Replika Radikalisme Tanah Rencong

Oleh Khairul Rijal*

KESEDIHAN anak bangsa nampaknya masih berkelanjutan setelah petaka kekerasan dipenghujung tahun 2011 ini masih  menjadi perbincangan yang tak kunjung usai. Alih-alih pemerintah dan penegak hukum menjadikan  lingkaran kekerasan yang seharusnya menjadi pembelajaran tampaknya pupus setelah badai penembakan menghantam bumi Aceh Darussalam pada malam pergantian 2011 ke 2012.

Sejumlah aksi kekerasan yang terus terjadi menjadi fakta bahwa kasih sayang dan keamanan masih menjadi barang langka, hal ini disebabkan negara melakukan pendekatan dan kebijakan yang kurang tepat, implikasinya negara tak mampu melindungi warganya, maka dari itu Presiden Bambang Yudoyono diharapkan tidak hanya beretorika dengan pidatonya akan tetapi mengimplementasikannya secara konkret agar setiap gagasan yang diuraikan tidak menjadi pencitraan semata.

Kejadian penembakan di Aceh terjadi secara tiba-tiba dengan tujuan yang misterius, pada malam pergantian tahun baru tersebut menewaskan satu warga dan mencederai satu warga setelah sejumlah orang tak dikenal membrondong tembakan kesebuah kedai kopi di Dusun Blok B, Desa Seureuke kecatamatan Langkahan, Aceh Utara (Kompas 3/1/12). Tidak berhenti disini penembakan di Aceh berkelanjutan sehingga dalam tiga hari terakhir menewaskan lima orang dan mencederai delapan orang di tiga tempat yang berbeda di aceh. Berdasarkan data kepolisian di daerah Aceh. Sepanjang 2011, terjadi 46 kasus kekerasan bersenjata api. Dari sejumlah itu tercatat 16 orang tewas. Namun dari 46 kasus baru 24 kasus yang terungkap. Sebanyak 37 orang tertangkap, (kompas (3/1/12).

Penembakan misterius yang terjadi di tahan recong berbeda dengan penembakan yang terjadi sebelumnya, dengan pola yang sama, akan tetapi bentuk penembakan ini dilakukan terhadap pendatang baru dan etnis tertentu. Dapat disimpulakan modus penembakan ini diduga menimbulkan kebencian antar etnis dan menghancurkan inter koneksi antar suku yang ada. Menurut penulis dampak dari penembakan ini bisa menimbulka kekerasan antar etnis, menggangu keamanan Pilkada dan bisa menggoyahkan perdamaian Aceh yang sudah kokoh.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Nasir Djamil meminta polisi tidak menganggap remeh kasus penembakan yang terjadi di Aceh. Jika kasus kekerasan ini merupakan tindak kriminal biasa. seharusnya kepolisian sudah menuntaskan kasus ini, akan tetapi pihak kepolisian belum menemukan titik terang dari kerancuan kasus ini.

Acuh Tak Acuh

Maraknya aksi kekerasan yang timbul di berbagai daerah di Indonesia terjadi akibat kebijakan negara yang kurang tepat dalam memahami kondisi rakyat, dampaknya miskin keadilan dan kesejahteraan menjadi sumber petaka kekerasan yang ada di tubuh bangsa. Interprestasi Langkah Presiden Susilo Bambang Yodoyuno yang di anggap kurang konkret terjadi akibat tarik ulur wacana yang tidak ditindak lanjuti, pada akhirnya pidato presiden dianggap menjadi politik kata-kata dan kurang dipercayai publik.

Timbulnya wacana bahwa rakyat mencari keadilan dengan jalannya sendiri disebabkan kebingungan rakyat harus kemana problematika dan keluhan itu di sampaikan. Rantai kekerasan yang semakin memanjang, pertumpahan darah semakin tak terbendung,  konflik agrasis, dilema tambang dan betrok antar etnis suku yang berbeda akan mewarnai wajah bangsa jika semakin lama semakin tidak di tindak lanjuti secara sungguh-sungguh.

Menurut penulis kekerasan yang terjadi di Tanah Rencong saat ini merupakan lingkaran duplikasi dari berbagai kekerasan yang terjadi, hanya saja format kejadian di Aceh berbeda, akan tetapi dampaknya berujung sama hilangnya nyawa anak bangsa, inilah keadilan yang dicari rakyat secara indivu, ironis ditengah era reformasi dan demokrasi penembakan menjadi penutup masalah yang berkelanjutan. Acuh tak acuh pemerintah terhadap rakyat menjadi sumber petaka dibalik bayang-bayang radikalisme yang semakin menggurita.

Hukum, Moral dan Keadilan

Menanamkan nilai moral yang semakin retak perlu di kembalikan agar budaya kasih sayang menjadi pondasi yang kokoh, mungkin ungkapan ini cukup sederhan dimata kita, akan tetapi mencapaian dan implementasinya selalu terbentur oleh berbagai macam kebijakan yang salah terhadap rakya. Penanaman moral bukan saja kepada rakyat, akan tetapi pemerintah yang khususnya perlu bernapaskan moral agar bentuk keadilan secara utuh dapat diterima oleh rakyat. Kedamaian akan terbentuk secara alami jika pemerintah menjalankan roda kepemerintahannya dengan integritas moral yang tinggi, maka keadilan dengan sendirinya akan berdiri ditengah-tengah rakyat.

Segala bentuk masalah seharusnya tidak berujung kepada tikai, hal ini terjadi akibat budaya kekerasan telah ada sejak bangku sekolah hingga akhir hayat (hidup), maka dari itu penegakan hukum secara tegas kepada penindak kekerasan perlu di apresiasikan agar wajah bangsa tidak dipenuhi oleh carut-marut kekerasan. Radikalisme ditubuh bangsa dapat di hilangakan dengan tiga formula dasar yaitu, pondasi moral yang kuat, penegakan hukum yang tepat dan keadilan yang harus diterima rakyat secara utuh. Jika tiga pilar ini di abaikan maka bukan Aceh yang menjadi penghujung kekerasan, akan tetapi kekerasan selanjutnya akan menanti bangsa.

*Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiah Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.