Sekerat Asa Dari Wajah Bening

Cerpen Zuliana Ibrahim*

—–

Pagi ini seperti biasa, Bengi kembali menampakkan seraut wajah beningnya. Meski azan subuh baru sekejap lalu, membisik di telinga dari meunasah seberang jalan dan kokokan ayam masih nyaring bersahut-sahutan. Tetap saja, Bengi bersama mamaknya dengan semangat mengeluarkan berbagai jenis sayur mayur yang ada dalam karung.  Menyusunnya  rapi, di atas tikar kusut yang telah ia bentangkan sebelumnya. Wajah bening itu terus saja sibuk menurunkan karung-karung selanjutnya, dari becak dayung sang ayah. Ah, sungguh Bengi. Gadis yang mencinta dengan sederhana. Ia adalah kesejukan bagi kedua orang tuanya. Ia juga selantun irama dalam hidup orang tuanya. Maka, tak ada alasan bagi Bengi untuk tak patuh pada orang tua yang begitu dicintainya.

“Bengi, jangan lupa bawa sayur pesanan gurumu!” Jelas ayahnya seraya berlalu dengan mendayung becaknya pergi meninggalkan pasar. Dengan seutas senyum yang begitu melekat di hati, Bengi melambaikan tangannya seraya berdoa semoga hari ini Tuhan mempermudahkan langkah ayahnya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Bengi tidak bisa hanya berdiam diri menyaksikan keadaan ekonomi keluarganya, maka sepulang sekolah ia berusaha ikut membantu orang tuanya dengan berjualan kacang dan telur puyuh rebus. Ia masukkan dalam sebuah keranjang plastik dan membawanya berkeliling di terminal bus dekat rumahnya. Acapkali ia harus menantang panas terik matahari atau terguyur hujan yang melumat tubuhnya menjadi basah kuyup.

“Bengi, ayo berangkat!” Teriak Ina, teman dekatnya yang setia menjemputnya ke pasar dengan sepeda untuk sekedar berangkat ke sekolah bersama.

“Mak, Bengi pergi ya.”  Bengi mencium punggung telapak tangan mamaknya.

“Masih ada sisa uang jajanmu yang kemarin?” Bengi tersenyum. Ia paham betul jika mamaknya bertanya seperti itu, berarti mamaknya tidak ada uang untuk memberinya jajan.

“Ini bawalah, ada dua potong kue lapis pemberian Nek Murni.”  Mamaknya menyelipkan sebungkus plastik ke dalam tas lusuh Bengi.

* * *

Hari ini ia harus cepat sampai ke sekolah, ia tak sabar. Sebab kali ini adalah pengumuman bagi siswa yang akan menerima beasiswa dan Bengi, salah satu siswa kelas 3 SMP yang ikut mendaftarkan diri sebagai penerima beasiswa tersebut. Maka, dengan segenap hati ia berharap semoga beasiswa tersebut jatuh pula ke tangannya. Sebab tak muluk-muluk inginnya, ia akan gunakan uang tersebut sebagai biaya untuk melanjutkan sekolahnya ke SMA. Ia tak tega jika harus melihat ayah dan mamaknya banting tulang demi sekolahnya. Sungguh Bengi memiliki hati serupa pelangi yang memberikan keindahan sejati.

Wajahnya berseri, tatkala ia dapati namanya ada di urutan siswa yang menerima beasiswa. Sujud syukur ia telungkupkan dirinya di depan papan pengumuman. Airmatanya mengalir deras, bahkan sesunggukan hadir menenggelamkan resah hati yang sejak kemarin sulit tertumpahkan.

Mentari terasa lebih terik dari siang kemarin, dengan peluh yang menetes Bengi berlari menghampiri mamaknya di pasar. Ia mengabarkan berita bahagia tersebut dengan dada bergetar, maka airmata mamaknya juga tak  dapat terbendung. Mereka lantas berpelukan dalam nuansa penuh haru. Usai melepas bahagia bersama mamaknya, Bengi pun hendak menghampiri ayahnya di tempat biasa memangkalkan becaknya. Namun di sekelebatan orang, ia belum jua menemukan tubuh kurus ayahnya. Berkali-kali ia bertanya dengan teman-teman ayahnya, tapi tak ada yang mengetahuinya.

“Bengi, di sini kau rupanya.” Tiba-tiba tampak ayahnya yang ternyata  juga mencarinya.

“Ayah, Bengi…” Belum lagi Bengi hendak mengutarakan maksud hatinya, tiba-tiba tampak olehnya seorang pemuda dan mengulurkan tangannya. Bengi mencium kecurigaan, ia agak bingung melihat sosok pemuda tersebut.

“Bengi, dialah calon suamimu.” Jelas ayahnya dengan senyum mengembang seraya memandang pemuda tersebut seperti tersisipkan rasa bangga.

“Berikan beasiswamu pada ayah untuk membayar hutang kita dan kau menikahlah dengan Mudha, kau akan hidup berkecukupan dengan usaha ternak ayamnya.” Ayahnya tersenyum ceria, sungguh tak seceria biasanya. Bahkan seolah menenggelamkan kerut pada dahi tuanya.

Ranah KOMPAK, 2011

——-

* Mahasiswi FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.