Oleh : Drs. Jamhuri, MA[i]
Membaca perkembangan hukum Islam sejak dari awal pada masa Nabi sampai pada masa seterusnya, kita bisa melihat ada hal yang penting, dalam behubungannya dengan taqnin (pengqanunan) hukum Islam. Diantara focus penting dari berbagai focus yang akan dilihat adalah standarisasi, artinya ada sebuah upaya dari masing-masing masa untuk membuat standar dari pelaksanaan hukum Islam.
Pada masa Nabi, yang dijadikan standar adalah bagaimana semua permasalahan Islam yang muncul dikembalikan kepada Allah. Nabi dalam menyikapi segala permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya bersama masyarakat berupaya menjawab dengan menungggu datangnya petunjuk berupa wahyu, namun terkadang ketika petunjuk berupa wahyu tidak datang, beliau berusaha menjawab permasalahan yang muncul. Banyak jawaban-jawaban yang dikemukakan sesuai dengan nilai kebenaran yang diharapkan sehingga Tuhan tidak lagi menurunkan wahyu untuk permasalahan yang dihadapi tersebut.
Namun juga pernah jawaban yang kemukakan oleh Rasul tidak mencapai nilai kebenaran yang sesuai dengan standar yang dikehendaki Tuhan sehingga memerlukan perbaikan dari Tuhan, contoh untuk ini bagaimana beliau memperlakukan tawanan perang, dimana pendapatnya berlawanan dengan pendapat Umar Bin Khattab dan selanjutnya Tuhan mengakui kebenaran pendapat Umar.
Diskusi panjang tentang kebenaran wahyu yang ada pada diri Rasul, sehingga banyak para ahli mengatakan bahwa pada diri Rasul itu melekat wahyu. Karena beliau sebagai Rasul tidak mungkin dan tidak akan pernah salah, bukankah Allah telah berfirman :
“ Bahwa Rasul itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata kecuali semuanya wahyu”
Dalil firman ini yang digunakan sebagai alasan ketidak pernahsalahan Rasul, dan kalaupun ia melakukan kesalahan Tuhan langsung memperbaiki (sebagaimana kasus tawanan perang tersebut di atas), berarti semua ucapan yang telah diucapkan terbebas dari kesalahan, sehingga disebut dengan kemaksuman Nabi.
Alasan mereka yang mengatakan bahwa Nabi pernah salah, memiliki argumentasi sama dengan kelompok di atas bahwa kenyataan nabi pernah salah adalah sebuah realita, dimana nabi pernah salah kendati Tuhan langsung memperbaiki kesalahannya, tapi yang tetap ditekankan adalah kepernahsalahannya.
Baik ketidaksalahan ataupun kepernahsalahan Beliau, tetap dalam menjawab permasalahan yang dihadapi oleh sahabat pada masa kehidupannya selalu menunggu petunjuk dari Tuhan sehingga standarisasi segala sesuatu dikembalikan kepada Tuhan menjadi ide penting pada masa ini.
Melangkah kepada masa Usman Bin Affan sebagai Khalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar, dimana pada masa ini juga ada upaya standarisasi yang dilakukan, yaitu standarisasi mushaf.
Banyak versi tulisan al-Qur’an yang ada dikalangan sahabat dan banyak juga bentuk bacaan yang satu sama lainnya berbeda terekam dalam hafalan para penghafal, sehingga pada masa Usman Bin Affah diupayakan untuk disatukan dan akhirnya dikenal dengan mushaf usmani. Mushaf inilah yang berada di tangan kita dan selalu kita baca pada saat sekarang.
Menjadikan satu mushaf sebagai standar yang dijadikan pegangan, bukanlah tidak menimbulkan perbedaan dikalangan umat Islam, karena kita ketahui bahwa pada masa Usman juga belum adanya tanda baca, baik titik ataupun baris dari tulisan yang dijadikan simbul dari bacaan al-Qur’an. Namun juga harus kita akui bahwa upaya penyatuan mushaf dari keberagamannya adalah upaya besar, dan juga upaya penyamaan bacaan menjadi satu standar mushaf adalah upaya luar biasa yang dilakukan Khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib ini.
Upaya yang dilakukan oleh Khalifah al-Makmun dalam rangka tadwinul kutub, dimana pada masa kekuasaannya semua ilmu pengetahuan di bukukan, banyaknya para ilmuan diberi pasilitas untuk menerjemahkan kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu ke dalam bahasa Arab. Pada masa inilah banyak terjadi persinggungan ilmu, baik yang berasal dari Arab, Yunani dan lain-lainnya sehingga menjadi catatan sejarah bahwa khalifah al-Makmun adalah orang yang sangat mencintai ilmu.
Pada masa ini juga istana dijadikan sebagai tempat penerjemahan, pengkajian dan diskusi, sehingga pengaruh perpaduan ilmu dari berbagai corak pemikiran menyatu dan itulah yang dijadikan standar keilmuan pada masa itu dan sesudahnya.
Upaya standarisasi fiqh telah dilakukan oleh Khalifah Al-Mansur dengan memerintahkan Imam Malik untuk menulis kitab, yang selanjutnya akan dijadikan pegangan hakim dalam berperkara. Kitab yang ditulis oleh Imam Malik adalah al-Muwaththa’yang tulisan aslinya tidak sampai kepada kita, inilah kitab fiqh pertama yang di tulis, kendati oleh sebagian ahli juga menyebutnya dengan kitab hadis.
Ketika Imam Malik selesai menulis kitab tersebut, selanjutnya khalifah meminta izin untuk dijadikan sebagai standar pegangan Hakim, namun Imam Malik menolak. Karena menurut beliau dengan menjadikan kitab ini sebagai standar beranti telah mematikan kretifitas para hakim dalam berijtihad ketika memutuskan perkara, juga menurut pernyataan Imam malik bahwa tulisan yang dibuat adalah benar menurut dia tetapi belum tentu benar menurut ulama yang lain. Sehingga dalam diskusi selanjutnya juga ini dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk melarang adanya standarisasi dalam segala aspek keilmuan termasuk hukum.
Imam Syafi’I adalah Imam Mazhab sebagaimana halnya Imam Malik, namun dari segi penentuan standar beliau berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya. Kalau ulama sebelumnya menjadikan produk dari sebuah metode sebagai standar, tetapi Imam Syafi’I menjadikan metodelogi sebagai standar.
Upaya yang pertama dilakukan adalah membuat standarisasi sumber hukum Islam, kepada yang disepakati dan yang tidak disepakati. Yang disepakati adalah Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Sedang yang tidak disepakati adalah Qiyas, Istihsan, Mashlahah, ‘uruf, Syar’u man Qablana, Sad az-zari’ah dan Istishab.
Upaya selanjutnya dilakukan adalah membuat standarisasi hukum syar’I kepada Taklifi (hukum yang di dalamnya ada perasaan beban), wajib, sunat, mubah, makruh dan haram. Dan hukum wadh’i (pengkondisian), Sebab, syarat, mani’ azimah dan rukhshah.
Kemudian ulama kontemporen membuat standar yang menekankan pada kemaslahatan atau prinsif dari suatu dalil nash, dengan tetap tidak mengabaikan produk dan metodelogi.
Di Aceh dengan berlakunya Syari’at Islam menjadikan standarisasi hukum Islam melalui bidang ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Sesuai dengan Pasal 125 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Pasal 128 ayat (3) meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum erdata), dan jinayah (hukum pidana).
[i] Dosen Pengasuh Mata Kuliah Syari’at Islam di Aceh pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh