Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Mati adalah ungkapan yang berasal dari bahasa Arab, mereka yang sudah mati di sebut dengan mayit. Dalam budaya melayu tidak lazim kata mati ditujukan kepada manusia, tetapi lebih lazim kata ini digunakan untuk selain manusia. Sedangkan untuk manusia sering digunakan kata meninggal, wafat atau juga berpulang kerahmatullah (Gayo : benasa atau ulak ku Tuhen).
Kematian merupakan satu prosesi yang pasti dilalui manusia , menurut ilmuan bahwa permasalahan ini tidak selesai dengan menggunakan metode kajian ilmiah. Karena itu akhirnya para tokoh memberi kesimpulan bahwa kematian adalah akhir segalanya.
Perdebatan tentang kematian sebagai akhir dari segalanya menjadi bahan diskusi yang panjang dalam sejarah kehidupan manusia, pada masa turunnya wahyu orang-orang yang belum beriman selalu mengatakan bahwa kematian adalah berakhirnya kehidupan sehingga setelah kematian tidak ada lagi yang namanya hidup. Al-Qur’an merespon argument “mungkinkah tulang-belulang yang sudah hancur akan bisa dibangkitkan kembali ?”, mereka ini menganut doktrin nihilisme.
Ada tiga argument al-Qur’an menurut Fazlurrahman dalam merespon apa yang diajukan tersebut. Pertama, Allah menciptakan bumi dan segala bentuk kehidupan yang jumlahnya tidak terhitung, sehingga bila direnungkan, berarti Allah dapat pula menciptakan manusia yang baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak pula diketahui. Kedua, Sebagaimana Allah menciptakan percikan api dari kayu-kayu yang hijau, Allah juga mampu menciptakan hidup dan mati, gelap dan terang siang dan malam secara bergantian, yang sering juga dianggap sebagai berlawanan. Ketiga, Membangkitkan kembali sesuatu yang sudah mati, bumi menjadi subur di musim semi setelah ia mati di musim salju.
Kehidupan dan kematian yang merupakan proses kontinuitas saling terkait melalui runtutan, kematian pertama “diwujudkan” ketika roh belum dihembuskan kepada manusia dan kematian kedua terjadi ketika roh kehidupan yang telah dihembuskan tersebut dicabut kembali. Tentang kehidupan juga al-Qur’an menginformasikan dengan tiga masa kehidupan, pertama pada saat kesaksian roh akan ketuhanan Allah, yang disebut dengan ikrar primordial antara Tuhan dan manusia. Kedua adalah kehidupan manusia di dunia ini. Dan sesudah kehidupan di dunia ini masih ada kehidupan sekali lagi, yang merupakan kehidupan abadi yakni keidupan akhirat.
Analogi tidur dengan mati dalam ayat “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya;… 39:42) mempunyai kemiripan pada tercerabutnya kesadaran, dan merupakan masa transisi antara dua saat jaga dan saat kembalinya kesadaran. Dengan argument ini Fazlurrahman dan al-Ghazali menyebut tidur dengan “kematian kecil”. Al- Gazhali menganalogikannya juga dengan hadis, “manusia sebenarnya tidur, bila mereka mati, barulah mereka bangun”.
Beranjak dari analogi kedua ulama yang mewakili ulama klasik dengan kontemporer tersebut, sangat sulit kita memberi batasan antara tidur dan akan bangun dan mati yang akan dihidupkan kembali. Alasan ini jugalah nampaknya digunakan sebagai landasan membaca do’a tidur “dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu ya Allah aku mati”
Salah satu pandangan menyebutkan bahwa kematian sebagai suatu yang akan mengakhiri kehidupan jangka pendek (fana), sebagai pintu masih kepada kehidupan jangka panjang yang lebih mulia. Kendati demikian, bukan berarti kematian dapat ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti tindakan membunuh diri sebagai cara untuk mempercepat proses menuju kehidupan jangkan panjang. Semua agama dan etika universal tidak membenarkan bunuh diri, karena usaha tersebut dianggap sebagai usaha dengan sengaja menghabisi usia hidup secara biadab.
Allah melalui ayat al-Qur’an memberi otoritas kepada manusia untuk mematikan atau menghilangkan nyawa seseorang dan tidak memberi sedikitpun otoritas untuk menghidupkan, seperti dalam firman-Nya surat al – An’am ayat 95 : “Ina al-laha faliqu al- habbi wa an-nawa, yukhriju al-hayya min al-mayyiti wa mukhrij al-mayyiti min al-hayyi, zalikum al-lahu, fa inna tu’fakun”
Ayat ini menggunakan kata “yukhriju” untuk mengeluarkan hidup dari yang mati (menghidupkan) dan menggunakan kata “mukhriju” untuk mengeluarkan yang mati dari yang hidup (mematikan). Kata yukhriju menunjukkan bahwa hanya Allah secara muthlak yang mempunyai otoritas untuk menghidupkan segala sesuatu, sedangkan kata mukhriju menunjukkan isyarat bahwa di samping Allah, manusia juga punya andil dalam mematikan. Karena itulah Allah selalu meminta pertanggungjawaban apabila sesorang menghilangkan nyawa orang lain dan juga akan dimitai pertanggungjawaban bagaimana manusia berupaya untuk mempertahankan hidup dan mengakhiri hidupnya sendiri.
Karena adanya andil (otoritas) bagi manusia dalam mematikan atau menghilangkan nyawa seseorang (termasuk nyawa sendiri), maka kita bisa berkata kepada orang “saya sudah melarangnya pergi, tapi dia tidak dengar. Saya sudah melarangnya untuk tidak naik pohon itu, tapi dia malah naik terus. Aturan jumlah penumpang kapal itu telah ditentukan, tetapi mereka malah naik melebihi muatan. Seharusnya dia tidak makan buah-buahan itu tapi dia tidak mau mendengar. Seharusnya tidak terlalu banyak dan sering mengkonsumsi indomie, bakso, dan lain-lain. Akibatnya ia meninggal dunia.
Karena adanya andil seseorang untuk menghilangkan nyawa seseorang sehingga Allah menetapkan adanya hukum qishash dan diat bagi pembunuh.
Berdasarkan uraian tersebut sangat sulit kita menentukan, yang mana sebenarnya kematian dengan muthlak orotoritas Tuhan, dan yang mana juga yang merupakan otoritas Tuhan dan melibatkan andil (otoritas) manusia. Seseorang yang meninggal karena menaiki perahu dengan muatan yang melebihi kapasitas kemudian perahu yang dinaiki tersebut karam dan sebagian penumpangnya meninggal dan sebagian lagi selamat, bisakah kita katakan bahwa kematian sebagian mereka tersebut merupakan kehendak Allah secara muthlak dan menggolongkannya sebagai mati syahid, bila dikaitkan dengan ayat yang telah disebutkan di atas. Kami lebih condong mengatakan bahwa mereka tersebut bukanlah mati syahid, kendati meninggalnya di dalam air dan ketika menghembuskan nafas sangat sulit dengan penuh perjuangan.
Sebab ada pendapat yang mengatakan bahwa : dua tempat apabila ada orang meninggal bisa menjadi syahid, pertama dalam air dan yang kedua dalam api. Pendapat ini bisa kita pahami beradasarkan logika bahwa mereka yang mati pada kedua tempat ini sangat sulit perjuangannya untuk memprertahankan berpisahnya nyawa dengan badan mereka. Kondisi seperti ini bisa kita katakan dengan syahidnya kematian di dalam air. Ada juga orang yang terjebak dan terpanggang dalam dan api, mereka ini juga sangat sulit untuk mempertahankan diri untuk hidup dan berakhir dengan kematian. Tetapi seperti yang telah disebutkan, apabila ada upaya yang seharusnya tidak dilakukan tetapi dilanggar walaupun dengan kelalaian maka tidak bisa dikatakan dengan mati syahid.
Alasan ini yang digunakan bagi mereka yang menjadi korban tsunami, dimana pada saat itu tidak ada campur tangan (otoritas) manusia untuk mendatangkan tsunami, sehingga mereka yang menjadi korban di golongkan kepada mati syahid. Dan tata cara pelaksanaan janazah orang syahid ditetapkan kepada mereka.