Catatan: Indra Setia Bakti*
KEBANYAKAN anak begitu terikat dengan televisi. Terbukti pada tahun 2010, Harian Kompas mewartakan survey Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang pola waktu menonton TV pada anak-anak Indonesia, yakni sekitar 4 sampai 5 jam sehari atau 30 sampai 35 jam seminggu. Beberapa survey lain bahkan menunjukkan bahwa waktu menonton TV anak sampai 6 jam sehari atau 42 jam seminggu.
Sepulang dari perantauan, jujur agak kaget melihat kenyataan di dalam keluarga besar penulis sendiri. Berdasarkan pengamatan saat mengunjungi saudara-saudara yang memiliki anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, terlihat anak-anak mereka rata-rata menghabiskan waktu menonton TV sampai lebih kurang 10 jam sehari. Dimulai sejak pulang sekolah (pukul 12.30 WIB), mereka mulai menonton acara siang di berbagai televise swasta nasional. Pukul 15.00-16.00 WIB anak-anak tersebut kembali membuka channel TV untuk menonton acara sore. Kadang-kadang kalau ada ibunya, mereka bersama-sama menonton acara gosip. Ini sungguh disayangkan, karena menurut penulis acara gossip selebriti tidak layak dikonsumsi oleh anak di bawah umur.
Kondisi begini, terkadang shalat Maghrib pun dilupakan. Lalu berturut-turut setiap sejam, dari pukul 19.00-22.00 WIB mereka menonton sinetron. Akhirnya pukul 22.00 WIB baru mereka tidur, karena esok pagi harus berangkat ke sekolah. Sepulang dari sekolah kegiatan tersebut berulang kembali dan bagi penulis, ini sangat mengkhawatirkan, mengingat tidak banyak unsur edukasi yang ditampilkan oleh berbagai tayangan tersebut.
Anak sepertinya telah kecanduan televisi. Masalahnya adalah apa pengaruh dari menonton TV yang berlebihan bagi perkembangan anak-anak kita? Kekhawatiran penulis yang pertama terkait daya atau kemampuan analisis anak yang masih rendah. Mereka belum bisa sepenuhnya memisahkan antara dunia imajinasi dan realita. Mereka juga memiliki kecenderungan melakukan imitasi atau meniru perilaku orang dewasa. Pemerhati masalah anak, Seto Mulyadi, menyatakan bahwa televisi dapat membawa pengaruh negatif pada anak karena sering menonjolkan sisi-sisi yang berbau seksualitas, kekerasan, mistik, dan gosip. Selain itu, berbagai iklan yang ditayangkan di sela-sela acara TV dapat berpengaruh pada gaya hidup konsumtif pada anak.
Kekhawatiran kedua terkait masalah perlunya interaksi anak dalam mendukung perkembangan psikologis mereka. Bila menonton TV sudah menjadi perilaku yang adiktif, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah (di depan televisi) ketimbang bermain di luar bersama teman-teman. Kalau diperhatikan sekilas, anak-anak di Takengon dewasa ini mulai jarang yang kelihatan beraktivitas di luar rumah, padahal Kota Takengon sudah ramai penduduk. Berbeda dengan anak-anak Takengon sekitar 20 tahun yang lalu, yang terlihat ramai bermain karet, kelereng, layang-layang, petak umpet, dan berbagai macam permainan lain yang memacu kreativitas, sportivitas, serta sosialisasi tugas dan peran. Ke mana perginya dunia bermain anak-anak yang mulai langka tersebut? Mungkin sebagian besar anak-anak masa kini lebih suka menghabiskan waktu di rumah dengan menonton TV, bermain playstation, atau bermain game online di warnet-warnet terdekat.
Kekhawatiran ketiga terkait kurangnya waktu belajar anak. Anak menghabiskan waktu menonton TV jauh lebih banyak dibandingkan memanfaatkan waktu belajar di rumah. Cobalah dikira, jangan-jangan waktu belajar anak-anak di rumah kita tidak lebih dari sejam sehari, itupun karena ada PR dari guru. Hal ini kurang baik untuk perkembangan akademis mereka di sekolah. Cobalah dikira kembali, jangan-jangan anak-anak kita juga lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV ketimbang mengaji (mengkaji agama), seolah televisi adalah agama bagi anak-anak, sebab di sanalah waktu mereka banyak tercurahkan. Kalau sudah begini jadinya, ajaran televisi bisa lebih melekat di benak anak ketimbang ajaran Al Quran. Dan sekali lagi, ini kurang baik untuk perkembangan spiritual mereka.
Apa yang mesti kita lakukan? Berharap bahwa stasiun TV akan lebih mempertimbangkan banyak tayangan edukasi sepertinya agak berat mengingat dunia pertelivisian kita sudah berada pada era industri hiburan. Maka para orang tua sudah seharusnya menyelamatkan anak-anak mereka dari perilaku adiktif tesebut dengan mengembangkan cara kreatif masing-masing. Anak-anak perlu dibimbing menonton TV dengan benar, baik waktu maupun acaranya. Melarang sepenuhnya anak menonton TV juga bukan cara yang bijak.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui jadwal acara TV, lalu menetapkan jadwal nonton TV anak pada jam tayang acara edukasi. Saat ini terdapat beberapa tayangan yang menurut penulis sangat edukatif dan bahkan perlu ditonton oleh anak-anak kita. Sejalan dengan itu, orang tua juga harus menunjukkan ketegasan dan wibawanya dengan mengurangi jam menonton TV pada anak. American Academy of Pediatrics merekomendasikan waktu menonton TV bagi anak sekitar 2 jam saja dalam sehari. Tentu saja anak-anak kita akan protes dengan aturan tersebut. Maka memberi pengertian yang baik, lebih dianjurkan ketimbang melarang begitu saja tanpa alasan yang bisa diterima oleh akal si anak. Atau kita dapat mencari cara dengan sering-sering mengajak anak-anak kita beraktivitas di luar rumah, misalnya berolahraga, bermain, mengembangkan hobi, dan sebagainya.
Tempat belajar anak juga harus diposisikan berada jauh dari televisi. Sebaiknya suara televisi tidak terdengar dari ruang belajar anak-anak kita, karena dapat memancing perhatian mereka. Lebih tidak baik lagi kalau anak-anak kita belajar di depan televisi karena mereka tidak akan benar-benar konsentrasi belajar. Di sisi lain, kita sebagai orang tua pun sebaiknya membatasi waktu menonton TV, karena pendidikan yang baik dimulai dari teladan yang baik pula.
Cara yang lain yakni menemani anak menonton TV. Menurut Steven Covey, membiarkan anak menonton TV tanpa pengawasan sama saja membiarkan orang lain masuk ke rumah kita, lalu orang itu mengajarkan banyak hal yang tidak benar kepada anak-anak kita. Tidakkah ini mengerikan?
*Penulis adalah warga Kota Takengon