Tarmizi A Karim : Ada Komunikasi yang Tersumbat di Aceh

Tarmizi A Karim (The Atjeh Post)

HARI ini, 10 Februari 2012,  Tarmizi Karim mulai bertugas setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Tarmizi A Karim sebagai gubernur Aceh sementara. Bupati Aceh Utara periode 1998-2004 itu diharapkan mampu mewujudkan pilkada Aceh yang damai tanpa kekerasan.

Sejauh ini belum muncul suara-suara yang menentang penunjukan Tarmizi Karim sebagai  Penjabat Gubernur Aceh. Tarmizi memang bukan sosok yang meledak-ledak. Tutur katanya tertata. Ketika menjabat Bupati Aceh Utara, ia dikenal mampu merangkul berbagai kalangan.

Lahir di Lhoksukon, Aceh Utara, pada 24 Oktober 1956, Tarmizi  telah mengisi sejumlah posisi di birokrat. Sebelum menjadi Bupati Aceh Utara, ia adalah Pimpinan Badan Koordinasi, Promosi dan Penanaman Modal. Setelah masa jabatannya sebagai bupati Aceh Utara habis pada 2003, ia kembali didaulat memimpin daerah ‘hotspot’ di masa konflik itu hingga dua tahun kemudian.  Jangan lupa, periode Tarmizi sebagai Bupati Aceh Utara adalah masa-masa ketika konflik Aceh-Jakarta memuncak.

Pada 2007, Tarmizi hijrah ke Jakarta. Dia dipercaya sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri bidang Keuangan dan Ekonomi. Setahun kemudian, pada 2008, ia ditunjuk sebagai Penjabat Sementara Gubernur Kalimantan Timur.  Pada Oktober 2010, Tarmizi menjadi Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri.

Ketika musim pilkada Aceh tiba, Tarmizi sebenarnya sempat berniat mendaftar sebagai calon Gubernur Aceh. Ketika itu, bahkan sudah ada tim yang bertugas menggalang dukungan dan menjalin komunikasi politik dengan partai-partai di Aceh. Pada malam terakhir pendaftaran 7 Oktober 2011, saat menit-menit terakhir penutupan pendaftaran calon, Tarmizi berada di Banda Aceh menjajaki kemungkinan maju. Namun, entah bagaimana, pada akhirnya ia tak muncul sebagai kandidat hingga akhirnya Presiden menunjuk suami Inayati itu sebagai Penjabat Gubernur Aceh.

Menjadi Penjabat Gubernur Aceh di musim pilkada, tentu bukan pekerjaan gampang bagi Tarmizi. Ditambah pula aroma konflik belum sepenuhnya menguap  dari Aceh. Apa strategi Tarmizi untuk meredam dan mengawal Aceh hingga terpilih Gubernur baru? Wartawan The Atjeh Post mewawancarai melalui telepon selular pada 9 Februari 2012, sehari setelah dia dilantik sebagai Penjabat Gubernur. Berikut petikannya:

Apa agenda pertama yang anda lakukan setiba di Aceh?
Agendanya saya ingin bersama masyarakat salat di Masjid Baiturrahman. Lalu silaturahmi di kediaman. Sorenya saya diundang DPRA untuk  penutupan sidang paripurna soal anggaran. Setelah dari DPRA, malamnya ada lepas sambut dengan Pak Irwandi dan para Muspida di Anjong Mon Mata.

Kapan anda tahu ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur Aceh?
Dua hari sebelumnya. Saya ditelepon oleh Pak Mendagri (Gamawan Fauzi). Dia bilang,”Pak Tar, siap-siap kita mau pelantikan  sebagai Penjabat Gubernur Aceh sesuai Keputusan Presiden. Tolong selesaikan semua persoalan yang ada sampai terpilihnya kepala daerah yang baru.”

Setelah itu saya telepon Pak Irwandi. Saya bilang,”Pak Gubernur datang ke Jakarta kan?” Lalu dia bilang belum mendapat undangannya. Saya kontak Ibu Sekjen (Depdagri) rupanya undangannya sedang dipersiapkan. Besok, Pak Irwandi langsung berangkat ke Jakarta.

Nama anda sudah disebut-sebut jauh-jauh hari sebelum pelantikan…
Iya, waktu itu saya juga diinformasikan oleh Pak Menteri bahwa nama saya termasuk yang diajukan ke Presiden. Pak Gamawan bilang,”Pak Tarmizi mungkin nanti akan ditugaskan ke Aceh.” Mungkin Pak Menteri sudah berfikir kemungkinan itu sebelumnya.

Saya melihat Pak Gamawan ini cukup konsen soal Aceh. Setiap bertemu saya, yang ditanya adalah.”Pak Tarmizi, bagaimana Aceh. Seolah-olah saya ini representasi Aceh di Depdagri (tertawa kecil)

Soal jabatan Anda sebagai Kepala Pusdiklat Depdagri bagaimana?
Disampaikan oleh Ibu Sekjen, pergi dulu ke Aceh sampai selesai semua tugas di sana. Nanti akan ditunjuk penjabat sementara untuk menggantikan saya di Pusdiklat.

Apa yang terpikir ketika pertama sekali mengetahui Anda akan bertugas di kampung halaman sebagai Penjabat Gubernur dengan kondisi politik Aceh saat ini?
Begini. Kebetulan  sebelumnya saya juga dipesankan oleh Menteri Dalam Negeri. Beliau bilang,”Pak Tarmizi, kuncinya bagaimana Pak Tarmizi mengkomunikasikan dengan semua elemen di Aceh. Jadi yang terpikir oleh saya adalah bagaimana menyatukan pikiran kita. Saya kita itu sangat efektif untuk menjembatani perbedaan.

Anda yakin bisa menjembatani perbedaan itu?
Aceh ini sangat dinamis sekali. Saya juga pernah bertugas di luar daerah sebagai Penjabat Gubernur di Kalimantan Timur. Ini enegeri bagi saya. Saya memandang itu potensi bagi saya demi memajukan Aceh ke depan. Kuncinya jangan ada komunikasi yang tersumbat antara kita.

Artinya selama ini ada komunikasi yang tersumbat di elit politik Aceh?
Terus terang saja, sebelumnya saya melihat seperti itu. Masing-masing berjalan dengan pikirannya sendiri, dengan judgement-judgement (menghakimi) terhadap pihak lain. Kenapa itu tidak dikomunikasikan  dan duduk bersama mencarikan jalan keluarnya.

Anda pernah bertugas di Kalimantan. Apa hal mendasar yang membedakan Aceh dan Kalimantan?
Saya melihat yang paling mendasar adalah soal culture atau budaya. Di sana, mereka terdiri dari beragam suku. Ada 6 sampai 7 etnis di Kalimantan Timur. Ada Jawa, Dayak, Madura, Makassar dan lain-lain. Pada kondisi keberagaman seperti itu, mereka masing-masing akan mencari teman  karena ada kebutuhan untuk saling mengenal satu sama lain.

Sedangkan di Aceh, kita hanya satu etnis. Sehingga kadang-kadang rasa keegoan kita muncul. Lalu keluarlah itu menjadi seolah-olah kita sedang perang antara sesama kita.

Tidak ada faktor lain selain itu?
Ketika kita datang ke suatu daerah, culture itu sangat penting karena itu akan menentukan bagaimana kita berkomunikasi dengan mereka. Lalu baru masuk ke soal lain seperti potensi ekonominya dan lain-lain.

Nah, untuk Aceh, saya melihat, kemajuan kita sangat tergantung pada derajat keterbukaan kita, the degre of opennes. Harus terbuka, tidak diam-diam sehingga transparansi menjadi penting. Saya kira di Aceh, mindset yang harus diubah adalah bagaimana membuka diri. Satu hal lagi, yang paling penting adalah bagaimana masyakat merasakan kehadiran pemerintah. Rakyat harus merasa punya ‘hub’ karena ada pemerintah dalam hidup mereka.

Apa yang paling berkesan bagi anda selama bertugas di Kalimantan Timur?
Yang paling mengesankan di sana itu, hubungan antara eksekutif dan legislatif sangat bagus. Bayangkan, ketika awal saya bertugas di sana, Kaltim itu provinsi yang selalu telat dalam soal pengesahan anggaran. Nah, ketika saya masuk, kita dapat duduk bersama dengan harmonis, mencarikan jalan keluar untuk setiap masalah. Hasilnya, setahun kemudian Kaltim menjadi yang pertama selesai anggarannya. Boleh dicek di Departemen Keuangan, saya kira masih ada catatannya.

Kami mendapat informasi anda bahkan diantar oleh masyarakat ke Bandara saat mengakhir masa tugas. Bagaimana ceritanya?
Saya kira itu biasalah. Yang menjadi esensi kehidupan  saya di sana adalah, saya telah meletakkan platform transparansi dalam pemerintahan. Itu yang paling mengesankan buat saya.

Oke. Kembali ke Aceh. Banyak suara-suara yang meminta anda bersikap netral dalam pilkada mendatang. Apa yang akan anda lakukan agar tidak terseret dalam kepentingan salah satu kandidat kepala daerah?
Kemarin dalam pertemuan dengan orang Aceh yang ada di Jakarta saya katakan, semua juri yang hebat-hebat  dalam sepakbola itu adalah mantan pemain. Ketika menjadi wasit, pasti ada keinginan untuk menendang bola lagi. Tetapi itu tidak dilakukan. Tugas wasit adalah mengawasi permainan agar tidak ada kecurangan-kecurangan dalam permainan.

Artinya, bagi saya semua kontestan calon kepala daerah itu adalah teman saya. Oleh karena itu saya tidak mau berpihak kemana-mana. Tidak mungkin saya menyakiti salah satu teman saya. Soal ada orang yang salah sangka, ya silahkan saja. Saya yang paling tahu apa yang harus saya lakukan dengan tugas yang saya emban.  Jika ada yang bilang pada saya,”Pak Tarmizi, tolonglah saya dibantu.” Saya akan jawab,”baik, saya akan bantu.” Saya bantu dalam pengertian mengantarkan mereka ke dalam permainan agar bisa bermain dengan tenang, nyaman dan tidak ada kecurangan. Mohon maaf, saya tidak akan ikut dalam permainan. (Yuswardi A Suud | The Atjeh Post)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.