Sistem Kapitalisme Baik Hati, Sebuah Wacana

Catatan: Indra Setia Bakti*

SALAH satu cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD  1945, yakni “…Negara Republik Indonesia bertujuan memajukan kesejahteraan umum,….”. Pertanyaan yang kemudian perlu dijawab yaitu bagaimana strategi untuk mencapai kesejahteraan umum itu?

Dalam konteks sejarah, variasi ideologi telah menciptakan perbedaan dalam langkah strategi pembangunan suatu bangsa. Secara umum, dua ideologi utama yang kerap dipertentangkan adalah kapitalisme dan sosialisme. Bila dalam sistem kapitalisme negara dianjurkan angkat kaki dari segala upaya penciptaan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (lebih sering dikenal sebagai konsep fundamentalisme pasar), dalam sistem sosialisme peran negara justru menjadi amat dominan (lebih sering dikenal sebagai sistem ekonomi terpimpin). Sampai di mana posisi Indonesia diantara dikotomi kapitalis-sosialis di atas? Apakah benar kita menganut Sistem Ekonomi Pancasila?

Bung Hatta, salah seorang founding father negeri ini pernah menyatakan bahwa demokrasi barat yang dilahirkan oleh revolusi Perancis, tidak membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Oleh sebab itu, demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu Kedaulatan Rakyat. Haruslah ada pula demokrasi ekonomi, yang memakai dasar, bahwa segala penghasilan yang mengenai penghidupan orang banyak berlaku di bawah tanggungan orang banyak juga.

Pandangan ini kemudian ditegaskan kembali oleh Professor Sri Edi Swasono, guru besar Universitas Indonesia. Menurut beliau, pemberian kepercayaan lebih dan penyerahan diri kepada mekanisme pasar akan bertentangan dengan hak rakyat untuk memperoleh keadilan ekonomi. Oleh sebab itu, kedaulatan rakyatlah yang harus tetap berlaku, bukan kedaulatan pasar. Akan tetapi, dalam kenyataannya di Indonesia sejak masa Orde Baru bahkan hingga saat ini sepertinya ada kecenderungan batas-batas ini telah dilanggar.

Sejak tahun 1967, pemerintah militer di bawah Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow dan menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Dengan demikian, menurut sosiolog Mansour Fakih, selama pemerintahan Orde Baru, Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan teori pembangunan kapitalistik yang bertumpu pada ideologi dan teori modernisasi dan adaptasi serta implementasi teori pertumbuhan tersebut. Sekitar tahun 1970-an, pengaruh pendekatan basic need sebenarnya mulai mewarnai kebijakan pemerintah. Namun sejak 1980-an, dimotori oleh para pemikir ekonomi dari Universitas Chicago (Mafia Berkeley), kebijakan pro pasar kembali mencuat sebagai paradigma utama pembangunan.

Menurut Muhammad Yunus, salah seorang pemenang nobel ekonomi, aliran neoliberal di atas sangat besar pengaruhnya pada lembaga multilateral seperti Bank Dunia dengan fokus pembangunan pada peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB) dan pencapaian pertumbuhan ekonomi skala besar. Sejak itu kebijakan pemerintah kembali beralih ke pendekatan pertumbuhan kapitalistik yang sangat menekankan pertumbuhan ekonomi dan investasi asing. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah pertumbuhan yang dilandasi oleh hutang, bukan didorong oleh kekuatan dari dalam, terutama kualitas sumberdaya manusianya.

Di Indonesia, kebijakan-kebijakan pembangunan Orde Baru yang pada awalnya berbasis pertanian, karena pengaruh teori pertumbuhan neoliberal ini mulai mengarah ke sektor-sektor industri. Sektor pertanian akhirnya menjadi anak tiri. Dengan runtuhnya Uni Soviet akibat pembusukan sistem dari dalam, kemenangan kapitalisme atas sosialisme semakin nyata. Kepercayaan diri pemerintah Orde Baru pun semakin tinggi pada dekade 1990-an untuk meneruskan paradigma pertumbuhan ekonomi sebagai panglima pembangunan.

Namun demikian, ada sebuah berita baik di mana pemerintah Orde Baru ternyata menyadari pula bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan residu pembangunan kapitalistik yang mereka terapkan, dan telah berdampak luas terutama di daerah pedesaan. Oleh sebab itu, melalui Inpres nomor 5 tahun 1993, dilaksanakan Program Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan (PPK) atau yang lebih akrab dikenal sebagai Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selain itu, dikembangkan pula Program Keluarga Sejahtera dan Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos). Program-program ini selanjutnya dijabarkan ke dalam proyek masing-masing departemen pemerintah, sebagai contoh Departemen Pertanian mengembangkan proyek P4K (Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), Departemen Transmigrasi mengembangkan TSM (Transmigrasi Swakarsa Mandiri), Departemen Sosial mengembangkan KUBE (Kelompok Usaha Bersama), dan sebagainya. Di samping itu, pemerintah juga memberikan sejumlah paket bantuan kepada rakyat miskin melalui Askeskin (Asuransi Kesehatan Rakyat Miskin), Raskin (Beras Rakyat Miskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), BLT (Bantuan Langsung Tunai), dan sebagainya.

Berbagai strategi pembangunan pemerintahan Orde Baru pada kenyataannya memang memberi hasil yang cukup mengesankan, dengan menurunnya proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolut dari 54,2 juta jiwa pada tahun 1970, menjadi 22,6 juta jiwa pada tahun 1996. Walaupun demikian, upaya pembangunan yang dilakukan masih memunculkan tumbal-tumbal pembangunan karena pada dekade 1990-an hiper-pragmatisme pemerintahan Orde Baru seolah-olah mencapai puncaknya.

Dalam tataran pemikiran yang paling murni, pembangunan berkaitan dengan hakikat keadilan. Mengacu pada proposisi John Rawls, dalam bukunya yang berjudul Teori Keadilan, bahwa hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Artinya keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang (sebagaimana pandangan kelompok utilitarianisme). Selanjutnya John Rawls juga menekankan bahwa hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau pada kalkulasi kepentingan sosial.

Hal ini banyak bertentangan dengan kebijakan pemerintahan Orde Baru. Meminjam sindiran seorang ekonom pemenang nobel ekonomi, Mahbub ul-Haq, kebijakan Orde Baru merupakan kebijakan yang menciptakan berbagai ketimpangan terlebih dahulu sebelum mencapai kemakmuran yang dicita-citakan dengan memberikan dorongan finansial yang besar pada borjuis lokal guna mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akibatnya, ada banyak biaya sosial yang harus ditanggung.

Sesungguhnya, depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1930 akibat market failure mulai menandai keraguan akan kemampuan pasar dalam menjalankan sistem perekonomian dan kesejahteraan tanpa intervensi negara. Dalam kenyataannya fundamentalisme pasar yang amat menekankan mekanisme trickle down effect (dampak menetes ke bawah), ternyata tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan, malahan digunakannya model ini sebagai arus utama pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga telah menghasilkan beberapa residu, diantaranya adalah masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Sebab, mengacu pada pandangan George Soros, bahwa bisnis (pasar) digerakkan oleh keuntungan, bukan didesain untuk menjaga prinsip-prinsip universal.

Robert Strahm menyatakan bahwa pembangunan terdiri atas pertumbuhan (indikator ekonomi) dan perkembangan (indikator sosial). Biasanya masalah yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga adalah di satu sisi pencapaian pertumbuhan ekonomi sangat tinggi sementara di sisi lain perkembangan kehidupan sosialnya terus menerus mengalami kemunduran. Keadaan pembangunan semacam ini oleh James Midgley diistilahkan sebagai pembangunan yang terdistorsi (distorted development), di mana perkembangan perekonomian tidak dibarengi oleh peningkatan derajat sosial masyarakat.

Menurut Muhammad Yunus, masalah kemiskinan muncul bukan karena kegagalan pasar, namun lebih jauh dari itu, karena arus utama teori pasar bebas mengidap kegagalan konseptualisasi dalam menangkap esensi manusia. Para ekonom cenderung memandang manusia satu dimensi yang hanya melayani tujuan tunggal memaksimalkan keuntungan, padahal motivasi manusia dalam bekerja maupun berusaha bisa amat beragam. Oleh sebab itu, cukup beralasan jika pemerintah mempertimbangkan rekomendasi James Midgley mengenai paradigma pembangunan sosial, di mana dilakukan proses perencanaan perubahan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan sebagai paduan yang saling melengkapi dengan proses pembangunan ekonomi. Hal ini dilakukan demi tercapainya kondisi kesejahteraan yang menurut Midgley terdiri atas tiga elemen, yaitu sejauh apa masalah sosial dapat dikelola, sejauh apa kebutuhan hidup dapat terpenuhi, dan sejauh apa tingkat kesempatan untuk berkembang tersedia bagi masyarakat.

Paska lengsernya Presiden Soeharto, sudah ada empat kepala negara yang memimpin negeri ini. Sudah saatnya pemerintah berhenti sejenak untuk berpikir apakah strategi pembangunan kita tidak terjebak terlalu jauh lagi pada fundamentalisme pasar yang belum tentu sejalan dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Atau paling tidak melalui paradigma pembangunan sosial, sistem kapitalisme yang sepertinya sudah mendarah daging pada para perumus kebijakan di negeri ini dapat lebih dikendalikan agar tidak berubah menjadi monster yang mengerikan yang sewaktu-waktu dapat memangsa rakyat kecil. Dengan berbagai penyesuaian yang dilakukannya, paradigma pembangunan sosial memiliki misi menciptakan sistem kapitalisme ‘baik hati’.

*Penulis adalah alumni jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia, Asisten dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Takengon

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.