RENCANA pemerintah untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) awal April ini ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Seperti biasa, penolakan yang keras tentu datang dari gerakan mahasiswa yang berunjuk rasa hampir setiap hari di seluruh wilayah nusantara. Sikap penolakan ini wajar, karena kenaikan BBM jelas akan berkonsekuensi pada naiknya bahan-bahan sembako yang menyulitkan rakyat kecil.
Dengan dalih untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kenaikan BBM sepertinya harga mati dari pemerintah, kendatipun banyak yang menolak. Jika demikian, barangkali demonstrasi turun ke jalan dengan semangat empat lima, bukanlah langkah efektif dalam membuktikan solidaritas kita kepada kaum miskin, sebab demonstrasi tidak akan berpengaruh kepada urungnya niat pemerintah menaikkan BBM. Di sisi lain, hal ini tidak memberi efek positif bagi masyarakat kecil. Berarti, harus ada langkah lain yang nyata untuk membuktikan solidaritas kepada rakyak kecil.
Langkah nyata yang penulis maksud adalah membangun kesadaran implementatif untuk mau dengan tulus menggalang dana bagi kaum miskin yang ada di sekitar kita sekiranya BBM naik nantinya. Ketidaksetujuan kita tidak hanya terekspresi melalui omelan-omelan kepada pemerintah di warung kopi, atau orasi-orasi di atas mimbar, melainkan ditunjukkan dalam aksi nyata dengan menyumbangkan sebagian isi dompet untuk kerabat kita yang tingkat ekonominya memprihatinkan.
Memang, dalam hal ini pemerintah paling bertanggung jawab. Artinya jika BBM stabil maka tidak ada gonjang-ganjing sebagaimana kondisi sekarang, apalagi dengan alasan menyelamatkan BBM, padahal uang Negara ini banyak diperas oleh koruptor secara berjama’ah. Ini pula yang membuat masyarakat ‘geli’dengan alasan pemerintah tersebut.
Namun demikian, jika kita hanya menyerang pemerintah, lalu tidak ada langkah nyata menolong mereka yang ekonominya lemah, maka secara tidak langsung kita juga sebenarnya ikut bersama pemerintah memperkuat kesulitan ekonomi yang melilit masyarakat kecil, karena yang kita lakukan hanya meraung, menyalahkan, menghujat, sementara kita tidak membuktikannya dalam perbuatan.
Mungkin masih kita ingat, kasus Prita Mulya Sari dengan Rumah Sakit Omni Internasional. Ketika itu, ia dituntut pengadilan untuk membayar denda ganti rugi kepada pihak Rumah Sakit Omni Internasional, karena dianggap mencemarkan nama baik mereka, maka muncullah gerakan pengumpulan koin untuk Prita. Inilah yang penulis maksud aksi nyata, bukan sekedar sesumbar, atau orasi dengan suara lantang.
Agar niat dan kepedulian kita tulus, maka marilah kita semai bibit rasa tanggung jawab sosial, bahwa kita hidup tidak sendiri, membutuhkan orang lain dan demikian sebaliknya. Tidak menganggap permasalahan ini hanya tanggung jawab pemerintah tanpa berpikir bagaimana mencari jalan keluarnya. Selain itu, mari pula kita tanamkan dalam diri masing-masing untuk berpikir berapa yang dapat kita berikan untuk meringankan beban kaum miskin. Jangan malah berpikir sebaliknya, seperti mental calo, hanya berpikir untung dan persen atau fee dari setiap usaha yang saya lakukannya.
Barangkali, dalam kondisi saat ini juga kita perlu ‘melupakan’ pemerintah yang penulis anggap gagal mengayomi dan memberi kesejahteraan pada masyarakatnya, terutama dalam aspek ekonomi. Pemerintah ibarat ‘orang tua’ yang tidak sanggup mengurusi anaknya, yaitu rakyat. Dalam kondisi ini tidak ada jalan lain kecuali menggalang solidaritas dari kita untuk kita.
Masing-masing individu diharapkan mampu berpartisipasi dalam menyikapi gejolak ekonomi yang akan kita hadapi ini. Ini juga menjadi ajang pembuktian kepada seseorang, apakah keberadaannya bermanfaat bagi orang lain dan apakah dia memiliki kecerdasan sosial?, berupa rasa kasih sayang pada sesama, solidaritas, tolong menolong, dan peka terhadap penderitaan orang lain. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw; bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lain.
Syahdan, ada seorang pedagang yang mendengar berita bahwa telah terjadi kebakar di dekat tokonya. Lalu dengan tergesa-gesa ia bergegas menuju ke sana. Sebelum sampai di tokonya, ia dikabari bahwa tokonya tidak terbakar, lalu spontan ia mengatakan Alhamdulillah, ia pun urung diri menuju ke tokonya dan kembali ke rumah. Namun di tengah jalan ia merasa bersalah dan berkata pada dirinya sendiri; ‘mengapa kamu gembira, bukankan toko di sekitar tokomu adalah milik saudaramu juga yang seharusnya kamu tolong, ingatlah, kamu tidak sendirian di dunia ini’. Lalu ia pun memutar badan bergegas menuju toko-toko yang terbakar dan membantu kerabatnya untuk menyalamatkan barang-barang yang bisa diselamatkan.
Kepampuan dan Kapasitas
Dalam kehidupan, profesi dan strata ekonomi kita tentu saja berbeda. Untuk itu, dalam menggalang solidaritas sosial atau memberikan sumbangan kepada saudara-saudara kita, tentunya disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan kapasitas masing-masing. Perlu dicatat, bahwa memberi dengan niat menolong orang lain, bukan banyaknya yang diharapkan, tetapi adanya sumbangan kita, walaupun hanya satu rupiah.
Penulis sangat yakin, bahwa jumlah penduduk yang miskin saat ini di Indonesia jauh lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan penduduk yang kaya atau kondisi ekonominya menengah ke atas. Di antara kita sudah banyak yang Pegawai Negeri Sipil (PNS), Wiraswasta, Kontraktor, Pedagang, Petani, Nelayan, dan profesi-profesi lainnya. Jika memang kita peduli, apa salahnya menyumbang sedikit kepada saudara kita yang miskin. Khusus untuk pedagang, pertolongan nyata yang paling diharap dari mereka adalah agar tidak melakukan penimbunan barang (Ihtikar) dan menjaga stabilitas harga, sehingga masyarakat tidak bertambah sulit.
Akhirnya, menolak kenaikan harga BBM adalah baik, namun jauh lebih baik jika kita mau dengan tulus menyumbang secara nyata untuk rakyat miskin, walau hanya seribu rupiah, atau bahkan seratus rupiah. Agama dan budaya kita tidak akan pernah restu kepada orang-orang hanya pintar berkoar dengan mengatakan mereka pembela rakyat, sementara dia tidak pernah membuktikannya dalam aksi nyata.
*Johansyah adalah Mahasiswa S3 PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh