Urang Gayo Kurang Dikenal dan (Tidak) Diberdayakan

Jakarta | Lintas Gayo – Tak bisa dipungkiri, urang dan tanoh Gayo masih kurang dikenal di luar Aceh. Pengakuan itu salah satunya berasal dari Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia (PAMMI), H. Muhammad Ali Zaini. “Saya baru tahu Gayo. Itu pun dari Bu Muryati Tanjung. Karena, kita sama-sama di PAMMI,” akunya di Jakarta Selatan, Senin (13/2/2012).

Padahal, sambungnya, kalau ada acara-acara di rumah, saudara saya sering mengundang tarian dari Aceh. “Apa, ya, nama tarinya? Kayaknya, Saman. Saya bawa CD-nya, kok,” ujarnya. “Itu bukan tari Saman, pak Aji,” timpal Arnold, suami Muryati setelah menyaksikan CD yang dibawa Haji Ali di Bengkel Musik Aria Tanjung. “Kalau itu namanya Ratoh Duek,” jelasnya.

Tak lama, Muryati, menerangkan, di luar Aceh, banyak orang yang menganggap, di Aceh cuma ada suku (bahasa) Aceh. Padahal, selain Aceh, ada suku Gayo—kedua mayoritas, Alas, Singkil, Kluet, Anak Jameuk, Tamiang, dan Simelue. Ditambah lagi, suku pendatang lainnya. Dalam kaitan itu, sebetulnya nama Aceh merujuk pada nama daerah. Tapi, orang (etnik) Aceh tetap diuntungkan dengan penamaan (Aceh) tersebut. Akibatnya, persepsi serta kejadian-kejadian seperti tadi tidak bisa dihindari. Kecuali, nama Propinsi Aceh berubah nantinya. “Pastinya, persepsinya pun akan berbeda kalau nama propinsinya bukan Aceh,” katanya.

Duta Gayo?

Dimintai pendapatnya (14/2/2012), Prof. DR. M. Dien Madjid, mengatakan, ada yang kurang berjalan dari orang Gayo. “Kejadian tersebut mestinya jadi momentum intropeksi diri buat orang Gayo baik secara personal, kolektif (organisasi Gayo) maupun dari Pemerintah Kabupaten—Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah “Pemerintah Gayo” sendiri,” katanya.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, lebih lanjut, menerangkan, orang-orang Gayo yang ada di perantauan sebenarnya berperan sebagai Duta Gayo. Mereka punya andil dalam memperkenalkan Gayo. Persoalannya, “Apakah semuanya sudah berjalan?” Demikian halnya masalah publikasi, “Apakah publikasi kita sudah maksimal?” tanyanya. “Kalau belum, kita harus berbuat dan memaksimalkan usaha ke arah itu,” ajaknya.

“Sebetulnya, potensi orang Gayo itu luar biasa. Sayangnya, ‘tidak’ diberdayakan dengan baik. Khususnya, oleh Pemerintah Kabupaten. Karenanya, perlu perhatian, dukungan, dan peran langsung dari Pemerintah Gayo,” pungkas Alumni Universitas Leiden itu. Beberapa waktu yang lalu, ujarnya, beliau sempat mengusulkan kepada Bupati Bener Meriah, untuk mengundang seluruh tokoh-tokoh intelektual Gayo untuk duduk bersama (pakat murum) di tanoh Gayo. “Atau, mereka—eksekutif dan legislatif—yang ke sini. Alhasil, mereka bisa sharing dan memetakan pelbagai persoalan di Gayo. Pada akhirnya, solusinya bisa kita cari bareng-bareng. Kalau semua potensi tadi diberdayakan, apalagi sumber daya manusianya, baik di Gayo maupun di luar Gayo, Gayo akan cepat maju,” katanya optimistis (al-Gayoni)

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.