Takengon | Lintas Gayo – Arisan keluarga merupakan sebuah acara rutin dalam komunitas sosial di tanah air. Esensi dari acara arisan ini lebih kepada upaya mempererat tali silaturrahmi daripada sistem tabungan bergulir (arisan). Untuk mendorong seluruh keluarga arisan hadir, biasanya diadakan undian untuk menentukan pemenang tabungan bergulir untuk bulan tertentu.
Demikian pula halnya dengan komunitas Minang yang merantau ke Aceh Tengah, masing-masing keluarga yang berasal dari tepi Danau Maninjau itu membentuk organisasi ikatan keluarga berdasarkan nama kampungnya. Salah satunya adalah Ikatan Keluarga Sigiran (IKS) yang anggotanya adalah masyarakat asal Sigiran Maninjau Sumbar yang telah lama bermukim di Aceh Tengah.
Keberadaan IKS sebagai wahana untuk menjalin silaturrahmi antar saudara sekampung, sekaligus sebagai organisasi sosial yang tujuannya membantu anggota di perantauan. Awalnya, kegiatan IKS terfokus kepada acara arisan keluarga dan pengajian. Kemudian, sejak 1 Agustus 1997 dari sebuah acara arisan keluarga bermetamorfosis menjadi sebuah koperasi yang bernama Telaga Biru.
Pada hari ini, Minggu (15/1), mereka baru saja menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) yang dihadiri oleh 81 anggota koperasi berasal dari keluarga masyarakat Sigiran. Suasana acara ini cukup meriah, ada Minang percussion (tambur), ada tarian anak-anak yang lucu-lucu, ada juga tarian selamat datang yang cukup menawan. Sangat kental sebagai sebuah acara keluarga, tetapi mereka berbicara tentang koperasi dan sisa hasil usaha.
Acara RAT itu berlangsung di sebuah gedung yang bernama kantor Koperasi Telaga Biru, Jalan Malim Mudo Tetunyung Takengon Aceh Tengah. Hebatnya, walaupun usia koperasi ini baru 14 tahun, ternyata mereka sudah memiliki gedung sendiri yang berfungsi sebagai kantor koperasi sekaligus sebagai balai pertemuan keluarga sekampung.
Dari laporan yang disampaikan Joni Fitra, ketua Koperasi Telaga Biru, pinjaman yang beredar di seluruh anggota koperasi ini mencapai Rp.500 juta lebih. Dari uang beredar sebesar itu, koperasi ini berhasil meraih sisa hasil usaha (SHU) sebesar Rp. 82,3 juta. Hal yang paling membanggakan, pada tahun 2010 koperasi ini memperoleh peringkat II tingkat kabupaten, dan peringkat III tingkat Provinsi Aceh.
Hasil bincang-bincang dengan Joni Fitra, dia mengungkapkan bahwa anggota yang meminjam uang dari koperasi itu umumnya digunakan untuk usaha jualan cendol dengan gerobak dorong, jual kasur dengan sepeda, termasuk beberapa pedagang kelontong yang berjualan ke desa-desa pada hari pekan. Dengan pinjaman dari koperasi ini, mereka bisa berusaha untuk menghidupi keluarganya, bahkan ada yang bisa membuka lapangan kerja untuk yang lain.
Bagaimana kiatnya menjalankan koperasi simpan pinjam itu sampai memperoleh peringkat terbaik III se Aceh, serta SHU sebesar itu? Berikut penuturan Joni Fitra: Setiap awal bulan (bakda magrib) anggota koperasi tersebut mengadakan pertemuan sekaligus pengajian. Setelah acara pengajian, dilanjutkan dengan laporan pengurus koperasi kepada semua anggota, baik laporan nama-nama peminjam, termasuk nama-nama yang belum melunasi pinjaman. “Di pertemuan ini semua akad kredit ditanda tangani,” jelas Joni Fitra.
Besoknya, hasil pertemuan malam itu ditempelkan di papan pengumuman koperasi, sehingga semua anggota dapat membaca, siapa yang meminjam uang yang Rp.500 juta lebih itu, termasuk siapa yang belum mengembalikan pinjamannya. Dengan keterbukaan seperti itu, mereka yang terlambat mengembalikan pinjaman akan bekerja keras dalam berusaha, sehingga pinjaman itu dapat dikembalikan tepat waktu. “Saya selalu mengingatkan anggota koperasi bahwa uang yang dipinjam itu milik anggota yang lain yang notabene adalah sanak famili sendiri, bukan milik pengurus,” ungkap mantan karyawan Bank Danamon itu.
(CiJur/03)
.