Khalisuddin*)
Setelah ikan Depik, ikan endemik yang hanya ada di Danau Laut Tawar Dataran Tinggi Gayo divonis secara ilmiah akan punah (The Red List of Threatened Species)pada tahun 1990 oleh The International Union for Conservation of Nature (IUCN), sebuah organisasi nirlaba yang bergerak dalam isu-isu lingkungan dan konservasi.
Selanjutnya bahasa Gayo, juga dikhawatirkan akan punah oleh seorang doctor peneliti bahasa Gayo berkewarganegaraan Australia, DR.Domeynik Eades pada 2008 lalu. Bahasa Gayo sebagai salah satu bahasa yang ada di dunia akan segera lenyap bila tidak ada upaya konkrit dari komunitas Gayo sendiri untuk menyelamatkan suku bangsanya.
Kini kayu khas Gayo, kayu Grupel juga berstatus sama dengan ikan Depik, dan bahasa Gayo. Kayu unik bernama ilmiah Lisea.sp yang sefamili dengan Lauraceae tersebut berstatus terancam hilang dari muka bumi. Alasan kepunahan, menurut salah seorang staf Dinas Kehutanan Aceh Tengah, Subhan, S.Hut beberapa waktu lalu dikarenakan karena belum adanya upaya budidaya pohon bertekstur unik ini.
“Pengembangbiakan Grupel terjadi hanya bisa secara alami yakni dengan anakan alam yang berada dibawah tegakan pohon yang ada. Perkembangbiakan dengan sistim kultur jaringan membutuhkan biaya yang sangat besar, ” kata Subhan tanpa menyebut besar biaya yang dimaksud.
Kayu Grupel dapat tumbuh pada ketinggian antara 700-1700 meter diatas permukaan laut (mpdl) dan mampu hidup pada berbagai jenis tanah, baik lahan kritis maupun bebatuan. Ketinggian pohon bisa mencapai 35 meter dengan diameter 100 cm.
Kayu ini tidak mudah busuk walau terpanggang matahari, terendam dalam air dan terbenam dalam tanah, sehingga pada era sevelum tahun 1990 masyarakat Gayo sering memakainya untuk papan penutup liang lahat bila ada orang meninggal dunia.
Grupel menjadi terkenal karena tekstur bunga yang ditampilkan sel kayu ini juga sangat indah yang disebabkan oleh tidak normalnya perkembanganbiakan sel pada batang dan akar kayu (bannir) tersebut. Kayu ini juga menabur aroma wangi atsiri yang khas..
Adapun bagian kayu Grupel yang digunakan sebagai kerajinan bernilai tinggi adalah bagian akar dan bekas tebang yang ditinggalkan. Di Gayo dikenal dengan istilah Tomoh (Bongkol). Uniknya, semakin lama umur penebangan, limbah berupa Tomoh ini semakin bagus dan bernilai tinggi untuk bahan kerajinan.
Di tahun 1990 sampai 1997, Kayu Grupel pernah menjadi barang yang paling dicari oleh pengusaha kerajinan berbahan kayu berkebangsaan Korea . Saat itu, jengkal demi jengkal sudut hutan Gayo diacak-acak untuk mendapatkan kayu Grupel. Bahkan, bukan lagi sisa tebangan yang diambil, kayu Grupel yang masih berdiripun ditebang dan diangkut ke Korea dan sejumlah negara lainnya.
Raungan mesin chainsaw menggema di lembah dan diketinggian hutan-hutan negeri Gajah Putih tersebut. Ribuan kubik kayu Grupel di tarik paksa dengan katrol berkekuatan tarik tinggi. Truk-truk meluncur ke Sumatera Utara membawa lempengan-lempengan dan balok-balok Grupel siap olah.
Wangi Grupelpun berhamburan saat truk-truk tersebut melintasi ratusan kilometer jalan Takengon-Medan. Sesaat kemudian wangi Grupel sudah berada di atas kapal laut berlayar menuju negeri yang diinginkan sang toke bermata sipit tersebut. Saat konflik Aceh berkecamuk hebat, ribuan aparat kemananan dikerahkan dari seluruh Indonesia ke Aceh termasuk ke Dataran Tinggi Gayo.
Kayu Grupel kembali menjadi incaran para tamu domistik yang bertugas menjaga kemanan tersebut. Wangi semerbak Grupel layaknya menjadi penenang bagi para aparat kemananan yang dipastikan tertekan berada di Aceh saat itu. Produk berbahan kayu Grupel menjadi souvenir termahal bagi para penegak keamanan yang bertugas di Gayo khususnya dan Aceh umumnya.
“Tak ada artinya dari Aceh tanpa buah tangan dari Gayo berupa Grupel” merupakan slogan bagi mereka. Setelah tercapai MoU Damai RI-GAM, wangi Grupel menghilang beberapa tahun. Secara mengejutkan dan terkesan tak sengaja, hasil kerajinan berbahan Kayu Grupel kembali menghebohkan.
Di ajang Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V yang lalu di Banda Aceh. Seorang seniman ukir asal Gayo, Malio Adnan membuat sebuah kursi dari limbah kayu ini. Kursi tersebut dinamakan “Kursi Perdamaian” yang dihadiahkan kepada orang Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Kursi Perdamaian tersebut ternyata menarik simpati banyak orang bahkan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelum diboyong Irwandi, SBY telah lebih dahulu mencoba menduduki kursi tersebut dan ucapkan do’a dan harapan semoga Damai Aceh abadi.
Kisah Kursi Perdamaian ternyata berseri, Irwandi menginginkan agar Malio juga membuat kursi dengan bahan Kayu Grupel untuk SBY. Kini sebuah kursi indah, megah dan berkesan berwibawa tersebut telah rampung dan sudah berada di Jakarta menunggu waktu yang tepat untuk diserahkan kepada SBY sebagai penghargaan dari masyarakat Aceh atas terciptanya kedamaian bagi masyarakat Aceh.
Tak tanggung-tanggung, penyair Aceh asal Gayo, LK Ara menyiapkan buku untuk pengantar kursi tersebut ke ruangan pribadi SBY. Ribuan eksemplar buku bertajuk “Kursi Perdamaian untuk SBY” diluncurkan dengan isi berupa tulisan-tulisan di media cetak dan online terkait perjalanan Malio sejak awal dari pedalaman Gayo hingga saat ini berada di serambi Istana Negara RI, menunggu waktu luang orang nomor satu tersebut terbuka untuk menerima hadiah rakyat Aceh tersebut.
Malio Adnan yang pernah menjadi kaki tangan kepercayaan orang Korea pada tahun 1990-1997 ini ternyata cukup pintar. Tak semua “Tomoh” kayu Grupel ditunjukkan pada majikannya yang haus uang tersebut. Buktinya, saat Irwandi Yusuf minta dibuatkan hadiah berupa Kursi Perdamaian untuk SBY, Malio tak terlalu sulit mencari kayu tersebut.
Seperti yang banyak diberitakan di media beberapa waktu lalu prosesi penyerahan kursi tersebut sudah dilakukan dan telah diboyong oleh presiden SBY ke Jakarta.
Sudah banyak pemerhati lingkungan meminta agar ada upaya-upaya untuk menyelamatkan keberadaan kayu Grupel walau harus menguras anggaran yang sedemikian besar. Bila tidak ada upaya sedikitpun, sudah pasti Grupel akan menjadi dongeng bagi penerus bangsa ini lebih awal dari semestinya.
*)Pemerhati Lingkungan tinggal di Pegasing
grupel kayu langkah yg hrs dilestarikan oleh masyarakat Indonesia ( khususnya orang Aceh ),
Harus ada upaya yang serius dalam melestarikan Grupel ini, salah satunya dg membudidayakannya. Mencari lembaga-lembaga donor untuk membiayainya…
kasian ya…. Kl grupel punah..