Sepulang dari Simpang Tige Redelong Kabupaten Bener Meriah untuk suatu keperluan, saya memilih jalan pulang melalui jalan Burni Telong untuk kembali ke Takengon Kabupaten Aceh Tengah. Sekitar 2 kilometer dari ibukota kabupaten tersebut, persisnya di Kampung Bale Atu, saya melihat seorang Anan (nenek : Gayo-red), Senin (14/11/2011) berjalan terseok-seok di jalan berlubang tersebut dengan sekarung beban entah berisi apa serta sebuah timbangan 5 kiloan dia tenteng.
Semula naluri fotografiku muncul, kamera kusiapkan sambil menyetir. “Ini momen bagus, lumayan untuk foto human interest mengisi situs berita Lintas Gayo, tempatku menuangkan hobiku memotret dan menulis.
Niat memotret saya urungkan, nenek itu tiba-tiba menoleh dan menatap kearahku yang sedang mengemudi mobil berkecepatan rendah mengelak lubang-lubang di jalan yang menuju ke jalan Takengon – Bireuen, tepatnya kampung Pante Raya tersebut. Dapat kubaca dari sinar matanya, dia lelah dan ingin diberi tumpangan.
Perlahan kuhentikan mobil, dia langsung bertanya, “nguk ke aku numpang Win ?, hekdi kurasa, lempok pedih kidingku remalan ari Simpang Tige,” katanya memelas.
Aku langsung turun dan membukakan pintu belakang mobil. Sejumlah mata warga setempat memperhatikan interaksi kami. Tanpa bertanya hendak kemana, saya langsung turun dan membukakan pintu belakang mobil dan mempersilahkan nenek tersebut masuk.
Semula saya ingin mempersilahkan dia untuk duduk di jok depan, namun urung karena barang-barang bawaanku berupa 2 unit laptop, kamera, jaket dan lain-lain saya tempatkan disitu.
“Gere mukunah Win, i kuduk ni padeh aku, sipenting nik motor mu ni aku ulak ku Wih Percos,” ujarnya. Mungkin dia membaca raut mukaku yang tidak enak hati menempatkannya di jok belakang.
Sesaat kemudian saya mulai menjalankan mobil. Kebetulan ada sekotak air mineral dalam mobilku yang sengaja saya sediakan, sehari sebelumnya saya melatih 3 orang atlit balap sepeda untuk persiapan Pra PON XVIII di Jawa Timur.
“Anan, oya ara wih, kadang gerahen,” kataku. tanpa menjawab, dia segera mengambil sebotol air mineral tersebut. Kusaksikan dari kaca spion didepanku, tak sabar dia ingin segera minum. Anan ini rupanya sangat kehausan. Satu gelas ludes dia minum. Dia ambil segelas lagi.
Setelah dia kelihatan tenang, saya kemudian mulai bertanya, darimana dan mau kemana. “Ari si anan, nemah ni anan lagu beretdi, hana kati remalan,” tanyaku beruntun.
Sesaat kemudian aku menyesal telah bertanya kepada nenek ini. Dia kelihatan menitikkan air mata yang mengalir diwajahnya yang dipenuhi peluh. “Win, nasibku bang lagu ini, ulak mekat aku Win ari Ponok Baru, Kemel di aku muniro-niro lagu ini win,” ujarnya terbata-bata.
Kemudian dia bercerita, sang suaminya hilang entah kemana, dijemput malam hari dari kediaman mereka di Jamur Atu Kabupaten Bener Meriah oleh orang tak dikenal (OTK) saat komplik Aceh. “Entah isi jeret ni Awanmu win, aku gere berani ne mewen seserengku. Kami gere mukekanak,” katanya. Air matanya mengalir, sesekali dia seka dengan lengan pakaian yang sudah lusuh.
Tiba dipersimpangan ke Bandara Rembele, dia memintaku belok kiri dan sesaat kemudian tiba disebuah rumah sederhana disisi kanan. “Isien padeh aku turun win, numpang nome aku isien, osah empue aku ikuduk so bis ton nome. Ni jema ara demu umah bantuan, naku gere ara demu, kadang kerna gere pane berurusan,” katanya lagi.
Mobil kuhentikan, lalu kubukakan pintu dan menurunkan karung bawaannya terlebih dahulu. Lalu bertanya, siapa namanya. “Aliya gerelku Win, asalku ari Bebesen belah Linge, ari kucak mi nge muranto ku Bener Meriah ni. Nge betempat renye nonong Awanmu,” ungkapnya.
Secepatnya saya ambil kamera, namun saya tidak berani membidiknya seperti lazimnya cara memotret. Saya jefret dia serampangan sekenanya. Sesaat kemudian ada 3 orang muncul keluar dari 2 pintu rumah tersebut menyambut kedatangan Anan Aliya. Seorang diantaranya nenek sebaya Anan Aliya dengan seorang anak kecil disampingnya dan seorangnya lagi seorang pria paroh baya. Saya tak ingin menyelidiki lebih jauh siapa Anan Aliya. Saya tak ingin tau, jujur atau tidak pengakuannya.
Sambil pamit, saya berikan dia sedikit rezeki yang saya kira terlalu mudah mendapatkannya. Mata Anan Aliya yang mengaku janda tanpa sempat dikarunia buah hati itu kembali berlinang air mata. Kembali saya tak enak hati. Tanpa berkata-kata lagi saya masuk kemobil dan perlahan saya jalankan.
Masih sempat saya saksikan, Anan Aliya terseok-seok menarik karung bawaannya kedalam rumah. Ada penyesalan, kenapa saya tidak bantu dia mengangkat bebannya tersebut kedalam rumah tumpangannya. Kedua orang yang menyambutnya juga kelihatannya tak peduli, tidak membantu membawa beban Anan Aliya.
Akupun berlalu, sambil menyetir, pikiranku menerawang membayangkan kehidupan Anan Aliya. Aku malu, kerap aku berpikir dan mengatakan aku sedang susah. Sungguh tak pantas jika dibanding yang dialami Anan Aliya.
Berijin Anan…..(Kha A Zaghlul/03)