Oleh Win Wan Nur
Kemarin seorang teman men-tag saya di sebuah note berjudul Tanoh Gayo ; Geneva Van Sumatra (Jenewa Dari Sumatra).
Note ini ditulis oleh Sabela Gayo yang mengaku sebagai – Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Gayo (PP IPEGA). Dalam tulisannya Sabela mengatakan banyak kemiripan antara Takengen dan Geneva yang di kota itu sendiri disebut dengan nama Genève (Baca : Zenev). “Orang asing yang berasal dari Switzerland (baca; Swiss) yang pernah datang dan menginjakkan kakinya di Tanoh Gayo pernah menungkapkan bahwa “Kota Takengon hari ini adalah kota Jenewa 200 Tahun yang lalu”. begitu tulis Sabela.
Orang ini bisa jadi benar karena seperti Tanoh Gayo, Swiss adalah sebuah wilayah yang terkenal dengan banyaknya gunung dan dan memiliki banyak danau cantik yang menghiasinya, bukan hanya satu danau seperti yang ada di tanoh Gayo. Kalau ada kota di Swiss yang mau dimiripkan dengan Takengen, sebenarnya dibandingkan Genève, Takengen lebih mirip kota Lugano yang juga memiliki danau yang terletak dibagian negara Swiss yang berhahasa Italia, kota ini masih lebih alami dibandingkan Genève yang kosmopolit.
Tapi sudahlah, berkaitan dengan tulisan Sabela ini saya tiba-tiba teringat pada danau yang menjadi ciri khas kota Geneve yang sebagaimana danau Lut Tawar menjadi ciri khas kota Takengen. Danau ini oleh orang luar disebut danau Jenewa atau Lake Geneva dalam dialek Inggris.
Danau Jenewa ini bisa dikatakan sebagai salah satu danau yang paling terkenal di dunia. Di samping karena kecantikannya danau ini juga terkenal karena di sepanjang tepiannya banyak berdiri kantor-kantor pusat berbagai badan PBB dan organisasi Internasional lainnya.
Setiap tahun, di danau ini diselenggarakan sebuah festival internasional yang sangat meriah. Perayaan festival ini menyedot kehadiran banyak turis setiap tahunnya. “Smoke on the water” http://www.youtube.com/watch?v=9jp3de50_d8&feature=related adalah salah satu lagu terkenal dari grup band legendaris Deep Purple yang liriknya bercerita tentang festival tahunan yang diselenggarakan di salah satu tepian danau cantik itu. (Mudah-mudahan festival Lut tawar yang digagas teman-teman saya bisa mengadopsi semangat dan kemeriahan festival tahunan yang diselenggarakan di tepian Lac du Leman ini)
Tapi penyebutan nama Lake Geneva sebagai mana kita dengar dalam lirik lagu “Smoke on the water” berikut “We all came out to Montreux On the Lake Geneva shoreline” sebenarnya adalah penyebutan yang salah kaprah dan membuat tidak nyaman penduduk yang tinggal di tepian danau ini. Karena danau yang disebut dengan nama danau Jenewa ini sebenarnya adalah nama sebuah danau yang sangat luas yang wilayahnya mencakup Swiss dan juga Perancis. Jenewa hanyalah bagian kecil dari danau ini. Salah satu kota di Perancis yang terletak di pinggir danau ini adalah Kota Evian, kota yang terkenal memproduksi air mineral yang bermerk sama dengan nama kota itu.
Nama asli danau Jenewa ini sebenarnya adalah danau Leman atau Lac du Leman. Bagi penduduk yang mendiami tepian danau ini, (termasuk penduduk Genève sendiri) menyebut nama danau ini dengan nama danau Jenewa adalah sebuah perbuatan yang sangat tidak sopan. Karena dengan penyebutan seperti itu berarti kota-kota lain yang juga terletak di tepi danau ini sama sekali tidak menghargai .
***
Di Aceh, ada sebuah sungai yang bernasib sama seperti danau Jenewa, namanya Krueng Peusangan. Kasus sungai Peusangan ini sebenarnya sama dengan pemberian nama ke Geneva yang dinamai dengan nama sebuah kota di tepian danau itu. Bedanya jika untuk Lac du Leman nama yang dilekatkan orang kepadanya adalah nama kota yang paling terkenal dibanding kota lain di tepian danau ini, untuk Krueng Peusangan, nama yang secara resmi di buku-buku geografi untuk sungai ini adalah nama sebuah kota kecil di bagian hilir sungai.
Kota terpenting yang dilewati oleh Sungai yang berhulu di danau Lut Tawar ini adalah Takengen, ibukota kabupaten Aceh Tengah yang merupakan kota terbesar dan bisa dikatakan pusat peradaban Gayo modern. Jadi kalau penamaan Lake Geneva jadi acuan, kalau sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas dilekatkan pada sungai ini adalah Wih ni Takengen.
Saat masih duduk di bangku SD saya pernah menemui sebuah peta terbitan Jakarta yang menulis nama sungai ini dengan nama terakhir.Tapi Peta-peta lain yang pernah saya miliki semua menulis nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan.
Meskipun kasus penamaan Lake Geneva dan Sungai Peusangan ini sebenarnya mirip. Tapi sikap penduduk yang mendiami kedua tempat itu sangat berbeda, jika penduduk yang mendiami tepian Lac du Leman seperti yang saya sebutkan di atas merasa tabu dan tidak nyaman (mal vu dalam bahasa Perancis) menyebut nama danau ini dengan sebutan Lake Geneva. Suku Gayo yang mendiami bagian terbesar tepian Krueng Peusangan sepertinya sama sekali tidak peduli dengan kejanggalan penamaan sungai ini.
***
Bagi suku-suku yang mendiami bumi Aceh, sungai yang merupakan sumber utama air tawar yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan juga pertanian adalah elemen penting bagi peradaban.
Keluarga saya dari pihak ibu, berasal dari Temung Penanti, sebuah kampung yang terletak di tepi sungai ini. Sewaktu masih kecil saya dan teman-teman saya yang tinggal di kampung ibu saya sangat akrab dengan sungai ini.
Bagi warga kampung kami dan juga kampung-kampung lain yang berada di tepiannya, sungai ini adalah tempat pemandian umum. Pada waktu saya masih kecil, di masa awal sampai pertengahan tahun 80-an juga menjadikan sungai ini sebagai tempat pemandian, di tempat ini pula saya belajar dan akhirnya bisa berenang.
Selain sebagai tempat mandi, sungai ini juga berfungsi sebagai penyedia protein utama bagi warga kampung kami. Jika di rumah sedang tidak ada lauk, warga kampung kami akan pergi ke sungai ini, ke bagian sungai berair dangkal dengan dasar berpasir untuk memunguti ‘memin’, kerang air tawar berukuran kecil (maksimal seukuran jari tangan) untuk kemudian dimasak menjadi sup kerang atau dikeluarkan dagingnya untuk dibuat sambal. Pada waktu saya masih kecil itu, di bagian sungai berair dangkal itu, jauh lebih mudah menemukan ‘memin’ ketimbang menemukan kerikil. Dengan sepotong kaca untuk alat bantu supaya memudahkan melihat dasar sungai, dalam waktu setengah jam saja satu ember memin sudah bisa kami dapatkan. Pada masa itu, di halaman belakang setiap rumah di kampung kami itu, kita selalu mendapati bukit kapur kecil yang tidak lain adalah tumpukan kulit kerang yang hampir setiap hari kami konsumsi.
Sayangnya sekarang ‘memin-memin’kecil yang lezat itu sudah punah semuanya, bukan karena terlalu banyak dipunguti. Tapi ‘memin-memin’ itu tiba-tiba banyak yang mati dan akhirnya sekarang menghilang sama sekali.
Waktu itu, kalau kami ingin menikmati variasi lauk yang lain. Kami tinggal mendatangi bagian aliran sungai berair dangkal tapi berarus deras dengan dasar berbatu. Di tempat itu, di bawah batu-batu di dasar sungai berair dangkal dan berarus deras ini banyak terdapat ikan ‘ILI’, satu spesies ikan berkulit coklat dengan bintik hitam seperti macan tutul dengan ukuran tubuh maksimal sebesar jari kelingking. Dengan bermodalkan “serampang”, tombak bermata dua seperti garpu yang kami buat dari peniti yang diikatkan di ujung bambu sebesar kelingking, kami mengangkat batu-batu itu dan dengan cepat menombak ‘ili’ yang terlihat. Untuk mendapatkan ikan ini tidak segampang mendapatkan memin, berbeda dengan memin yang dalam setengah jam kita bisa mendapatkan satu ember, dalam berburu ‘ili’ ini, seharian berada di sungai pun satu mangkok kecil ‘ili’ susah kami dapatkan. Senasib dengan ‘memin’, ‘ili’ pun sekarang sudah menghilang, bedanya kalau memin kami tidak mengetahui sebab menghilangnya, ili menghilang karena kemunculan alat penangkap ikan dengan menggunakan arus listrik dari aki yang kami sebut ‘stroom’. Dengan alat ini ‘ili’ yang sebelumnya begitu sulit didapat dengan serampang menjadi sangat mudah ditangkap.
Sekitar tahun 1985, dengan bermodalkan satu buah alat ‘stroom’ kami sekampung pernah mengadakan pesta besar makan-makan di tepi sungai. Waktu itu saya ingat dalam waktu beberapa jam saja para orang tua dan kakak-kakak kami yang menggunakan alat stroom sudah mendapatkan hampir dua karung ikan berbagai jenis, mulai dari ‘ili’, belut, lele, gabus sampai ‘denung’, sejenis belut air tawar yang ukurannya bisa sampai sebesar alat takaran 2 literan.
Selain ikan-ikan itu, lauk alternatif lain yang bisa kami dapatkan di sungai ini adalah ‘gerep’, kepiting air tawar yang berukuran maksimal sebesar jempol kaki orang dewasa yang hidup di tempat yang sama dengan ili. Meski tidak semudan mendapatkan ‘memin’mendapatkan kepiting ini jauh lebih mudah ketimbang ‘ili’, dengan modal yang sama seperti mencari memin yaitu kaca, seharian mencari di sungai kami bisa mendapatkan gerep sebanyak satu kantong plastik ukuran 1 kiloan.
Begitu pentingnya sungai bagi penduduk Aceh yang tinggal di sepanjang alirannya maka tidak heranlah kita menemui banyak sungai di Aceh dinamai sesuai dengan nama suku Aceh yang mendiami tepiannya. Di Aceh kita mengenal Lawe Alas yang terletak di bumi Alas yang dinamai sesuai nama suku yang mendiami daerah itu. Lalu ada Krueng Aceh yang membelah kota Banda Aceh, di Aceh Timur ada Sungai Tamiang yang dinamai sesuai dengan nama suku Tamiang dan di Aceh Selatan ada Sungai Kluet yang dinamai sesuai dengan nama suku Kluet.
Tapi anehnya, meskipun daerahnya banyak dilewati aliran sungai besar, tidak satupun sungai di Aceh yang dinamai Wih Ni Gayo.
Krueng Peusangan sendiri yang merupakan salah satu sungai terpenting di dataran tinggi Gayo, bagi orang Gayo seolah adalah sebuah sungai tanpa nama. Di kampung saya dan semua kampung yang dilewati aliran sungai ini, orang Gayo yang mendiami tepiannya hanya menyebutnya dengan nama Wih Kul yang berarti sungai Besar. Nama Krueng Peusangan hanya akrab di telinga orang-orang di generasi saya yang mengenal nama ini dari pelajaran geografi di sekolah. Orang-orang di generasi kakek saya misalnya, sangat asing dengan nama ini. Orang-orang dari generasi bapak saya pun merasa sangat janggal menyebut nama sungai ini dengan nama Krueng Peusangan. Nama Peusangan yang dilekatkan pada sungai ini lebih banyak dikenal orang sebagai nama sebuah Klub Sepak Bola Garuda Pesangan yang berasal dari desa Asir-asir yang memang terletak di tepi sungai ini.
Karena itulah sampai hari ini saya masih tidak mengerti kenapa nama yang dilekatkan pada sungai tersebut adalah Krueng Peusangan, padahal sungai ini mengalir sejauh ratusan kilometer jaraknya melewati daratan luas yang sebagian besar adalah wilayah Gayo.
Kemudian karena DAS sungai ini juga yang paling banyak berada di wilayah dataran tinggi Gayo , saya jadi sering bertanya dalam hati kenapa sungai ini dinamakan “Krueng” yang berarti sungai dalam bahasa Aceh pesisir, bukan “Wih Ni” yang juga berarti sungai dalam bahasa Gayo.
Menurut logika saya, kalau pun sungai ini harus dinamai dengan nama sebuah kota yang dilewatinya maka nama yang paling pantas saya pikir adalah “Wih ni Takengen” sebagaimana yang tertulis di sebuah peta yang saya lihat sewaktu saya duduk di bangku SD. Nama ini pantas bukan saja karena Kota ini yang terletak di hulu sungai yang merupakan sumber utama air yang mengaliri sungai ini, tapi itu juga karena kota inilah yang merupakan kota terpenting yang dilewati aliran sungai ini. Sementara Peusangan hanyalah nama sebuah kota kecil yang terletak di bagian hilir aliran sungai ini.
Tapi karena sekitar 80 % DAS (daerah aliran sungai) ini mengaliri bumi Gayo yang menyebabkan orang Gayo pun memiliki ketergantungan dan ikatan emosional yang kuat kepada sungai ini. Hubungan emosional yang jauh lebih kuat daripada yang dimiliki penduduk yang tinggal di wilayah hilirnya, kemudian fakta bahwa sungai ini pun berhulu di Danau Lut Tawar yang secara de facto merupakan simbol dari lansekap Gayo. Maka saya pikir, dibandingkan dengan nama Wih Ni Takengen akan lebih elok lagi kalau sungai ini dinamakan Wih Ni Gayo.
Tapi tentu saja itu semua hanya andai-andai saja. Sampai saat ini dan entah sampai kapan nama sungai kebanggaan orang Gayo ini tetap “Krueng Peusangan”. Orang Gayo dari generasi sebelum kami, jika dibandingkan dengan orang suku Aceh bisa dikatakan rata-rata apolitis, sehingga hal-hal ‘kecil’ seperti ini tidak banyak menarik perhatian mereka.
Sikap mereka ini sangat berbeda dengan generasi Gayo yang seangkatan dengan saya, yang melihat kejanggalan penamaan sungai ini jadi bertanya-tanya dalam hati. “Tidakkah pemberian nama KRUENG PEUSANGAN terhadap sungai ini berkaitan dengan politik dominasi suku Aceh yang selama ini mereka terapkan terhadap suku-suku minoritas yang sama-sama merupakan penduduk asli wilayah ini?”.
Wassalam
Win Wan Nur