Karya Kerdil di Industri Lagu Gayo

Oleh: Jauhari Samalanga

BICARA industri musik berarti kita lagi membahas ekonomi musik. Begitupun kalau kita membahas perkembangan musik maka kita sedang bicara perjalanan musik dari waktu ke waktu. tentu saja, terkhusus Gayo.

Saya termasuk orang yang sangat bangga dengan perjalanan musik di Tanoh Gayo, yang secara tidak langsung turut memberi simbol keberagaman Aceh yang luar biasa, dan Gayo adalah salah satu warna tersendiri untuk itu.

Kalau kita kembali melihat sejarah musik di Gayo barangkali nama yang paling melekat pada orang Gayo adalah Mahlil dan Ramlah. Suami istri ini termasuk artis yang mengawali lagu-lagu Gayo dimusikan dan masik yang memulai Industri di Gayo di era 70-an sampai dengan 80-an, namun Mahlil dan Ramlah bukan penyanyi pertama yang betul-betul mempengaruhi industri musik di Tanoh Gayo, termasuk penyanyi Gayo Mayang Murni. dan Esah Renggali atau ada yang menyebutnya Esah Gudug-Gudug.

Industri musik Gayo baru melekat dan berhasil mempengaruhi banyak penyanyi untuk masuk dapur rekaman tatkala Ikatan mahasiswa Gayo (IMAGA) Medan berhasil mendobrak lewat album ‘Murip’ yang dirilis sekitar tahun 1985. Album ini berhasil menembus pemasaran lumayan di gayo, lantaran sebagai yang pertama musik Gayo dinyanyikan dengan lagu-lagu yang bukan diciptakan untuk Didong, tetapi musik.

Dua tahun kemudian Buntul Kubu Jakarta merilis album Gayo Perjelenen I yang menyusul album Murip Imaga. Album ini pun laku keras, karena dinyanyikan dan dikeluarkan di Jakarta.

Baru pada tahun 1988–kala itu sedang berlangsung pekan kebudayaan Aceh ke-3 di Banda Aceh–keadaan musik Gayo berubah total. Saba Group, sebuah group yang terbilang fenomenal kala itu, berhasil merubah wacana musik Gayo melalui album “Depik”. Selain lagu-lagu baru yang disuguhkan, Saba Group direkam dengan kualitas bagus bernuansa Gayo kental pegunungan, sehingga kala itu, soal ‘Sound’ dan enginer menjadi penting dalam mencari format lagu Gayo yang dimusikan.

Pada kisaran tahun itu pula muncul beberapa lagu Gayo lainnya yang berkelas bagus seperti Singkite dan Azman.

Pada era 90-an lagu Gayo semakin membludak–walau hanya untuk konsumsi urang Gayo saja–kehadiran kaset gayo semakin variatif. Semua kelompok musik di Gayo seakan berlomba untuk mengeluarkan album Gayo, padahal sadar atau tidak, mengeluarkan sebuah album membutuhkan biaya besar yang terkadang mengalahkan jumlah penjualannya . Namun sekali lagi, itulah Gayo, lebih mendahulukan emosional yang akhirnya berefek pula pada pelestarian.

Saya secara pribadi juga tidak pernah menemui seorang penyanyi Gayo yang betul-betul dapat menghidupi keluarganya dari hasil penjualan produksi kaset. Biasanya, penyanyi Gayo memilih ‘lubang luang’ untuk bisa bernyanyi, sedangkan profesi sebenarnya bisa sebagai pegawai ataupun petani, karena dua profesi inilah yang sebenarnya menghidupinya.

Kalau kita melihat perjalanannya, maka bisa dipastikan menjamurnya lagu-lagu Gayo akibat semakin murahnya biaya rekaman. Di era 80-an memproduksi lagu-lagu harus dengan modal besar, karena studio dimasa itu Memnggunakan Pita (Manual), sehingga dibutukan waktu lama dengan biaya tinggi. Sekarang berbeda, era digital memungkinkan orang merekam dimana saja, termasuk di kamar pribadi.

Itu sebabnya begitu mudah seorang penyanyi sekarang memproduksi album, dan begitu mudah pula menghilang. Keterlibatan begitu banyak penyanyi Gayo, sebagian besar Ceh Didong, justru tidak meluruskan kekuatan seni Didong, yang terjadi kemudian adalah kemunduran luar biasa. Saya tidak yakin Ceh dapat menjadi penyanyi Gayo yang hebat, karena porsi dia ada pada Didong, sebuah kesenian tradisional urang Gayo.

Sedikit kembali kepada situasi musik era 80 dan 90-an. Standarisasi untuk sebuah album  dibutuhkan sedikitnya 40 shief waktu merekam (1Shif 7 jam), kala itu biaya per Shief untuk pita 2 Inci mencapai Rp400.000 – 600.000, Sedangkan Pita 1 Inci berkisar Rp200.000-30.000, itu diluar Shief mastering yang bisa mencapai 3 Shief dengan biaya yang berbeda pula. Itu sebabnya, kala itu musik tidak menjamur di Gayo.

Baru pada dekade digitalah album-album Gayo menjamur, karena selain berbiaya murah juga tidak sulit menemukan studio.

Persoalan yang kemudian muncul tatkala kita bicara kualitas, gara-gara mudah dan gampang itulah akhirnya sering penyanyi meninggalkan kualitas. Kualitas yang dimaksud bukan semata kualitas Recording, tetapi kualitas lagu. Saya termasuk kalangan yang sedih melihat karya-karya besar dari ceh-ceh hebat terdulu harus merambah menjadi lagu ‘murahan’, semisal didendangkan dengan musik Dangdut, melayu atau Pop, sementara rumusan Didong yang sebenarnya tidak terlihat kuat, sehingga karya besar menjadi karya kerdil.

Anehnya, masyarakat kita menikmati itu, lagu-lagu Didong yang berirama House Remix, atau sejenisnya. Seharusnya lagu-lagu tua itu dijadikan tolak ukur kehebatan Gayo ke depan, bukan justru mengecilkannya hanya karena lagu tersebut milik orang tua atau kakek yang kebetulan Ceh, sehingga Lagu Gayo betul-betul keluar dari etika sebenarnya. Sangat disayangkan.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.