Dan Guru pun Harus Introspeksi

Oleh Johansyah*

 

Tulisan ini sebenarnya adalah babak lanjutan dari tulisan sebelumnya yang bertajuk ‘Guru, Robot Yang Terbelenggu’. Di mana dalam artikel tersebut penulis mencoba mendeskripsikan relasi antara kebijakan pemerintah dengan profesi guru, di mana masih terkesan diskriminatif, memasung kebebasan guru, dan tidak mencerminkan nilai-nilai demokratis dalam pendidikan.

Rasa-rasanya, kurang adil jika kita juga hanya menyalahkan pemerintah sebagai pengambil kebijakan terhadap pendidikan dan guru itu sendiri. Secara internal, sederetan problem guru perlu dicermati, dievaluasi dan dicarikan solusi, sebab banyak juga guru yang tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana idealnya guru.

Di antara permasalahan yang perlu dicermati adalah; pertama, bahwa banyak guru yang tidak memahami tugas pokoknya sebagai pendidik, melainkan hanya memainkan peran sebatas mengajar, itupun dengan tingkat disiplin yang pas-pasan, teknik pengajaran yang statis, serta cuek terhadap permasalah-permasalahan peserta didiknya. Yang dikejar hanyalah pemenuhan alokasi waktu yang telah dibebankan kepadanya. Titik kulminasi dan ekspektasi dari aktifitas mengajarnya adalah gaji bulanan yang dibayarkan pemerintah kepadanya.

Permasalahan kedua adalah bahwa profesi keguruan bukanlah preferensi, melainkan sebuah kondisi keterpaksaan dan membaca peluang kerja beberapa tahun ke depan. Banyak orang tua yang memaksa anak mereka untuk kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) maupun di Fakultas Tarbiyah pada Pendidikan Tinggi Islam, dengan alasan agar kelak mudah mencari dan mendapat pekerjaan.

Dapat dipastikan, pola pikir model ini membahayakan bagi keberlangsungan pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi hanya akan  melahirkan para calon guru setengah permanen yang pada hakikatnya tidak suka menjadi guru. Akibatnya, setelah mendapat kesempatan untuk menjadi Guru Pegawai Negeri Sipil dia tidak mampu memenuhi tanggung jawab pendidikan sebagaimana mestinya. Ini merupakan blunder yang banyak diabaikan dalam pendidikan kita.

Permasalahan ketiga adalah semakin menipisnya tanggung jawab moral. Tidak banyak guru yang menyadari bahwa sebagai seorang pendidik dia sebenarnya adalah orang tua yang mengasuh, membimbing, mengarahkan, dan memahami peserta didiknya di saat jam sekolah. Barangkali, ini juga merupakan akibat lain dari permasalah pertama dan kedua di atas.

Permasalahan keempat adalah misorientasi guru yang lebih cenderung kepada pencapaian materi atau gaji tinggi. Persoalan mengapa guru senang ikut program sertifikasi penulis nilai motifasinya bukanlah untuk meningkatkan profesionalismenya, melainkan lebih kepada bayangan dan khayalan akan memperoleh gaji dua kali lipat dari gaji pokok.

Mirisnya, setelah guru tersebut disertifikasi, tidak ada tanda-tanda peningkatan kemampuan mengajar dan uang sertifikasi digunakan untuk pemenuhan materi untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Di sisi lain, entahkah dia lupa menyisihkan uang sertifikasi untuk membeli buku dalam rangka meningkatkat dan memperluas wawasannya.

Introspeksilah !

Janganlah kita seperti mata yang jelas melihat wujud dan benda lain di sekitarnya, namun tidak pernah mampu menatap dirinya sendiri. Apa yang kita inginkan dari guru adalah agar mau melakukan muhasabah atau mengevaluasi diri, apakah profesi keguruan yang dilakoni selama ini sudah maksimal dan baik, ataukah sebaliknya hanya sekedar memenuhi kewajiban dan menjalaninya dengan penuh keterpaksaan.

Tugas guru adalah tugas mulia untuk pemanusiaan, upaya yang lebih kepada pembinaan batin manusia menjadi lebih baik dan dewasa. Jika profesi keguruan menjadi lahan bisnis dan untuk memenuhi kebutuhan materi, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan misi utamanya yakni humanisasi, maka bukankan sesungguhnya yang kita lakukan adalah proses pendidikan yang bias dan akhirnya akan melahirkan anak didik egois, tidak toleran, tidak peduli, tidak disiplin, berkata kasar, dan tidak menghormati orang tua serta gurunya. Ini semua adalah hasil jiplakannya dari kita sebagai guru yang tidak pernah serius mendidik.

Mari juga sadari, bahwa misi tertinggi pendidikan bukanlah pada transformasi ilmunya, melainkan pada pembentukan nilai dan perilaku anak didik agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia sesungguhnya; manusia yang baik, menghargai, suka membantu, tolong menolong, mencintai kebenaran dan keadilan, jujur, disiplin, bersih dan selalu menginginkan proses dan hasil yang baik untuk dirinya dan orang lain.

Tiga Hal yang harus dinilai

Ada tiga hal yang harus dinilai, ditela’ah, dan dievaluasi oleh diri guru yaitu motivasi atau niat, kapasitas pengetahuan, dan kepribadiannya yang terkait dengan perilaku dan perbuatan. tiga hal ini sejatinya terus dievaluasi decara kontinyu untuk menjaga seorang guru keluar dari rel keguruan dan sosoknya sebagai pendidik.

Motivasi (niat) sangat menentukan cara pikir dan cara berbuat seseorang. Jika motivasinya hanya gaji, maka dalam pikiran dan perbuatannya hanya menjuruh ke arah tersebut, mendidik bukan misi utamanya. Dalam agama Islam atau ajaran agama apapun disepakati bahwa motivasi menentukan apa yang akan dipikirkan, direncanakan, dilakukan, dan diperoleh manusia.

Hal kedua yang harus dievaluasi adalah kapasitas pengetahuan yang dimiliki seorang guru. Adakah penambahan wawasan guru, baik dari segi materi, metode, pendekatan, rencana pembelajaran dan sebagainya. Idealnya, pengetahuan seorang guru harus dinamis, berkembang mengikuti rotasi zaman sehingga sebagai pelaku perubahan guru mampu membawa anak didiknya ke dunia yang sedang dan akan berlaku, bukan kepada masa lalu yang tidak lagi aktual. Di sinilah harus disadari bahwa guru haruslah cerdas, berwawasan dan mengetahui serta mampu menyikapi perubahan agar apa yang diberikan pada peserta didik benar-benar pengetahuan dan wawasan yang mencerahkan, bukan melelahkan dan membosankan.

Terakhir, seorang guru harus terus mengukur kepribadinnya. Bagaimana dengan sikap, perkataan, perilaku dan perbuatannya?. Apakah lebih banyak membuat peserta didiknya semakin benci, takut, dan ngeri?, atau sebaliknya membuat mereka menggemari kita sebagai guru yang cerdas dan berakhlak. Seorang guru harus mampu mengetahui dan menilai dirinya apakah keberadaannya mampu menjadi teladan, panutan, atau role of model bagi para peserta didiknya. Inilah kepribadian guru yang diharapkan, yakni menjadi teladan.

Sebagai guru, marilah kita perbaiki terus kelemahan-kelemahan diri dan berusahalah terus membenahinya, karena yang kita bengkel adalah manusia. Fastabiqul khairat.

——-

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.