Oleh: Drs. Isma Tantawi, M.A
I. Pendahuluan
Suku Gayo hanya satu di permukaan bumi ini. Gayo Lues, Gayo Alas, Gayo Laut, dan Gayo Serbejadi terjadi karena perbedaan tempat tinggal saja. Kalau ada terdapat perbedaan di antara Gayo di atas, hal itu akibat pengaruh lingkungan dan geografis. Bagi saya, perbedaan itu adalah asset budaya Gayo.
Jika suku Gayo bercita-cita untuk menjadi suku yang maju dan dapat menjawab tantangan zaman adalah harus bersatu. Tidak melihat perbedaan, tetapi lebih melihat persamaan, sehingga dapat membangun masa depan yang gemilang. Suku Gayo menjadi suku yang harus diperhitungkan untuk membangun bangsa dan negara Republik Indonesia yang sedang menangis ini.
Salah satu upaya adalah menggali potensi budaya, sehingga dapat menumbuhkan kepribadian yang utuh dan mapan. Dapat menjadi acuan atau pedoman dalam usaha menyusun langkah dan strategi untuk menghadapi masa depan yang cerah. Sangat sesuai dengan semangat otonomi daerah (suatu perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi).
Untuk memenuhi harapan di atas, di samping harapan panitia kongres ini, saya mencoba untuk menyusun sebuah makalah yang sangat sederhana tentang Orientasi dan sejarah Gayo secara ringkas. Hal ini sangat menarik karena kita selalu menghadapi persoalan dan tantangan tentang eksistenssi kepribadian dan martabat suku Gayo di tanah tumpah darah sendiri. Makalah yang sangat sederhana ini, dapat kiranya menjadi bahan diskusi di dalam kongres ini. Semoga keberadaan suku Gayo dapat kita pahami secara global maupun secara substansi, terutama oleh generasi Gayo masa kini dan mendatang.
II. Asal Nama Suku Gayo
Setiap pemberian identitas, pengenal atau nama dari sesuatu selalu dihubungkan dengan kronologi peristiwa yang berlatar belakang sejarah. Demikian pula halnya dengan nama yang disandang suku Gayo. Rentang sejarah yang amat panjang jika dikaji dengan seksama dan mendasar, terkadang dijumpai silang atau perbedaan pendapat dalam menemukan sisi kebenarannya. Hal ini disadari karena rentang waktu sejarah yang amat panjang, refrensi yang terbatas ditambah keragaman keterangan oleh para nara sumber yang sifatnya turun-temurun.
Mengenai pendapat tentang asal nama Gayo terdapat keragaman, dengan demikian belum ada data pasti dan penelitian khusus untuk mendapatkan keterangannya, ada beberapa pendapat (M.Z. Abidin : 1) sebagai berikut:
Pertama, kata Gayo, berarti kepiting dalam bahasa Batak Karo. Pada zaman dahulu terdapat serombongan pendatang suku Batak Karo ke Blangkejeren, mereka melintasi sebuah desa bernama Porang. Tidak jauh dari perkampungan tersebut dijumpai telaga yang dihuni seekor kepiting besar, lantas para pendatang ini melihat binatang tersebut dan berteriak Gayo…Gayo… Konon dari sinilah kemudian daerah tersebut dinamai dengan Gayo.
Kedua, dalam buku The Travel of Marcopolo karya Marcopolo seorang pengembara bangsa Italia. Dalam buku ini dijumpai kata drang-gayu yang artinya orang Gayu/Gayo.
Ketiga, kata Kayo dalam bahasa Aceh, Ka berarti sudah dan Yo berarti lari/takut. Kayo berarti sudah takut/lari.
Keempat, kata Gayo berasal dari bahasa Sangsekerta, yaitu: Gayo berarti gunung. Maksudnya orang yang tinggal di daerah pegunungan.
Kelima, dalam buku Bustanussalatin yang dikarang oleh Nuruddin Ar-raniry, pada tahun 1637 masehi yang tertulis dengan huruf Arab. Di samping nama Gayo di atas ada juga disebutkan kata Gayor. Hal ini terjadi karena orang-orang tertentu tidak mengerti, bahwa yang sebenarnya dalah kata Gayo.
III. Asal Usul Orang Gayo
Untuk mengetahui asal usul penduduk Gayo Lues, tidak terlepas kaitannya dengan kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia ke kepulauan Indonesia, yang dimulai lebih kurang 2000 tahun sebelum masehi. Sisa-sisa penduduk kepulauan Indonesia yang mula-mula sekali ialah orang Kubu di Sumatera yang serupa dengan orang Semang di semenanjung Melayu, orang Wedda di Sailan, Negrita di Fhilipina. Kulitnya hitam dan badannya kecil berambut keriting.
Nenek moyang bangsa Indonesia datang ke-kepulauan ini kelompok demi kelompok dan dalam 2 (dua) gelombang besar dari India Belakang (Birma, Siam, dan Indo Cina). Mereka yang datang dalam gelombang pertama dinamakan denagn Proto Melayu, sedangkan gelombang kedua dinamakan dengan Deutre Melayu.
Nenek moyang kita, gemar berlayar sehingga perjalanan menuju pulau Indonesia tidaklah sukar, mereka pun sudah pandai bercocok tanam dan memelihara ternak. Selain itu mereka sangat ahli dalam ilmu bintang yang bertalian dengan pelayaran dan musim. Kepercayaan mereka adalah menyembah roh-roh yang sudah meninggal dunia, dan yang paling dihormati adalah roh pembangun suku atau negeri. Roh-roh tersebut dapat memasuki tubuh atau jasad-jasad dukun dan guru-guru yang biasanya perempuan. Setelah membakar kemenyan mereka menari dengan diiringi oleh bunyi-bunyian. Hal ini masih terlihat pada suku-suku yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindia, Islam, dan Batak. Mereka memilih tempat tinggal di pinggir-pinggir sungai dan tanah subur di sekeliling/sekitar gunung berapi.
Keberadaan mereka di kepulauan Indonesia terpisah-pisah dan jarang berhubungan komunikasi satu dengan lainnya, lama-kelamaan terjadi perbedaan dalam adat-istiadat dan bahasa, namun tetap tampak persamaan-persamaan yang mendasar.
Karena terdesak oleh pendatang-pendatang dalam gelombang kedua (Deutre Melayu) yang lebih cerdas dan tinggi kebudayaannya, suku-suku yang tergolong Proto Melayu ini seperti orang Batak Karo, Gayo, Toba, Toraja, Dayak, dan lain-lain masuk ke pedalaman di sepanjang pinggir sungai-sungai.
Sebagai suku bangsa yang digolongkan kepada Proto Melayu, suku Gayo yang konon berasal dari India Belakang ini mula-mula mendiami pantai timur dan utara Aceh, di tempat Kerajaan Samudera Pasai dan Peurlak. Dalam usaha mencari tanah baru sebagai areal pertanian, sebagian pindah ke pedalaman sepanjang sungai Peusangan, Jambo Aer, Penarun, Simpang Kiri, Simpang Kanan terus ke daerah yang sekarang bernama Gayo Kalul dan Gayo Lues.
Akibat dari terjadinya peperangan/serangan dari Kerajaan Sriwijaya dalam tahun 1271 atas Kerajaan Peurlak dan serangan Kerajaan Majapahit dalam tahun 1350 atas Kerajaan Samudera Pasai.
Akibat dari peperangan tersebut maka bertambah banyaklah mereka yang mengungsi ke pedalaman, yang kelak tidak mau kembali lagi kendati musuh telah menyerah. Orang Gayo yang telah mendiami daerah pedalaman lalu membentuk Kerajaan Lingga (Linge).
Kalau dilihat dari silsilah Kerajaan Linge, maka dapat kita kemukakan :
Raja Linge yang pertama adalah Tengku Kawe Tepat, yang mempunyai 4 (empat) orang anak :
1. Anak pertama perempuan bernama Empu Beru yang tinggal sama ayahnya di Linge.
2. Anak kedua laki-laki bernama Si Bayak Linge. Anak ini setelah dewasa bersama-sama rekannya berangkat ke daerah Karo dan bermukim dekat pegunungan Si Bayak.
3. Anak yang ketiga laki-laki bernama Merah Johan, juga setelah dewasa berangkat ke daerah Aceh yang bermukim di Lamuri.
4. Anak yang bungsu laki-laki bernama Merah Linge. Anak inilah yang menetap bersama ayahnya, serta sebagai pengganti ayahnya sebagai Raja Linge kedua.
Penduduk Linge lama kelamaan bertambah banyak, kemudian mereka berpindah-pindah mencari tempat pemukiman baru, sebagian mereka ada ke dataran tinggi Gayo, selanjutnya menjadi penduduk asli Gayo.
IV. Suku Gayo Penduduk Asli Provinsi Nanggroi Aceh Darussalam
Suku Gayo merupakan suku tertua di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini dapat dibuktikan melalui dua fakta berikut ini. Pertama, bila dicermati bahasa daerah suku Aceh, banyak kosa kata yang berasal dari bahasa asing, seperti bahasa Ingris, Cina, India, dan lain-lain seperti dikemukan Ayah Panton (2007 : 3-5) dan disarikan dari hasil wawancara dengan Israwati (tanggal 23 Desember 2007) berikut ini:
Tabel 1
Asal Kosa Kata Bahasa Aceh
Nomor Bahasa Aceh Bahasa Asal Asal Bahasa Artinya
01 rod road Inggeris jalan
02 god good Inggeris baik
03 nomboi number Inggeris nomor
04 meukat market Inggeris pasar
05 kot coat Inggeris Jas
06 cawan cawan Cina cangkir
07 camca camca Cina sendok
08 thong thong Cina celana
09 khong khong Cina satu-satunya
10 katam khatam Arab tamat
11 zuad zuwad Arab nikah
12 qurbeun qurban Arab korban
Berdasarkan tabel 2.1 di atas dapat dilihat bahwa kosa kata dalam bahasa Aceh banyak berasal dari bahasa asing. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa suku Aceh berasal dari beberapa bangsa asing, karena bahasa menunjukkan bangsa. Hal ini didukung pula oleh wilayah yang didiami oleh suku Aceh adalah wilayah pesisir pantai, yaitu daerah yang pertama disinggahi oleh para pendatang.
Kedua, banyak nama geografis (khususnya nama-nama tempat) di daerah Aceh berasal dari bahasa Gayo. Seperti tabel berikut ini:
Tabel 2
Nama-nama Tempat dari Bahasa Gayo
Nomor Nama Tempat di Aceh Dalam Bahasa Gayo Artinya
01 Langsa lang sa besok siapa
02 Beruen berren bayarkan
03 Besitang besi tatang angkat besi
04 Sigli si geli yang gelik
05 Linge linge suaranya
06 Selawah selo sawah kapan sampai
07 Tapak Tuan tapak tuen jejak tuan
08 Takengon entah kuengon ayuk saya lihat
09 Meulaboh mera beluh Mau pergi
10 Singah Mata singah mata Pemandangan
11 Tamiang entah semiyang Ayok sembahyang
Berdasarkan tabel di atas, terbukti bahwa nama-nama tempat banyak yang berasal dari bahasa Gayo. Hal ini membuktikan bahwa daerah Aceh pertama sekali ditemukan, dilalui atau didiami oleh suku Gayo. Sehingga para pengembara suku Gayo ini memberikan nama-nama tempat yang mereka lalui dan digunakan sampai sekarang.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dijalankan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. Suku Gayo sama dengan suku-suku lain di Indonesia, yaitu berasal dari India Belakang.
2. Suku Gayo merrupakan suku atau penduduk tertua di Provinsi Nanggroi Aceh Darussalam.
3. Suku Gayo memiliki ciri-ciri dan kebudayaan sendiri, yang membedakan dengan suku lain di nusantara ini.
4. Suku Gayo yang tersebar di beberapa kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah sama. Jika ada terjadi perbedaan bahasa dan budaya akibat asimilasi dengan suku-suku yang berada di sekitarnya.
BAHAN BACAAN
Buniyamin S. 1994. Budaya dan Adat Istiadat Gayo Lues. Blangkejeren: Pemda Kabupaten Gayo Lues.
Elly Radia. 2000 “Geografi Dialek Bahasa Gayo di Kecamatan Bebesen” Skripsi (Latihan Ilmiah). Medan: Fakultas Sastera USU.
Hasan Leman. Tanpa Tahun “Kebudayaan Gayo Lues”. Blangkejeren: Kertas Kerja Persidangan.
Hurgronje, C. Snock. 1996 Tanah Gayo dan Penduduknya. Jakarta: INIS.
Isma Tantawi. 2006. “Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran Masyarakat
Gayo”Tesis. Malaysia: University Sains Malaysia.
Ina Gah. 1990. IPS Sejarah. Bandung: Ganeca Exact
Koentjaraningrat.1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Isma Tantawi. 1985. “Nilai-Nilai Estetika Dalam Novel Layar Terkembang dan Jalan Tak Ada Ujung: Sebuah Perbandingan” Skripsi. Medan: Fakultas Sastera Universitas Sumatera Utara.
M. Melalatoa. 1985 Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
M. J. Melalatoa. 2001. Didong Pentas Kreatifiti Gayo Jakarta: Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan dan Yayasan Obor Indonesia Bekerja Sama dengan Yayasan Sains Estetika dan Teknologi.
M. Salim Wahab. 2003. Sejarah Singkat Terbentuknya Kabupaten Gayo Lues. Blangkejeren: Pemda Kabupaten Gayo Lues.
Mahmud Ibrahim. 1986. Peranan Islam Melalui Adat Gayo Dalam Pembangunan
Masyarakat Gayo, (Makalah Seminar). Takengon: 20 – 24 Juni 1986
Jahidin. 1969. Adat Perkawinan Suku Gayo, (Makalah Seminar). Blangkejeren,
Januari1969.
H. M. Zainuddin. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara II: Medan: Pustaka Iskandar
Muda
Hasan Sulaiman. 1969. Kesenian Gayo Lues, (Makalah Seminar). Blangkejeren:
Tahun 1969.
R. Hakim Aman Pinan. 2001. Daur Hidup Gayo. Takengon: Pemerintah Daerah Aceh Tengah.
Ismaini. 1976. Migrasi Spontan Orang Batak Toba ke Daerah Kabupaten Aceh Tenggara. Jakarta: Perpustakaan Nasional
M.Z. Abidin. 1969. Asal Usul Suku Gayo, (Makalah Seminar). Blangkejeren:
Tahun 1969
M. Hasan Daud T. 1969. Kebudayaan Masyarakat Gayo Lues, (Makalah Seminar). Blangkejeren: Tahun 1969
M. J. Melalatoa. 1986. Peranan Islam melalui Adat Istiadat Gayo dalam Pembangunan Masyarakat Gayo, (Makalah Seminar). Takengon : 20 – 24 Juni 1986
M. J Melalatoa. 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta: PN Balai Pustaka
Samsuddin Said. 1993. Busana Pengantin/Tata Rias Gayo Lues, (Makalah Seminar).
Blangkejeren: Tahun 1993.
Samsuddin Said. 1985. Didong Gayo, Suara Muhammadiyah, Edisi II, 1985.
LAKA. 1990). Pedoman Umum Adat Aceh, Edisi I. Propinsi Daerah Istimewa Aceh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh.
Sulaiman Hanafiah.1984. Sastera Lisan Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Source: http://ismatantawi.blogspot.com/2009/05/orientasi-dan-sejarah-suku-gayo.html
Penulis menyebutkan adanya ‘Gayo Alas’, padahal Alas bukanlah Gayo. Alas adalah penduduk pribumi di Aceh Tenggara di sebuah lembah di antara Gayo Lues dan Karo. Memang, di Aceh Tenggara orang Gayo yang merupakan pendatang dari Gayo Lues kini hidup berdampingan dan berbaur dengan orang Alas, namun Alas bukanlah Gayo.
Assalamualaiku, Wr, Wb
Dear,
Membaca keseluruhan tulisan mengenai Gayo (/Alas) ini, nampak sekali Penulis berusaha menghindari diri dari “Batak”. Saya sebagai orang Gayo di perantauan dan kiranya begitu juga Gayo (/Alas)di seluruh dunia menyebut diri sebagi bagian dari major entity yakni “Batak”. Sejujurnyalah bahwa Gayo dan Alas sebagai sub-entity dari Batak.
Patut diduga penulis menghindari Batak karena Batak identik dengan Kristen, sementara Gayo dan Alas eksis di Nanggroe Aceh Darussalam (padahal ada Batak/Tapsel yang muslim…)..Ataukah karena Batak identik dengan sesuatu yang ‘keras dan kepala batu’.
Kesultanan (kerajaan) Aceh (Muslim/Monotheist) zaman dahulu kala adalah tempat para pangeran dari Tanah Batak (Animisme/Penyembah Berhala) mempelajari ilmu keprajuritan. Dan para penguasa Aceh dulu dengan giat mengirmkan tenaga pendidik prajurit untuk para pasukan di Bakkara.
Jadi agak aneh kalau ada yang coba membuat ‘batu kerikil’ dalam sejarah Aceh dan Batak…
Lagipula penduduk tertua di Aceh bukanlah Gayo dan Alas… sebelum Gayo dan Alas eksis di Aceh berbagai suku sudah eksis di Aceh… Ini perlu ditegaskan agar para pencari pengetahuan di internet tidak dikelirukan oleh info yang kurang tepat…
Memang akan ada segelintir orang Gayo dan Alas yang agak kurang nyaman jika mereka disebut Batak…Sama seperti beberapa gadis-gadis dan pemuda-pemuda Batak (dari Tapanuli) zaman sekarang yang menyatakan: “Saya orang Medan…”. Wah-wah-wah…
Penulis harus berbesar hati, berlapang dada, dan berfikir jernih bahwasanya Gayo dan Alas adalah Batak… Yakinlah orang-orang Aceh tidak lantas meminggirkab kita orang Gayo dan Alas hanya karena kita Batak… Mereka, orang-orang Aceh, juga memiliki orang-orang tua yang pintar bercerita sehubungan dengan sejarah Aceh dan Batak… Terutama pertemanan para Teuku-teuku dari Aceh ( yang Muslim) dengan para pangeran dari Tanah Batak (yang Pagan)!
Wassalam…!