Pendidikan Aceh Pasca UU Sisdiknas

Oleh: A.S. Dewi, S.PdI*

Tanggal 11 Juni 2003 lalu merupakan hari yang sangat berarti bagi perjalanan sejarah pendidikan Indonesia karena hari tersebut disahkan dan ditetapkannya undang-undang sistem pendidikan nasional yang memenuhi hasrat dan harapan masyarakat yang selama ini begitu mendambakan adanya kesesuaian, kebebasan dan kewenangan sendiri untuk merencanakan dan melaksanakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan masyarakatnya. Apalagi seiring dengan dikeluarkannya undang-undang otonomi khusus No. 22 Th. 1999 yang memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah dan aparaturnya serta masyarakat untuk mengurus daerahnya masing-masing sesuai dengan kekhasan dan keragaman yang ada.

Pengesahan UU Sisdiknas berhasil gol  setelah melalui pro dan kontra yang cukup pelik, dimana ada pihak-pihak yang tidak menginginkan disahkannya UU Sisdiknas dengan alasan bahwa tujuan pendidikan yang disepakati itu tidak mencerminkan ideologi bangsa ini. Pasal yang dianggap “mengganggu” adalah pasal 13 UU tersebut yang menetapkan bahwa pendidikan agama harus diberikan oleh guru yang seagama dengan murid. Sederhana sekali, tapi mengandung makna yang sangat dalam.. Namun, dengan desakan umat Islam, panja Sisdiknas akhirnya mengesahkan UU tersebut dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya dengan berbekal UU tersebut, kegiatan negatif misionaris lewat pendidikan dapat sedikit diredam. UU sudah ada, bagaimana implementasinya waktulah yang akan bicara.

Perkembangan pendidikan di Indonesia pada masa orde baru telah membuat banyak kalangan merasa tidak puas, dimana dalam pelaksanaannya sering terjadi ketidaksesuaian dan ketidakadilan terhadap masyarakat. Kebijakan pendidikan ini diatur dalam undang-undang  pendidikan No.2 1989.  Dibentuknya undang-undang baru yang berkenaan dengan pendidikan ini dimaksudkan agar segala hal yang menghambat penyelenggaraan pendidikan dapat diperkecil atau dihilangkan sama sekali. Harian Waspada, Senin, 9 Juni yang lalu menyebutkan alasan perlunya undang-undang baru untuk mengatasi hal tersebut. Pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang dimasuki semua kalangan atau pendidikan untuk semua bukan hanya dapat didominasi oleh masyarakat “beruang” saja, ini alasan pertama.

Dari data yang diperoleh disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang terendah rangkingnya dari sudut pengeluaran biaya oleh pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya yang lebih memprioritaskan dana untuk pendidikan dalam anggaran negara. Faktor itulah yang menjadikan mahalnya biaya pendidikan selama ini. Meskipun kita tahu bahwa dalam UU No. 2 Tahun 1989 telah ditetapkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama yaitu orang tua, masyarakat dan pemerintah. Namun, kenyataannya semua itu tidak terlaksana sebagaimana mestinya.

Selain itu, pendidikan belum dipandang sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa dan menjadi peringkat utama dalam membentuk masyarakat Indonesia baru, padahal pendidikan adalah alat yang terpenting untuk menciptakan manusia-manusia yang berpikiran maju dan berkembang. Namun, masih banyak masyarakat kurang menyadari sepenuhnya tentang perlunya pendidikan. Atau  mungkin juga disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan lanjutan, sedangkan pendapatan hidup tidak mencukupi bila harus terbagi. Ini juga menjadi permasalahan masyarakat Indonesia, cara yang dapat ditempuh salah satunya adalah pendidikan murah.

Alasan ketiga, prinsip manajemen pendidikan yang sentralistik dan dikelola oleh birokrasi pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan prinsip otonomi pendidikan yang sedang digalakkan di beberapa daerah dan harapan berkembangnya inovasi-inovasi baru dalam pendidikan akan sulit berkembang. Disamping itu, dalam pelaksanaan pendidikan selama ini masyarakat seakan-akan tidak memiliki peran, terkesan pemerintah saja yang menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Sedangkan apa yang tercantum dalam sistem pendidikan nasional masyarakat merupakan komponen penting yang tak boleh diabaikan.

Permintaan segera digantikannya kebijakan undang-undang pendidikan tahun 1989, karena substansi baru dalam RUU Sisdiknas mencerminkan pendidikan yang diinginkan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan kali ini mengutamakan prinsip demokratis, tidak deskriminatif, menjunjung tinggi nilai HAM, nilai keagamaan, kultural dan pluralitas bangsa. Serta anak didik memiliki kesempatan  untuk memilih program dengan fleksibel dan waktu pengambilan dan penyelesaian pendidikan dengan kesempatan transfer lintas lembaga pendidikan. Masyarakat diberi kesempatan untuk menambah pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan kebutuhan dan kehidupannya. Meskipun, dari rancangan sempurna  prinsip baru itu terlihat tidak adanya pertentangan terhadap ideologi dan visi masyarakat Indonesia, tetapi ada pihak-pihak yang berkeberatan terhadap pengesahan rancangan undang-undang ini dengan alasan bahwa substansi yang menyangkut  pasal 3 tentang kata iman, takwa dan berakhlak mulia ingin dihilangkan karena dianggap tidak mencerminkan pluralitas keagamaan. Ini adalah pernyataan yang salah mengingat semua agama mempunyai ketiga sebutan kata tersebut.

Selain itu pasal 13 butir 1 yang berbunyi: Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Sebenarnya, alasan yang dikemukakan tidak dapat diterima secara akal sehat karena jelas apa yang dimuat dalam pasal 13 ini tidaknya melarang siswa memperoleh pendidikan agama apalagi hal ini disesuaikan dengan ajaran masing-masing, justru akan menjadikan siswa didik lebih memahami dan mendalami filosofi ajaran agamanya. Kekhawatiran akan mengeroposnya nilai-nilai iman sebelumnya tidak terjadi lagi dan kemungkinan terjadinya inversi agama menjadi sangat kecil. Penolakkan ini hanya didasarkan pada alasan yang sulit diartikan secara jelas apa sesungguhnya yang diinginkan.

Alasan lainnya, disebutkan bahwa pendidikan nasional  itu berfungsi memahami warga negara bukan soal agama. Menyikapi berbagai alasan yang diemukakan jelas orang-orang yang menolak tersebut sepertinya belum memahami benar bagaimana bentuk negara kita, Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama, tetapi agama mempunyai  peran dalam masalah kenegaraan apalagi bangsa ini terdiri dari beberapa agama dan mengatur masalah keagamaan tersebut secara khusus. Jadi tidak ada kesalahan atau pertentangan dengan kebijakan yang dimuat dalam RUU Sisdiknas tersebut.

Banyak kebijakan-kebijakan yang dimasukkan dan ditetapkan dalam rancangan undang-undang baru itu seperti penyidik sipil dan pengalokasian dana pendidikan yang dulunya dialokasikan ke pendidikan kedinasan. Dana pendidikan yang dialokasikan minimal 20% di APBN dan 20% di APBD. Jadi apabila ada guru yang pindah keluar daerah tidak ada lagi permasalahan tentang pembayaran gaji.

Terkait dengan pengesahan RUU Sisdiknas yang mengalami penundaan untuk beberapa waktu menimbang semua keluhan dan penolakan. Akhirnya RUU ini disahkan pada tanggal 11 juni yang lalu, meskipun ada beberapa fraksi yang memang tidak menyetujuinya bahkan ada fraksi yang tidak menghadirinya sebagai isyarat penolakkan mereka. Astrid Susanto dari fraksi KKI mengatakan alasan serupa bahwa agama bukan urusan negara. Hal ini tentunya akan membawa dampak terhadap pendidikan Indonesiai setidaknya mungkin dengan adanya perbedaan pandangan dari beberapa fraksi tersebut juga akan turut menciptakan variasi pendidikan di Indonesia pada waktu yang akan datang. Semoga hal itu tidak menjadi alasan terpecahnya persatuan bangsa.  Namun, harapan kita apa yang telah disahkan benar-benar dapat direalisasikan secara nyata bukan hanya sekedar menjadi bacaan sakral belaka dalam dokumen suci.

Pendidikan Aceh

Otonomi daerah telah melahirkan konsep baru dalam bidang pendidikan, yakni konsep disentralisasi pendidikan. Dengan konsep itu, daerah juga berwenang mengatur pendidikan, artinya peningkatan kualitas pendidikan bukan semata-mata tanggung jawan pemerintah pusat, tetapi beralih sebagiannya kepada daerah. Karena itu, maju mundurnya pendidikan di suatu daerah di Indonesia bergantung kepada sinergi antara pemerintah daerah dengan lembaga pendidikan di daerahnya.

Wewenang peningkatan kualitas pendidikan daerah dapat ditingkatkan dengan menyusun kurikulum yang dibutuhkan oleh pendidikan daerah.  Kurikulum merupan satuan penting yang menjadi format proses belajar mengajar.  Dewasa ini, dengan bergulirnya konsep otonomi daerah, dikenal beberapa konsep kurikulum, diantaranya adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan kurikulum berbasis sekolah. Sekolah (KBS) dapat memberi penekanan terhadap mata pelajaran tertentu yang dianggap perlu bagi anak didiknya.

Pendidikan Aceh dengan kultur masyarakat Islami, memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mengembangkan pendidikan bernuansa Islam dengan bermodalkan UU tersebut. Pendidikan yang bernuansa Islam akan kembali menemukan format awalnya setelah sekian tahun terbenam dalam ketidakpastian. Prospek cerah yang ditawarkan UU tersebut harus ditindaklanjuti oleh pengelola pendidikan di Aceh.

Semua mata pelajaran dapat diwarnai dengan nilai-nilai Islam.  Tak terkecuali ilmu eksakta.  Dewasa ini, pakar-pakar pendidikan berusaha “mengakrabkan” anak usia pendidikan dengan ilmu-ilmu eksakta. Kesalahan psikologis yang memandang ilmu eksakta sulit secara bertahap perlu dihilangkan.  Kendala psikilogis lain yang masih kuat tertanam dalam benak masyarakat awam adalah anggapan bahwa pendidikan ilmu eksakta tidak Islami, pembaratan dan lain-lain.  Keslahan persepsi ini berdamapk sangat besar dimana kemampuan eksakta pelajar di Aceh masih jauh dari daerah-daerah lain di Indonesia.

UU Sisdiknas sama sekali tidak bermasalah dengan pendidikan Aceh.  Dengan bermodalkan UU Sisdiknas dan UU Otonimi Daerah, pendidikan Aceh semakin leluasa melakukan proses internalisasi nilai-nilai keislaman, sehingga akan lahir geberasi-generasi yang tidak sekedar melek, tapi juga handal dalam berbagai ilmu penegtahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi pembangunan.. Satu lagi persepsi yang harus dihilangkan dari benak masyarakat adalah adanya ilmu yang bersifat fardlu ain dan fardhu kifayah. Anggapan ini mengakibatkan masyarakat hanya menganggap penting pendidikan agama, sehingga dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, anak dididik dengan agama dan sama sekali lemah dalam ilmu-ilmu keduniaan. Agaknya, perlu diadakan reinterpretasi terhadap doktrin yang dirumuskan oleh Imam Al-Ghazali tersebut, atau kita telah salah memahaminya.

—–
*Penulis adalah Guru Bahasa Inggris  MIN Merduati Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.