Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
Ketika sedang duduk dengan beberapa orang mahasiswi seusai mengadakan evaluasi persiapan sosialisasi Perguruan Tinggi ke Sekolah Madrasah Aliyah untuk Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, saya mencoba melontarkan sebuah pertanyaan kepada mereka. Pertanyaan yang dilontarkan adalah :
Siapkah kalian semua nanti ketika selesai kuliah, mendapatkan pekerjaan dan mempunyai penghasilan, sedangkan pada saat itu kalian mempunyai suami yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak juga punya penghasilan?
Secara berbisik dan penuh keraguan mereka menjawab siap, karena mungkin suami mereka sudah berusaha mencari pekerjaan tetapi tidak mendapatkan. Melihat keraguan dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya menambahkan keraguan mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya laki-laki harus dilayani, makannya harus disiapkan (dimasak dan dihidangkan), pakaiannya harus dicuci dan digosok dan sebelum kalian berangkat ke tempat kerja anak-anak sudah harus selesai dimandikan dan disuapi makannya. Pertanyaan saya ulang kembali, apakah kalian siap ?
Mereka terdiam dengan raut wajah penuh beban, dan akhirnya setelah terdiam sejenak mereka menjawab siap kendati masih dengan penuh keraguan.
Saya katakan, inilah realita pada sebagian masyarakat kita. Masih ada sebuah pemahaman bahwa yang berkewajiban mencari rizki dan memberi nafkah hanya suami atau ayah dari anak-anak semata, sedangkan dengan kemajuan zaman dan perkembangan peradaban manusia sekarang lapangan pekerjaan tidak hanya tersedia bagi kaum laki-laki, tetapi juga bagi kaum perempuan. Buktinya anda sekarang kuliah, mencari ilmu dengan harapan setelah selesai kuliah mendapat pekerjaan dan mempunyai penghasilan. Disisi lain juga kaum laki-laki kuliah mencari ilmu dengan harapan yang sama akan mendapatkan pekerjaan dan mempunyai penghasilan. Tapi banyak diantara kita yang sudah selesai kuliah tidak mendapat pekerjaan, apalagi masyarakat kita masih menganut ideology bahwa kuliah adalah untuk pegawai Negeri. Juga kita tidak bisa menapikan bahwa banyak orang-orang yang tidak sekolah atau tidak kuliah yang kemungkinan menjadi pasangan hidup kita.
Ketika dahulu dan sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian masyarakat kita, bahwa isteri yang bertugas mengurusi rumah tangga : Memasak nasi, menyajikan makanan untuk suami dan anak, membersihkan rumah dan halaman, mencuci dan menyiapkan pakaian untuk suami dan anak-anak. Karena memang pada saat itu isteri belum mempunyai lapangan pekerjaan di luar rumah, maka tugas tersebut masih merupakan tugas yang harus dilakukan. Namun ketika isteri telah mempunyai pekerjaan di ranah public dan suami tidak mempunyai kesempatan untuk bekerja dan tidak berpenghasilan maka sudah siapkah para suami yang menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan kerumah tanggaan isteri dan anak-anak ?
Permasalahan siapa yang mempunyai kewajiban terhadap nafkah dan siapa yang dinafkahi dalam rumah tangga, sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan budaya, dalamĀ masyarakat kita belum diajarkan dan juga sampai saat ini belum dipahami secara benar. Sehingga menjadi permasalahan besar yang harus kita hadapi sekarang.
Ada beberpa kasus yang saya ketahui bahwa akibat dari ketidak siapan masyarakat tentang perubahan dan pergantian kewajiban atau tanggung jawab, harus berakhir dengan perceraian. Si isteri menganggap dirinya tidak berkewajiban memberi nafkah untuk keluarganya dan selalu berharap dan mendesak suami untuk mendapatkan pekerjaan dan mempunyai penghasilan sedangkan ia mengetahui bahwa hal itu telah dilakukan, namun tidak mendapatkan hasil. Demikian juga dengan suami yang selalu berharap pada pelayanan dari isteri, sedangkan isterinya sudah membawa nafkah untukĀ kehidupan rumah tangganya dan ia masih mempunyai ideology bahwa dia adalah kepala rumah tangga yang tidak mempunyai wakil. Sedangkan apabila kita menganut ideology bila kepala keluarga tidak sanggup melaksanakan tugas maka wakillah yang bertanggung untuk memenuhinya, dan sudah menjadi keharusanlah Sang kepala yang melakukan tugas Sang wakil.
Akibat dari ketidak siapan kita dengan perubahan dan pergantian seperti telah disebutkan di atas, maka berakhir dengan perceraian. Untuk itu perlu kami sebutkan bahwa tentang harta yang di dapat selama dalam perkawinan menjadi hak bersama, dan pembagian harta itu tetap di bagi dua. Apakah harta selama dalam perkawinan itu lebih banyak didapat oleh suami atau juga sebaliknya, maka pembagiannya tetap dengan cara bagi dua, kecuali ada kerelaan bersama para pihak.
Sedangkan pembagian harta dalam posisi harta bersama tidak melibatkan anak, artinya anak tetap menjadi kewajiban bersama dan tidak boleh menjadi kewajiban sepihak sampai anak itu dewasa. Masalah anak memerlukan penekanan, karena biasa akibat dari perceraian orang tua menimbulkan penderitaan kepada anak : kasih sayang yang tidak sempurna, mental yang tidak stabil, memunculkan dendam yang berkepanjangan, ketidak percayaan kepada semua orang dan juga bisa mencari perlindungan dengan dengan cara yang tidak baik.
Akhir dari tulisan ini kami sebutkan bahwa kemajuan zaman dan perubahan peradaban manusia menuntut kesiapan semua orang untuk menyikapinya, karena akibat dari ketidak siapan tersebut dapat merusak cita-cita dari kehidupan itu sendiri. Bukankah nabi sudah katakan dengan maksud āanda lebih mengetahui bagaimana menyikapi urusan kehidupan di duniaā dan Tuhan juga telah mengatakan yang maksudnya adalah ā anda dapat menentukan menjadi baik atau menjadi burukkah pada masa mendatangā
—-
*Mahasiswa Fiqh Modern pada PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh