Hidup Tanpa Batas

Oleh Johansyah*

.

Manusia normal pada umumnya akan memanjatkan do’a kepada Tuhan agar umurnya ditambah dan dipanjangkan. Jika sakit atau tertimpa bahaya maka ia akan bermohon agar sembuh dan selamat dari maut. Dalam Islam, permohonan tersebut tercermin dalam beberapa rangkaian do’a seperti; ‘Allahumma thowwil ‘umurana’ (ya Allah, panjangkanlah umur kami).

Tidak mengherankan kemudian, jika dunia perfilman pun mengangkat cerita-cerita yang mengisahkan seorang ilmuan yang meracik ramuan spesial untuk dapat hidup awet selama ratusan tahun dan produknya menjadi barang rebutan. Dalam puisi pun, keinginan untuk berlama-lama hidup ini tercermin dalam ungkapan; ‘aku ingin hidup seribu tahun lagi’.

Bagaimana pun sunnatullah berkata lain, alam akan tetap ‘mengharamkan’ makhluk apapun yang secara fisikal akan hidup kekal. Waktu secara maraton akan menggiring makhluk yang hidup pada perubahan menuju kemusnahan yang tidak terelakkan; dari kecil ke besar, dari muda ke tua, bahkan ‘layu sebelum berkembang’. Siapa pun kita, pasti akan bertekuk lutut kepada maut dan mustahil lari darinya, sebab maut merupakan salah satu domain transendental yang menjadi rahasia Tuhan. Dalam sebuah titah-Nya telah dijelaskan bahwa ‘…di mana pun kamu berada, maut akan tetap mengejarmu, walau berada di tembok besi yang kokoh sekali pun…’ (QS.An-Nisa [4]: 78).

Lalu, bagaimana mewujudkan kekekalan hidup dengan keterbatasan waktu dan umur yang dimiliki seseorang?. terhadap masalah ini sebenarnya Islam menyuguhkan ‘resep khusus’, tentu saja bukan dengan mencari obat pengawet supaya dapat hidup ratusan atau ribuan tahun, akan tetapi dengan cara meningkatkan produktifitas amal. Seperti yang dipetakan salah satu hadits Nabi Saw: ‘jika anak Adam mati, maka putuslah segala amalannya, kecuali tiga yaitu; anak amal shalih, sadakah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat’ (hadits).

Di antara esensi hadits di atas adalah seakan-akan Nabi Saw mengatakan bahwa jika seseorang ingin hidup selamanya, maka perbanyaklah amal, karena amal akan kekal. Lebih dari itu, Islam menginginkan pemeluknya untuk tidak bertumpu dan fokus kepada kuantitas umur, tetapi kualitasnya. Umur bisa saja hanya 40 tahun atau kurang dari itu, tetapi dalam rentang waktu tersebut orangnya banyak melakukan kebaikan, apakah yang berhubungan dengan habl min an-nas (hubungan sesama manusia), habl min al alam (hubungan dengan alam), habl min al-makhluqatihi (hubungan dengan makhluk Allah yang lain, maupun habl min Allah (hubungan dengan Allah) itu sendiri.

Lebih jauh, hadits di atas setidaknya memetakan ada tiga ruang yang diberikan kepada kita dalam upaya mengekalkan hidup yaitu anak amal saleh, sadakah jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Anak amal saleh yang melakukan kebaikan apapun, maka kebaikan itu akan mengalir kepada orang tua yang membesarkan dan mendidiknya.

Demikian halnya sadakah, seribu rupiah dangan landasan keikhlasan dan bebas dari bau ria ibadah, pahalanya akan terus mengalir. Dan begitu pula dengan ilmu yang kita peroleh dan ajarkan kepada orang lain, kemudian diajarkannya lagi pada yang lain secara berantai, maka ini semua akan terus mengalir pahalanya tanpa batas waktu meskipun jasad kita telah ‘diistirahatkan’.

Secara kuantitas, banyak orang yang berumur panjang, namun dalam rentang waktu yang panjang tersebut dia gagal memanfaatkannya untuk menebar kebaikan, beramal saleh, dan menggali potensi fitrah yang ada dalam dirinya. Makanya ada cerita yang disampaikan oleh mendiang KH Zainuddin MZ, tentang bapak tua yang ketika ditanyai berapa umurnya, maka ia menjawab 10 tahun, padahal umurnya 60-an tahun. Dia berkata demikian karena merasa baru 10 tahun terakhir dia melaksanakan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya. Begitulah, bapak tua ini baru menyadari jika ternyata hidup itu adalah amal dan menebarkan manfaat kepada orang lain.

Di sekitar kita barangkali banyak orang yang panjang umur, sampai kelihatan tua renta atau ‘berkaki tiga’ menggunakan tongkat. Namun bukankah sebuah kerugian jika umur panjang yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya tidak banyak digunakan untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, kehadirannya bahkan acap kali menebar masalah bukan menyelesaikan masalah. Orang seperti ini sebenarnya adalah orang yang mati secara batin walaupun dia masih hidup.

Dengan Bekal Iman dan Ilmu

Dalam upaya memaksimalkan amal untuk mengisi ruang dan waktu kehidupan, tentu manusia harus memiliki kompetensi pokok kemanusiaan, yaitu ilmu dan iman. Dalam alqur’an kata-kata iman dan ilmu selalu berjalan paralel dan bersanding. Ini artinya keduanya harus dimiliki manusia dalam upaya mencapai produktifitas amal, sehingga seseorang memperoleh derajat manusia ideal yang dimulaikan oleh Tuhan.

Dalam alqur’an telah ditegaskan bahwa; ‘Allah mengangkat orang-orang yang beriman di anatara kamu dan orang-orang yang memiliki pengetahuan beberapa derajat’ (QS. Al-Mujadalah: 11). Antara iman dan ilmu saling memberikan dukungan dan terdapat jalin kelindan yang erat antara keduanya. Iman akan menjiwai dan mengawal pengetahuan yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuan tidak diarahkan pada upaya perusakan melainkan perbaikan, bukan menimbulkan mudarat, akan tetapi manfaat.

Orang-orang yang memiliki kompetensi pokok manusia ideal ini dalam alqur’an dijuluki dengan ulul albab yang mengitegrasikan antara kompetensi zikir (iman) dan pikir (inteletual/pengetahuan). Di Indonesia, pengintegrasian ini dikenal dengan iman dan takwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Hanya orang-orang yang memiliki kompetensi inilah yang mampu mencapai kualitas dan produktifitas amal.

Dengan demikian, resep untuk bertahan hidup adalah memperbanyak amal, dan untuk memaksimlkan amal kita harus memiliki kompotensi pokok manusia ideal sebagaimana diuraikan sebelumnya yaitu iman dan ilmu. Tak dinyana, amal adalah sesuatu yang abstrak, namun di sisi lain dia sangatlah kongkrit dan empiris. Ketika si empunya amal telah pergi menghadap-Nya, amal tetap berjalan dan bertahan seiring dengan guliran waktu tanpa henti.

Semua kita pasti selalu berharap untuk panjang umur, tetapi alangkah ruginya manusia (QS. Al-Ashr: 2), kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh. Seperti cerita pak tua di atas, jika umur kita saat ini 40-an tahun, maka marilah bertanya, amal kebaikan apa saja yang telah kita lakukan?, apakah kehadiran kita bermanfaat bagi orang lain?. Kelak, Tuhan akan meminta pertanggungjawaban kepada kita, untuk apa saja umur yang telah dianugerahkannya kita pergunakan?. Sebagai penutup, marilah kita renungkan salah satu pribahasa berikut; gajah mati meningalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggakan amal. Waalu a’lam.

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.