by

Asyiknya Jadi Wartawan (7) : Ikut wisata kerukunan umat ke Kalimantan

Oleh : Lukman Hakim Gayo

(24 November – 1 Desember 1986)

Semua media menempatkan wartawannya di semua departemen, sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Istilah populernya, mereka diposkan di departemen tersebut. Ia bertanggung jawab atas pos dan nara sumber yang berkaitan dengan pos tugasnya itu. Seorang wartawan kriminal, selain di poskan di jajaran Kepolisian juga di sejumlah tempat yang rawan tindakan kriminal.

Saya pernah mengalami beberapa pos. Departemen Dik Bud, Kehutanan, PU, Kesehatan, Perhubungan, Penerangan, Parpostel, Polri dan Polda. Sekali waktu saya diposkan di Departemen Agama. Tentu saja meliput berita-berita keagamaan. Baik sekolah-sekolah agama, Pengadilan agama, seputar pelaksanaan haji dan umrah, bahkan sampai ke pesantren-pesantren dan MTQ nasional.

Pada tahun 1986 saya diajak oleh Departemen Agama berkeliling di empat provinsi Kalimantan. Perjalanan ini bertajuk “Kerukunan Umat Beragama”. Kebetulan, hanya saya satu-satunya wartawan yang diajak mendampingi para Dirjen, Direktur-direktur serta pimpinan Lembaga Tinggi Keagamaan. Seperti MUI, MAWI, PGI, WALUBI dan PHDI..

Asyik juga. Sebab, fasilitas yang saya peroleh disamakan dengan para Direktur Jenderal itu. Baik pesawat terbang, hotel kelas satu di ibu kota provinsi, dan tentu saja, uang saku yang lumayan besar. Satu yang mengesankan adalah, saya bergaul bebas dengan para Romo dan Pendeta, bahkan Kardinal. Begitu juga dengan para Biksu, Bante dan sejumlah petinggi agama Budha dan Hindu, serta dengan para tokoh Majelis Ulama Indonesia.

Perjalanan dimulai ke Pontianak, Kalimantan Barat. Melihat perkembangan agama di provinsi itu. Sambutan di airport Supadio demikian hebat. Maklum, rombongan Dirjen, kecuali satu yang kecil mungil, yaitu wartawan. Namun, dalam pergaulan semacam ini, saya lebih merasa sebagai ‘penonton’, melihat kemesraan para tokoh-tokoh agama di Indonesia. Bersenda gurau antar ulama dan pimpinan agama, selama berhari-hari, membuat keakraban yang luar biasa.

Kelima lembaga tinggi agama itu mengunjungi lima objek agama tersebut. Baik rumah ibadah, sekolah-sekolah maupun organisasi mereka. Kami mengunjungi lembaga pendidikan Kristen di Pontianak, rumah ibadah Budha di Singkawang. Bahkan sampai ke Entikong, pintu gerbang ke Malaysia Barat. Ternyata, orang Indonesia di Entikong belanja ke Malaysia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Kota AMOI

Kalimantan Barat terdiri dari enam Kabupaten, satu Kodya dan satu Kotatif. Kabupaten itu adalah Pontianak, Sambas,  Sintang,  Ketapang,  Kapuas Hulu, Kodya Pontianak dan Kotatif Singkawang. Nah, walikota di Singkawang disebut Datuk Bandar. Budaya Melayu lumayan kental dibanding budaya lain.

Datuk Bandar menerima kami di Pendopo. Ia menyebut Singkawang sebagai Hongkongnya Kalimantan Barat. Memang kenyataannya, gadis-gadis bermata sipit mewarnai ibu kota Kabupaten Sambas itu. Tetapi bukan karena itu, Singkawang disebut sebagai kota AMOI. ”Sebab, AMOI di Singkawang adalah singkatan dari Aku Menjadi Orang Indonesia”, kata Datuk Bandar.

Kalimantan Barat juga kaya dengan hasil perkebunan jeruk. Penghasil jeruk terbesar adalah di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. ”Tetapi setelah sampai di Jakarta, orang mengenalnya sebagai jeruk Pontianak”, katanya lagi.

Nama Sambas sebenarnya sudah lebih dahulu mendunia, dibanding Pontianak dan Singkawang. Sekitar 1929-an, Imam Kerajaan Sambas yang bernama Syeikh Muhammad Basyuni Imran mempertanyakan nasib umat Islam, kenapa mengalami kemunduran. Pertanyaan itu dikirimkannya kepada Syeikh Rashid Ridha, selaku pimpinan redaksi Al-Manaar di Kairo.

Majalah Al-Manaar dilarang Belanda beredar di Indonesia, namun Awad Shahbal dari Solo, berhasil menyeludupkan majalah itu dalam jumlah besar. Pimpinan Al-Manaar belum mengenal Syeikh Muhammad Basyuni Imran dan tidak tahu dimana Sambas dan Borneo itu. Akhirnya pertanyaan itu diserahkan kepada Al Amin Syakin As-Salam, utusan Syria di PBB.

Akhirnya Al Amin memberikan jawaban dari pertanyaan seorang ulama di Sambas, yang tidak diketahui dimana letaknya. Jawaban itu berbentuk sebuah buku tebal, yang kemudian beredar ke seluruh dunia bersamaan dengan Majalah Al-Manaar. Konon buku itulah yang mengilhami negeri-negeri muslim terjajah untuk bangkit melawan penjajah, termasuk Indonesia.

Pontianak dan Kapuas

Kota Pontianak sendiri, punya legenda yang menarik. Konon, daerah itu memang tempat kuntilanak, hantu wanita cantik yang suka mengganggu manusia. Sultan Abdurrahman Alqadri, seorang ulama, berhasil menangkap pimpinan kuntilanak itu. Kemudian dipendamnya kedalam tanah dan diatasnya ditancapkan sebuah kayu besar. Kayu besar itulah yang menjadi tiang utama Masjid Sultan Abdurrahman.

Sultan Abdurrahman membangun kota di sekitar masjid itu pada 21 Oktober 1771 diberi nama Pontianak, dengan bantuan anak buahnya dari berbagai bangsa. Sebuah istana megah yang bernama Qadariyah, berdiri di tepi sungai menandingi mertuanya yang Raja Mempawah. Ia membangun dermaga dari sungai itu menuju gerbang masjid besar tersebut.

Melihat kemegahan itu, pamannya dari Ketapang berteriak kegirangan. ”Kau puas sekarang, ya, kau puas telah menandingi mertuamu”, katanya kepada Abdurrahman. Sejak itulah sungai tersebut bernama Kapuas. Beberapa kampung di sekitarnya bernama Saigon, Laos dan desa lain sesuai dengan asal muasal anak buahnya itu.

Tidak jauh dari Pontianak, terdapat sebuah tugu dengan anak panah melintang diatasnya. Itulah Tugu Khatulistiwa, yang menandai titik garis khatulistiwa. Garis itu seakan-akan membelah negeri ini menjadi Utara dan Selatan. Kenapa demikian penting? Karena, Pontianaklah satu-satunya kota yang dilintasi garis khatulistiwa di Indonesia. Ah, asyiknya jadi wartawan… (Ada sambungannya lagi….)

—-

*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta

Comments

comments