Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
HUKUM Islam yang terdapat dalam al-kitab tanzil (al-Qur’an) merupakan aturan yang diturunkan Tuhan kepada Manusia, aturan ini ditafsir oleh Nabi Muhammad dengan cara menjelaskan makna yang tidak jelas, menyempitkan maknanya yang luas, serta memberikan tambahan hukum yang tidak ditemukan di dalam tanzil tersebut.
Dalam posisi Nabi sebagai penafsir pertama terhadap tanzil, perlu dipahami bahwa penjelasan, penyempitan (pembatasan) serta penambahan dilakukan setelah tanzil itu diturunkan, di sini berarti fungsi Nabi tetap sebagai penafsir, karena tidak ada otoritas bagi hamba-Nya untuk menambah dan mengurangi tanzil secara teks. Upaya yang dilakukan hanyalah terhadap makna dari tanzil tersebut.
Cara untuk memahami tanzil hanyalah dengan tafsir, sehingga pada gilirannya tafsir tiada lain adalah logika dan ilmu pertama untuk memahami al-Qur’an (logika wahyu). Karenanya untuk mendiduksikan hukum Islam maka perlu menempatkan kembali tanzil sebagai sumber sekaligus objek ilmu pengetahuan. (Hasan Hanafi, Hermeneutika al-Qur’an, (terj. Yudian Wahyudi dan Hamdiah Latif) Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2009. Hlm. 4).
Teori tafsir juga berfungsi untuk menghubungkan antara wahyu (tanzil) dengan realita, antara agama dan alam, namun dalam prakteknya terdapat adanya dualisme anggapan. Pertama adanya penafsiran tradisional dengan bertumpu pada al-Qur’an dan hadis, kemudian yang kedua adanya penafsiran yang bertumpu pada pemikiran insan sendiri yang tidak dilahirkan dari teks secara langsung, tetapi dari realita dan situasi. Bentuk pemahaman pertama diumpamakan dengan hasil pemahaman secara langsung dari ayat tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba, keharaman khamar, zina dan khalwat. Disamping juga kewajiban ibadah shalat, zakat, puasa dan haji serta kewajiban lain yang dapat dipahami dan diamalkan langsung. Bentuk pemahaman kedua dicontohkan dengan transaksi mondren yang terjadi saat ini, seperti transaksi perbankan, valuta asing, pasar modal dan lain-lainnya.
Pembagian pemahaman kepada yang berlandaskan teks secara langsung dengan pemahaman yang didasarkan kepada otoritas insan semata tidaklah dapat dikatakan sebagai kebenaran, karena sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa panafsiran yang dilakukan sejak penafsir pertama (Nabi) adalah penafsiran, pembatasan dan penambahan terhadap makna wahyu.
Legalisasi dualisme penafsiran sebagaimana disebutkan menurut Hasan Hanafi mempunyai kelemahan, dimana teori penafsiran ini merupakan terori tentang eksistensi Tuhan dan bukan merupakan teori penafsiran eksistensi manusia. Biasanya penafsiran siperti ini selalu membahas tentang wujud Tuhan dengan membahas esensi, sifat dan perbuatan-Nya, sekaligus memperkuat bukti bahwa alam dan manusia adalah ciptaan-Nya dan manusia akan bertanggung jawab terhadap amal perbuatan yang dilakukan.
Dengan perubahan paradigma penafsiran tanzil dan menghilangkan dualisme teori tafsir tersebut, maka para penafsir tidak lagi ada anggapan bahwa pemahaman yang bersumber dari realita dan insan sendiri tidak berhubung kait dengan teks nash, tetapi kesemuanya yang tidak bersalahan atau bertentangan dengan teks nash adalah berasal dari tanzil yang disebut dengan fiqh. Hal ini diperlukan dalam rangka menegakkan teori tafsir dengan menegakkan wujud manusia, dan yang dibicarakan adalah esensi manusia secara individual, hubungan sosial yang berusaha menjelaskan siatuasi dalam kaitannya dengan orang lain dan alam sekitarnya.
Dalam pemahaman seperti ini orang tidak lagi berpengetahuan bahwa seorang laki-laki atau suami yang berkewajiban memberi nafkan kepada isteri dan anak-anaknya, kendati kondisinya tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Ditambah lagi dengan pemahaman bahwa kewajiban memberi nafkah akan dipertanggungjawabkan di sisi Tuhan, akibat dari ketidak mampuannya memenuhi kewajibannya itu ia mempunyai dua akibat, yaitu : kesalahan tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan yang kedua tidak mampu melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan oleh Tuhan.
Pemahaman tafsir untuk menegakkan esensi manusia secara individu dan kaitannya dengan siatuasi hubungannya dengan manusia lain dan alam sekitar, akan berusaha menjadikan kewajiban tidak hanya terbeban kepada individu semata. Suami yang tidak mempunyai kemampuan memberi nafkan kepada isteri dan anak-anaknya, beralih menjadi kewajiban isteri bila ia memiliki kepampuan untuk itu. Dan kalau keduanya (suami isteri) mempunyai kemampuan, maka keduanya mempunyai kewajiban untuk saling mengisi dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk hal ini memerlukan penekanan bahwa hubungan antara suami isteri yang di ikat dengan aqad perkawinan berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan dengan situasi dan kondisi yang mengitari mereka.
Bentuk pemahaman yang menjadikan hal-hal yang tidak bertentangan dengan tanzil sebagai hasil pemahaman dari tanzil, salah satu ayat dalam al-tanzil tersebut yang berhubungan dengan “kesempurnaan dari tanzil itu sendiri”. Bentuk pemahaman seperti ini agaknya berkaitan dengan teori penjenjangan (istilah:Prof. Dr. Samsul Anwar,MA) dan teori penemuan prinsip atau illat (istilah Prof. Dr. Al-Yasa Abubakar, MA).
Hasan Hanafi melihat teori tafsir masih merupakan bagian dari ilmu-ilmu tradisional tanpa memilki prioritas sebagai teori epistimologi yang berlandaskan pada wahyu, karena tafsir merupakan lodika wahyu. Tafsir tradisional berkutat disekitar komentar, tafsil dan bagian yang tidak ada urgensinya, yang tudak memperhatikan makna teks independen maupun kondisi kontemporer umat. Tafsir didominasi oleh logikan bahasa untuk mendeduksi makna dari teks dengan bantuan asbabun nuzul, tanpa mempergunakan intuisi langsung teks untuk memahami makna yang jelas secara langsung dengan menunjuk kepada pemahaman hidup kontemporer, yang didasari oleh mufasir dalam kehidupan pribadi dan soaialnya, yang sebenarnya sisi lain dari teks agama. Selanjutnyaupaya tafsir lebih diarahkan pada demensi dogmatis teologis disbanding demensi manusia dalam hubungan dengan orang lain dan alam. (Hasan Hanafi, Hermeneutik…hlm. 11)
* Dosen Fak. Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
.