Oleh Drs. Jamhuri, MA[*]
Difinisi Hukum Syar’i adalah Khitab (firman) Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf berupa perintah, pilihan dan pengkondisian”
Firman Allah yang dimaksudkan dalam pengertian khitab Allah di atas di samping al-Qur’an sebagai wahyu Allah juga mencakup hadis dan sunnah Rasulullah SAW ., pemahaman ini diperlukan karena dalam pengetahuan hukum Islam kedua kitab tersebut dijadikan sebagai sumber. Artinya ketika berbicara hukum Islam, maka pemahaman, pemikiran dan pembicaraan serta pengkajian kita tidak bisa lepas dari kedua sumber tersebut. Ketika pemahaman, pemikiran, pembicaraan dan pengkajian kita keluar dari keduanya pada saat itulah pemberian nama sekuler dapat dilabelkan.
Dalam pemahaman hukum Islam pada masa awal sampai pada masa modern (Fazlur Rahman menyebutnya dengan abad pertengahan), penggalian hukum dari al-Qur’an dan hadis yang di sebut dengan istinbath melalu metode qiyas, istihsan, mashlahah, saduzzari’ah, urf, istishhab dan syar’u man qablana, berupaya mengeluarkan hukum syar’i (hukum taklifi dan hukum wadh’i[1]) secara langsung dari kedua sumber hukum tersebut.
Jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat, dipadai dengan pemahaman satu ayat atau pemahaman terhadap indidual ayat. Dimana ketika ada satu kasus yang dipertanyakan atau diijtihadkan para ulama/mujtahid dan jawabannya bisa di temukan dalam satu ayat al-Qur’an saja, maka dianggap memadai dan tidak diperlukan adanya analisis dan pencarian serta pertimbangan ayat-ayat yang lain. Demikian juga halnya dengan hadis, bila bisa menjawab satu pertanyaan dengan satu hadis maka sudah dianggap memadai.
Selanjutnya bila ada kasus-kasus yang tidak disebutkan jawabannya secara langsung dari al-Qur’an atau hadis, para ulama berusaha mencari jawaban yang mendekati atau berusaha mempersamakan jawaban yang ada dalam al-Qur’an dan hadis dengan kasus yang dihadapi, metode ini selanjutnya di kenal dalam pengistinbathan hukum dengan qiyas.
Pola penalaran sebagaimana telah diuraikan, menimbulkan pentingnya pemahaman bahwa dalam Al-Qur’an dan hadis ada yang disebut dengan bayan, takhshish, taqyid, nasikh dan lain-lainnya. Karena pola pemahaman terhadap jawaban dari individual ayat dan hadis yang diperlukan.
Masa-masa setelah masa modern dalam pemahaman al-Qur’an dan hadis tetap menggunakan istilah istinbath, namun para ulama tidak lagi secara langsung berupaya mengeluarkan hukum syar’i dari kedua sumber hukum tersebut. Tetapi ada standar lain yang harus ditemukan oleh mereka yaitu prinsip (mabadi’), dari prinsip inilah selanjutnya akan dihasilkan hukum syar’i atau dalam istilah ilmu hukum disebut dengan norma.
Namun terkadang ahli-ahli hukum sering sekali tidak mengebutkan adanya prinsip secara eksplisit, sehingga sebagian ahli hukum kemudian mengabaikannya sama sekali. Akibatnya, berargumen atas dasar ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis individual menjadi sulit karena sang ahli hukum tidak berargumen atas kekuatan kumulatif ayat-ayat dan hadis tersebut. (Fazlur Rahman : Islam dan Modernitas 1985, 25).
Fazlur Rahman melanjutkan bahwa dalam membangun suatu stel hukum atau pranata, harus ada dua gerakan ganda ; Pertama, kita ahrus bergerak dari penanganan-penanganan kasus kongkrit oleh al-Qur’an – …- prinsip-prinsip umum dimana keseluruhan ajaran al-Qur’an berpusat. Kedua, dari peringkat umum ini harus dilakukan gerakan kembali kepada legislasi yang spesifik, dengan memperhitungkan kondisi-kondisi social yang ada sekarang. (Islam dan Modernitas : 1985, 22)
Karena sifat kewahyuan menyeluruh dari al-Qur’an, maka pemahaman terhadapnya bukanlah dari ayat-ayat secara individual, tetapi dari seluruh ayat sebagaimana telah disebutkan dan distulah ditemukan prinsip-prinsip atau nilai-nilai (al-Maqam) bertumpuk.
Untuk itu kerangka pemahaman al-Qur’an dan hadis Rasul dengan menggunakan istinbath, selalu berupaya menelusuri prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis tersebut. Setelah itu barulah diturunkan kepada hukum syar’I sebagai norma.
Disini juga perlu dijelaskan sebagai benang merah yang memberi batasan secara jelas antara hukum sekuler dengan hukum Islam. Dimana hukum Islam memiliki hirarki tertinggi kepada al-Qur’an dan hadis sebagai wahyu, yang selanjutnya menurunkan nilai dan prinsip sampai akhirnya melahirkan norma yang akan dilaksanakan sebagai hukum. Sedangkan menurut hukum sekuler kirarki tertinggi hanya sampai kepada nilai yang menurunkan prinsip dan melahirkan norma baik pada tngkat nasional ,pusat dan daerah.
Selanjutnya sebagian dari hukum syar’i akan tetap menjadi fiqh, yang akan dilakukan secara individu oleh umat Islam yang beragaman dan beribadah kepada Tuhan, dan sebagian lagi akan menjadi aturan siyasah syar’iyah (hukum positif) dengan melibatkan peran pemerintah (Negara) dalam mengatur kehidupan umat manusia dalam berbangsa dan bernegara, dan tetap dalam bingkai syar’iyah. Karena itu juga sudah seharusnya memulai adanya pemisahan pembahasan materi fiqh dalam pembahasannya kepada fiqh (syakhshun) dan siyasah syar’iyah. Kendati sebenarnya hal ini telah dilakukan oleh ulama terdahulu, namun untuk sebagian lagi belum populer.
[1] Hukum taklifi berupa wajib, sunat, mubah, makruh dan haram. Dalam mazhab Hanafi dibedakan antara fardhu dengan wajib dan haran dengan karahahh tahrim. Hukum wadh’I berupa sebab, syarat, mani’, azimah, rukhshah, shah, batil dan fasid.Sebagian ulama menambahkan dengan rukun, namun Prof. Dr. Al-Yasa Abubakar, MA mengeluarkan rukun tersebut dari pembagian hukum wadh’I karena rukun merupakan esensi dari perbuatan.