Bismillah…
26 Desember 2004 adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari dimana aku menemukan sebuah kejadian yang besar dan mewajibkanku untuk sekaligus berucap alhamdulillah dan innalillah. Hari itu aku diajarkan untuk belajar optimis dan belajar mengelola kesedihan. Hari dimana aku bahagia sekaligus sedih karena kebahagiaan yang belum kujalani.
Malam minggu malam yang panjang..begitulah istilah yang sering terdengar bagi kalangan remaja. Tapi bagiku malam itu sangatlah panjang karena aku harus mempersiapkan skripsiku untuk disidang munaqasyahkan pada hari seninnya. Sekiranya pukul 05.00 pagi aku bersiap meninggalkan kerjaanku dan dengan tanpa dikomando mata ini sudah seperti kehabisan energi karena terus dipaksa semalam suntuk untuk mendelik memperhatikan huruf-huruf dalam tugas akhirku..dalam hatiku aku berkata “ayah..mamak maafkan anakmu ngantuk..” hehehe…maaf becanda.
Namun sebelum mata ini benar-benar bersatu aku menyempatkan diri untuk menghadap Sang Penguasa Kerajaan Alam Semesta 2 rakaat. Akhirnya ketika hak dan kewajiban telah terlaksana..keinginan salah satu ciptaan yang melekat pada wajahku yakni mata, sudah benar-benar tak mau diajak kompromi..kuputuskan mencari tempat untuk dapat merebahkan badan yang lelah ini..kulihat sahabat terbaikku selesai melaksanakan kewajibannya juga kembali meratakan badannya dengan kasur empuk itu. Badanku pun rebah disamping kawan baikku itu.
Masih terbayang-bayang ketika adikku Qurrata ‘Aini berkata : “bang..sidang skripsi nanti dipersiapkan kue atau nasi ?” aku terdiam saat itu. Hatiku saat itu sangat bingung soalnya mau kue atau nasi sama saja butuh anggaran..tapi seolah-olah apa yang kucemaskan tertangkap oleh adikku..dia berkata “tenang bang, masalah uang untuk belanja tidak perlu dipikirkan..biar adikmu yang tanggung”..malu sangat saat itu tapi mau ngomong apa saat itu memang aku jadi abang yang kere..terimakasih adikku sayang. Sebuah ungkapan yang terkadang keluar dari mulutku kalau lagi ada maunya..hahaha..
Seolah tanpa ada aba-aba mataku terus bertambah redup..sepertinya sudah tinggal 3 watt ni mata dan akhirnya…..plip…terpejam………
Keluar…keluar….keluar….itulah kata-kata yang tidak pernah aku lupakan. Astaghfirullahal adzhimmm,… bibirku tak berhenti melafazkan kalimat istiighfar itu. Mataku yang masih berkunang-kunang, kepalaku mulai pusing akibat terlambat tidur dan baru bangun. Aku merangkak perlahan-lahan ke luar rumah, berusaha menghindari pintu dan jendela. Sekilas aku melihat ke arah CPU komputer. Dengan sedikit keberanian kuraih CPU komputer tersebut dan kulemparkan ke atas kasur..dan segera berlari keluar. Ternyata di luar sebagian besar penghuni rumah di komplek juga sudah berhamburan keluar dengan wajah panik kami langsung duduk dan tiarap.
Kulihat matahari masih bersinar terang. Arahnya juga masih dari Timur. Tapi Kulihat ke sekelilingku semua orang menyebut Asma Allah. Sempat aku berfikir ini bukan pertanda kiamat. Aku ingat bahwa salah satu tanda kiamat adalah tatkala matahari terbit dari Barat dan jatuh pada hari Jum’at.
Kupegangi tanah yang sedikit berkerikil itu. aku masih khawatir dan berasumsi bagaimana jika tanah ini mulai retak karena gempa masih sangat kuat dan belum juga berakhir. Kepalaku masih sangat berat, Seolah-olah aku lagi berhadapan dengan lautan berbadai topan, sementara aku adalah nakhoda tanpa anak buah dalam perahu kecil terhempas kesana kemari, kucoba mencari pegangan namun tetap saja aku merasakan hentakan bumi yang sangat dahsyat.
Setelah 15 menit Gempa mulai reda tapi kenapa masih bergoyang bisikku dalam hati. Antara setengah sadar aku berpikiran bahwa mungkin aku kekurangan tidur tapi tidak ternyata gempa itu masih ada tapi dalam skala kecil. Ku tarik nafas untuk menenangkan diriku. Subhanallah,..bagaimana adik-adikku dan kakak serta anak-anaknya yang kutinggalkan semalam?? Apakah abangku telah pulang ? siapa yang menemani mereka semalam ? timbul kesal dalam hatiku..kenapa aku tak memastikan dulu kedatangan abg baru aku pulang ke kuta alam ? Hatiku sungguh diserang gundah. Tapi apalah daya. Aku masih disibukan untuk berfikir bukan bertindak.
Kuberanikan diri untuk meminjam motor sahabat terbaikku. Dengan menggunakan celana tidur batik, kuselipkan STNK motor ke saku celana tersebut. Baju yang aku pakai pun masih baju Pekan Kebudayaan Aceh yang sebelumnya aku beli di “Arena Hambur-Hambur Uang” tersebut. Ditengah perjalanan yang diselingi gempa itu masih sempat kusaksikan Jendela kantor pelayanan PLN provinsi pecah sampai memuntahkan serpihan kacanya ke jalan protokol T. Nyak Arief tapi aku sudah tak perduli pertanyaan-pertanyaan was-was tentang keberadaan adik dan kakak serta abang menjadikan keberanianku meningkat untuk segera mengetahui keberadaan mereka.
Ku pacu motor itu..tarlihat spedometer menunjukan 100/km perjam..10 menit aku tiba di rumah kakak di Krueng Cut..namun belum sempat aku menstandarkan motor..abang dan kakak berseru..”buruan liat adik-adik di Kajhu..!!!” tanpa pikir panjang aku langsung kembali membuat gas motor itu berderu dan melaju..ke arah Kajhu. Sepanjang jalan masih kudengar teriakan-teriakan dan ucapan Asma Allah dengan nada tinggi..begitu juga aku. Dalam kegamangan aku spontan menyebut Asma Allah berharap yang baik dan jauhlah yang buruk..
Simpang Empat Kajhu..ah sedikit lagi kataku…begitu aku tiba di Penjara yang baru saja diresmikan seminggu sebelum kejadian. Aku melihat dinding penjara yang sangat tebal itu tidak lagi berbekas. Semua ambruk. Yang tertinggal hanyalah kerangkeng besi dan arena olah raga yang terbuat dari jaring-jaring besi. Tapi tak lama kuperhatikan karena tujuan utamaku adalah bertemu adik dan abangku..
No. 42 Blok G..aku ambil jalan pintas dari pematang sawah itu dan kupacu motor kawanku itu dengan sedikit cepat..akhirnya tibalah aku di depan rumah yang merupakan pemberian almarhumah ibundaku. Kulihat raut wajah adik dan abangku agak sedikit tegang..namun dengan penuh kedewasaan yang spontanitas aku berpesan kepada mereka aku berpesan kepada adik Nurun Nahri “Nurun..abang tahu kamu besok ujian tapi tunggulah dulu sekitar 2 ataupun 3 jam kedepan untuk masuk rumah karena takut nanti ada gempa susulan”. Begitulah nasehatku waktu itu. melihat kondisi mereka baik-baik saja aku segera pamitan kepada abangku nomor 3 dan adikku yang perempuan dan yang laki-laki..
Kembali kususuri jalan lurus menuju rumah kediaman kakak iparku di Krueng cut..pikirku dalam hati sebelum aku pulang ke kuta alam ada baik aku bermain sebentar dengan malaikat-malaikat kecilku (Muhammad Mulla Shadra dan Khaira Faqiha).. tapi begitu aku tiba di depan rumah mereka..abangku yang tertua berkata : khaimi..cepat antar kakak kamu dan anak ke darussalam kabarnya Air Laut naik.. aku berkata “baiklah”.
Dalam hati aku berpikir mungkin yang dimaksud oleh abang tadi adalah air laut pasang. Tapi ada suara-suara aneh yang terdengar semakin kencang di telingaku. Suara teriakan dan ada juga suara dentuman. Aku terhenyak dan sepertinya ada yang tidak beres. Segera kunaikan keponakanku ke atas motor dan membonceng kakak. Sepeda motor itu juga kularikan dengan sedikit kencang dan kasar.
Dengan menggunakan jalur pintas biasa saja kata abangku yang tertua. Aku tahu maksudnya segera kuarahkan sepeda motorku menuju arah Cadek. Tapi begitu aku melewati Markas Besar Harian Serambi Indonesia aku disuguhkan pemandangan yang sangat mengerikan. Air dalam skala besar menggulung apa saja yang ada di depannya tak terkecuali manusia. Termasuk jalan pintas yang biasa kami gunakan tersebut. Segera saja bagian depan motor itu ku ubah arah dengan maksud menjauhi gulungan air tersebut. Aku berhasil meninggalkan air tersebut. Tak disangka abangku dan adikku perempuan juga mengikuti dari belakang dengan menggunakan motor. Kami kembali ke arah menuju rumah dan berharap dapat menggunakan jalur Simpang Mesra tapi…
Subhanallah..jalur satu arah tersebut penuh sesak oleh kendaraan dan lautan manusia..dibutuhkan kegesitan dalam mengendarai sepeda motor dan akhirnya tibalah kami di depan rumah. Tak disangka..ternyata Simpang Mesra sudah penuh dengan air akibat Krueng Aceh (sungai) itu telah meluap dan sekilas aku mendengar suara guruh dan dentuman serta teriakan manusia semakin mendekatiku dan keluargaku..aku melihat garis hitam pekat dan terus mendekat..kurangkul malaikat kecilku..kudekati keluargaku..kutatap mata mereka..(aku tidak bisa menjelaskan apa yang ada dalam tatapan mereka saat itu).
Dalam hatiku aku berpikir bagaimana cara agar malaikat kecil itni tidak terpisah dari ku. Dengan sigap segera saja kumasukan si kecil itu dalam baju kaus dan mengeluarkan kepalanya melalui kerah baju tersebut, berharap dia dapat terikat dengan nyaman di dalam baju dan tidak terpisah dariku..tiba-tiba suara gemuruh air itu semakin dekat di telingaku, persis di belakang kami, mengejar kami dan air itu menyapu kami. Kami berpelukan dan saling mengecangkan pegangan namun apa daya
Peganganku yang kuat mampu terlepas oleh satu hentakan gelombang yang datang menghantam tubuh dan pemukiman kami. Aku terhuyung-huyung antara sadar dan tidak. Hanya suara badai angin disertai air yang masih bergemuruh ke arahku. Kecepatan air tsunami pada pusat gempa saat itu mencapai 700 km/jam namun menjalar ke pemukiman bisa mencapai 150 – 200 km/ jam melebihi kecepatan motor saat aku mengebut tadi sebelum kejadian.
Entah berapa lama..entah berapa detik..entah berapa menit..yang aku tahu saat itu adalah disekelilingku air dan air..aku ingin bangun tapi seperti ada yang menahanku dan kusadari saat itu aku ditimpa oleh kayu balok yang sangat besar..dengan sekuat tenaga kuangkat gelondongan kayu itu karena aku tahu benda seberat apapun dapat sedikit digerakkan dalam air yang bergerak..lepaslah aku dari timpaan kayu itu dan dengan mengirup udara melalui air yang kumasukan dalam paru-paru itu aku berjuang dan meluncur keatas dan yang aku tahu saat itu aku telah berada di bawah pamplet besi yang aku kenal hanya ada di daerah Simpang Mesra.
Dan benar dugaanku..Hening seketika saat itu. suara Gemuruh dan kepanikan tadi seperti hilang tanpa suara. Semua diam, gelombang besar pertama tak lagi bergejolak lagi. Namun sekilas aku memperhatikan masih ada gunungan air yang akan segera tiba dari arah Lingke. Dengan sedikit kekuatan kucoba meraih apa yang saja yang lewat di depanku berharap dapat membuat aku selalu di permukaan air. Ya..saat itu aku masih ingat bahwa yang kudapatkan adalah sebentuk lemari yang kecil yang membuat aku bertahan diatas permukaan air namun gunungan air itu kembali membuat aku terhempas dan tiba di daerah Rukoh Darussalam..
Dalam keadaan panik sekilas ku melihat ke arah baju kaosku dan sakit terasa begitu mengetahui sang malaikat kecilku telah tidak lagi berada disana..ingin menangis tapi konsentrasi masih pecah karena riak Gelombang air itu masih membawaku tak tentu arah..
Aku memperluas penglihatanku dan kutemui sesosok manusia yang rasanya ku kenali.. dan benar ternyata itu adalah saudara tertuaku..abangku..segera ku panggil dan kusebut panggilannya Bang Kul…berkali-kali kupanggil namun sepertinya ia tak mendengar. Tapi tanpa kenal menyerah kutinggikan suaraku dan berhasil. Perhatiaanya tertuju kepadaku..namun betapa terkejutnya aku karena pertanyaannya “kemana kakakmu dan dimana anakku” ??? aku diam..aku merasa bersalah..Namun air itu terus membawaku dan kembali berpisah dengan sang abang..
Ya ALLAH… hatiku aku terus menyebut asma Allah..dan akhirnya dengan sisa pendengaran yang aku punya saat itu aku mendengar suara panggilan abangku yang sedikit membuatku tenang karena mengetahui keberadaanya..selamat..”kesini..kesini…abang ada diataas pohon mangga”..itulah yang terdengar saat itu dan aku terus berusaha menemukan dimana keberadaannya..akhirnya usahaku berbuah hasil aku menemukan sang abang dan mengikuti instruksinya agar menaiki pohon tersebut..saat menaiki pohon tersebutlah aku baru sadar kalau celana batik tidur sudah meninggalkan tubuh bagian bawahku yang tertinggal hanyalah segitiga berwarna cokelat..(off the record)..hehehe..namun tanpa rasa malu karena saat itu adalah keselamatan yang diutamakan bukan malu yang dipertimbangkan..kuberanikan diri memanjat pohon tersebut.
Namun sepertinya musibah ini belum berakhir.. Aku melihat gerakan air yang kencang dengan posisi vertikal tingginya mencapai 10 meter melebihi tinggi sebuah pohon kelapa itu mengejar kami..gelombang pasang kedua kembali datang dan lebih tinggi. Seperti hantu yang begitu besar berlari dengan cepat dan menakuti siapapun yang ada di hadapannya..namun saat itu aku tidak mau menyerah.
Aku terus memanjat..memanjat…dan memanjat hingga keberadaanku saat itu hampir berada di pucuk pohon mangga tersebut. Sempat terlihat air itu berwarna hitam pekat dan berbau aneh.. Tak satupun dari kami yang tidak menangis, menangis karena merasa begitu kerdil di hadapan Allah. Menangis karena tak mampu menyelamatkan yang lain. Menangis karena merasa dalam ketiadaan dan kehilangan..
Akhirnya Air mengerikan itu surut memenuhi dasar-dasar laut membawa semua yang dilewatinya. Aku menghela nafas panjang. Aku hanya diam di atas pohon mangga yang sudah tua itu, dengan sisa tenaga aku mencoba menolong yang lain yang kebetulan masih berpegangan di cabang pohon mangga tersebut namun masih berada di air. Ku perhatikan sekelilingku rumah-rumah yang telah hilang ditelan air, bahkan jauh disana aku tidak mengenal yang mana daerah Kajhu, Cadek, Krueng Cut dan daerah sekitarnya tidak kelihatan lagi. Pepohonan yang hilang terbawa kesana kemari seiring rmah abang yang telah menjadi lautan air dan sisa-sisa hancuran bangunan hanya dalam hitungan menit…
Puluhan orang yang selamat termasuk aku dan abangku serta orang-orang yang berada di pohon mangga itu sebagian kecil dari ribuan orang yang memukimi daerah ini. Kami bergerak menjauh dari tempat ini. Banyak yang terluka, tubuh penuh sayatan sangat perih pastinya saat bersentuhan dengan air laut yang asin. Anak-anak yang menangis terpisah dari ibu bapaknya. Sebagian terlihat tanpa pakaian mungkin terbawa arus yang kencang..P
ikiranku tak mau berhenti memikirkan keselamatan adik dan kakak dan malaikat kecilku, selamatkah ia mereka ??,..sepanjang jalan menuju ke tempat yang lebih aman aku tak henti-hentinya membolak balik tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat. Setiap kali itu pula aku menangis karena usahaku sia-sia.
“Kamu tunggu disini, abang akan mencari kakakmu dan adik-adik”. Itulah kalimat yang meluncur dari mulut abangku ketika kami telah sampai ketempat yang aman tepatnya di Mesjid Jami Kampus Darussalam. Aku melihat kekhawatiran yang teramat sangat di wajah abangku itu..begitu juga aku.. Namun kuyakinkan diri sendiri bahwa aku harus tegar.. di sekelilingku kulihat hal yang sama. Ribuan orang mencari sanak keluarga mereka yang lain, ku pikir aku tak mungkin menggantungkan diri pada orang yang juga sedang dalam kesusahan.
Hampir 4 jam dan disetiap 15 menitnya aku tak lelah bersusah payah membolak balik tiap tubuh yang kujumpai di jalan, di halaman masjid dan di halaman perpustakaan. Namun tetap nihil. Aku sama sekali tak menemukan tanda dari orang yang kusayang. Semua orang sepertinya melakukan hal yang sama denganku membolak balikkan tubuh-tubuh yang telah kaku tanpa nyawa, ada yang mengangkat mayat anaknya sambil tak henti-hentinya meraung. Anak-anak kecil yang menangis mencari ibunya. Akhirnya aku terdiam tak mampu menangis lagi, melangkah gontai berharap ada yang mencariku dan memanggilku abang, adek, ama. Tapi tak terdengar..
Saat itu sudah lewat pukul 12 siang..Gempa-gempa susulan yang terus datang bertubi-tubi tak menyurutkan niat kebanyakan orang untuk mencari sanak keluarganya. Andai hidup puncak perpisahan,
biarlah mati menyambungnya semula. Namun seandainya mati puncak perpisahan, biarlah hidup ini membawa arti yang nyata.
Aku duduk tanpa suara di tangga masjid kampus syiah kuala, masjid ini menjadi salah satu tempat pengungsian terdekat dan relatif lebih aman dari tempat tinggalku. Ratusan orang yang selamat berkumpul di sini. Aku mulai memperhatikan tiap mayat yang digotong beramai-ramai, lalu di letakkan di samping masjid. Sudah hampir satu jam aku duduk di sini, beberapa orang kenalan yang kujumpai tetap tidak tahu menahu atau melihat dimana keberadaan adik kakak dan keponakanku..Hopeless,..mungkin itu yang aku rasakan. Hari pun semakin senja.
Allahu Akbar..Allahu Akbar..suara azan Ashar berkumandang. Aku ingin menangis dan segera menghadap-NYA tapi apalah daya pakaianku tidak beradab untuk menghadapNYA..ditengah kegamanganku Sekilas aku melihat saudara tertuaku di atas sebuah mobil pick up dengan wajah sedih. Apa gerangan dalam hatiku.
Ternyata dia menemukan adikku Qurrata Aini..kulihat tubuhnya berada dalam tumpukan mayat dalam mobil tersebut. Aku lemas…segera kuangkat tubuhnya dengan sangat pelan-pelan..kuperhatikan wajahnya tersenyum kepadaku. Kuperiksa denyut nadinya..diam dan tak ada tanda-tanda. Kupeluk dan kuberikan kecupan di keningnya sambil berkata “wahai jiwa yang tenteram..kembalilah engkau kepada TuhanMU dalam keadaan ridha, masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba TuhanMU dan masuklah ke dalam Syurga TuhanMU”.
Kuperhatikan tubuh adikku itu dengan seksama..ternyata Allah menutupi Auratnya dengan baik..baju daster panjang merah dan celana panjang masih melekat di tubuhnya dengan sempurna diselingi penutup kepalanya yang berwarna putih..subhanallah..terimakasih ya Allah..begitulah kata yang kuucapkan sesudah shalat asharku. Disamping itu aku masih berharap akan saudara-saudaraku yang lain..
Sebentar lagi malam tiba. Tapi mereka belum juga kutemukan. Ku kuatkan hatiku, mungkin dia belum tertolong atau mungkin dia mengungsi di tempat yang lain, beribu kemungkinan untuk menguatkan hatiku sendiri. Walaupun ku tahu cemas itu semakin menyiksaku. Menyiksa tubuh, hati dan pikiranku. Sejuta harap pula ku junjung setinggi harapan jiwaku.
Aku masih duduk diantara jejeran mayat yang ditemukan hari ini. Mataku tak lelah memperhatikan tiap lekuk tubuh, bentuk wajah tubuh-tubuh yang tak bernyawa itu. Wajah mereka mulai sulit untuk diidentifikasi, bentuk wajahnya sudah tidak jelas lagi karena tertutupi oleh lumpur hitam dan sisa-sisa kotoran yang menempel di sekujur tubuh, selain itu juga karena lama terendam di dalam air sehingga sebagian besar tubuh dan wajah mereka menjadi bengkak dan menggelembung.
Aku berharap tak menemukan mereka, aku tak kuat jika pada kenyataannya semua telah tiada, mungkin juga aku akan gila jika benar harus menghadapi kenyataan seperti itu.
Tetes demi tetes airmata yang berjatuhan di pipiku. Di sela-sela tangisku aku sedikit mendengar gumaman orang disekitarku entah siapa itu. “mengapa begini, mengapa tangan abang tak kuat memeluk kalian, mengapa kita harus berpisah dalam keadaan yang menyakitkan, sungguh abang merasa bersalah atas perpisahan ini. Kusadar ternyata itu adalah suara hatiku..Aku sesugukan..tak sanggup ku mengucapkan sepatah kata pun.
Puluhan orang hilir mudik di hadapanku, aku tahu dalam hati tiap mereka yang kujumpai hari ini menyimpan berbagai macam perasaan. Beragam pula cara mereka menata hati masing-masing. Namun bagiku musibah ini menjadi sebuah refleksi diri, tak ada satupun yang mengetahui hikmah di balik semua ini. Rahmat sering datang kepada kita dalam bentuk kesakitan, kehilangan dan kekecewaan; tetapi kalau kita sabar, kita segera akan melihat bentuk aslinya.
Tiga hari sudah aku terlunta-lunta di sini bersama puluhan orang yang juga bernasib serupa. Tidur tanpa alas, makanan yang tidak tersedia, pakaianpun yang melekat di badan saja. Uang menjadi tidak berharga karena tak ada makanan yang bisa dibeli. Belum lagi harus tidur di antara aroma mayat yang belum dikubur. Ingin aku ada seseorang yang datang memelukku, berharap keluargakyu menemukanku atau berjalan menghampiriku. Berulang kali aku melongok tiap mobil ambulance yang mengangkat mayat untuk dimakamkan atau korban tsunami yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. Namun hasilnya tetap nihil.
Dimanakah kau cintaku,…kegelisahan menghampiriku..kurindukan panggilan ama, kunantikan panggilan abang pedeh dan panggilan adek..Dimanakah mereka ya ALLAH.. Dimanakah kau keluargaku, dalam bisunya puing-puing tsunami kurapatkan tiap jengkal kekuatanku,.. Dimanakah engkau separuh jiwaku yang lain,…aku akan tetap menantimu dalam setiap saat ketika mimpi indah menghampiriku,..
Akhirnya aku harus segera bertindak..kucari informasi dimana dapat aku menguburkan adikku dan Desa Berabung menyatakan bersedia secara sukarela untuk melaksanakan Tajhiz Mayit atas adikku..setelah ku kuburkan adikku..dengan penguburan yang layak bukan secara massal.
Singkatnya aku tak sanggup menunggu lama lagi di sini, aku juga tak mungkin diam saja. Aku harus memberi tahu keadaan kami disini terhadap keluargaku di Takengon. Telah 3 hari tidak ada yang memberi kabar dan aku takut kondisi ini membuat kondisi batin ayahku memburuk setelah setiap tahunnya ditinggal oleh keluarga intinya..dengan tubuh penuh luka kuberangkat menuju tempat kelahiranku..
Aku hampir terjatuh dari sikap berdiriku, ketika setibanya aku di depan rumah di Pinangan..begitu banyak orang..aku kalut..aku takut..ada apa ini ? pikiranku tertuju kepada sang Ayah. Segera aku berteriak Ayaaaaahhhh….aku roboh..gelap..dan tak sadarkan diri..
Dalam ketidaksadaranku dan entah dimana aku saat itu..terdengar panggilan dari orang yang sangat ku kenal..”ama..ama..ama..ini shadra ama..tolong shadra ama..” tiba-tiba aku kedinginan seperti ada yang menumpahkan air di badanku..dan ketika aku sadar memang benar ternyata disampingku telah duduk ibu (ibu tiriku) dan nenek serta paman-pamanku..kulihat memang ada gelas berisi air di tangan ibuku..dan aku sadar wajahku sudah basah tersiram air..aku menangis sejadi-jadinya..kembali aku bertanya “dimana mereka ?” namun tak ada yang menjawab. Semua menangis.
Sempat kutanyakan Ayah kemana namun mereka berusaha menenangkanku dan menjelaskan bahwa Ayah telah pergi ke Banda Aceh untuk mencari kami..Tubuhku mungkin lemah, air mataku juga tak henti-hentinya mengalir. Tapi hatiku telah belajar banyak tentang kesabaran, hampir 4 hari aku melihat wajah-wajah yang murung menanggung sedih, hampir 4 hari pula aku terpekur dalam doa panjangku agar diberikan kekuatan berlebih untuk menerima guncangan jiwa yang hebat ini. Hampir 4 hari pula aku hampir hilang pegangan untuk menggenggam hati lemahku, tapi aku yakin Allah Maha Tahu yang terbaik buat aku dan keluargaku.
Di 4 hari itulah aku sering dilanda demam..badanku seperti dibakar, terkadang seperti ditumpahkan es berton-ton. Pamanku curiga..dan memeriksa bekas-bekas luka di tubuhku..dan kecurigaanku pamanku terbukti dengan diangkatnya serpihan kayu sepanjang jari kelingking yang menusuk bagian belakang pinggangku..dengan sigap paman memberikan alkohol 70 persen..aku meringis kesakitan..dan semenjak itulah badanku tidak lagi mengalami demam.
Aku harus kuat, lebih kuat dari yang terlintas di pikiranku atau lebih kuat dari stereotype kebanyakan orang tentang kelemahan seorang yang terkena musibah. aku yakin aku lebih tangguh dari yang terlihat.
Hatiku berteriak dalam diam, bahwa aku mampu bertahan. Seperti Nabi Muhammad yang tetap menjadi tegar mesti dua orang yang dicintainya telah tiada. Aku harus tetap kuat.
Aku tak pernah menghadapi suasana yang begitu hening seperti saat ini. Semua mulut terdiam tak berucap kata, setiap kepala memikirkan bagaimana dan mengapa. Termasuk aku, kepalaku dipenuhi tentang abangku, adik-adikku dan keponakanku. Bagaimana keadaan mereka, aku tak ingin semakin terpuruk setelah kehilangan Qurrata Aini, lalu harus menerima kenyataan bahwa kalau seandainya mereka juga telah tiada.
Namun semangat Ayah dan Abang tertuaku di Banda Aceh berbuah hasil mereka berhasil menemukan Abang Zuhaili dan Adik lakiku Edy Sahlan. Tapi Adik Perempuanku satu lagi Nurun Nahri..dia hilang. Aku kembali menangis..Ya Allah aku terus berdoa dalam hatiku agar mereka ditemukan, tapi jika kenyataannya berbeda, aku akan ikhlaskan segalanya pada Yang Kuasa, bukankah dengan demikian hatiku akan menemukan titik ketenangan.
Ku menangis,…Mengenang keluargaku tercinta. Aku tak sanggup menahan air mataku yang berulang kali kuseka namun kembali terjatuh lagi. Ku tak sanggup menatap di sekelilingku, dunia ini serasa gelap. Namun ku tetap kuatkan hatiku untuk tetap berada pada ambang kesadaranku. Aku rindu sapaan lembut sapaan “ama” dari 2 malaikat kecilku, aku rindu lelucon adik-adiku. aku sangat merindukan mereka semua.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. “Faman zuhzikha ‘aninnarri wa udkhilul jannata faqad faa za. Wa mal hayatuddunyaa illa ma taa’ull ghururrri,…” Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam Syurga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (Ali-‘Imran 185).
(Khaimi Aman Ai Ra)
.