari gengsi dan pujian serta kebanggaan oleh pihak terkait. Wallahua’lam.(03)
——-
*Pimpinan perusahaan dan wartawan Lintas Gayo