Menata Aceh Pasca Pilkada

Oleh Johansyah*

HASIL pilkada Aceh pada tanggal 9 April yang lalu secara resmi telah diumumkan oleh Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh pada tanggal 18 April kemarin, di mana pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf berhasil mengungguli para kandidat gubernur/wakil gubernur lainnya. Ini pertanda bahwa pluit panjang telah ditiupkan dan perhelatan pilkada Aceh telah usai. Publik berharap tidak ada lagi kelompok yang ‘bermain bola’ pasca pilkada dan berharap situasi Aceh terus membaik.

Ke depan, gubernur/wakil gubernur yang terpilih akan menghadapi multi problem dari berbagai aspeknya. Sejumlah PR besar telah antri berjejeran menanti aksi mereka untuk menuntaskannya. Ini semua tentu membutuhkan visi, misi, dan aksi yang cerdas, akurat serta tepat sasaran dalam menata Aceh ke arah yang lebih baik. Untuk itu, langkah mereka untuk melibatkan para tokoh Aceh sesuai dengan disiplin keilmuan, sebagaimana berita harian Serambi (23/04)  tentunya merupakan langkah yang perlu didukung.

Terkait PR besar pemerintahan Aceh di bawah komando Zaini-Muzakir yang dimasud adalah menyangkut beberapa hal, yakni; Pertama, mengembalikan suasana keamanan Aceh agar kembali kondusif. Zaini-Muzakir harus mampu mengembalikan opini publik yang sempat risau atas serangkaian peristiwa yang mengusik perdamaian Aceh menjelang pilkada kemarin. Bagaimana pun, perdamaian adalah komitmen kita bersama dan tentunya menjadi kebutuhan publik serta modal dasar dalam membangun Aceh.

Kedua adalah revitalisasi syari’at Islam di Aceh. Kita tau bahwa syari’at Islam adalah komitmen bersama masyarakat Aceh, dan yang patut disukuri adalah bahwa pelaksanaan syari’at Islam di Aceh memiliki payung hukum yang kuat yaitu Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan provinsi Daerah Istimewa Aceh, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat Aceh untuk sulit menerapkan syari’at Islam kecuali kita sendiri yang tidak serius melaksanakannya.

Dalam lingkup struktural, akhir-akhir ini justru kita melihat penerapan syari’at Islam di beberapa wilayah Aceh seperti beku bagaikan benda yang tersimpan di lemari es. Salah satu kendalanya adalah kepemimpinan yang menukangi dinas-dinas syari’at Islam di kabupaten/kota dianggap masih lemah. Kita berharap agar pemerintah Acah ke depan dapat menempatkan orang-orang yang berkomitmen tinggi terhadap penerapan syari’at Islam sehingga Dinas Syari’at Islam (DSI) bukan sekedar lembaga yang mengurusi musabaqah tilawatil qur’an, atau hal-hal yang tidak bersifat substansial.

Ketiga adalah reformasi birokrasi. Pimpinan Aceh terpilih diharapkan mampu menyapu bersih pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Ini adalah langkah penting dalam upaya sterilisasi pemerintahan dari virus korupsi yang semakin lama semakin kuat menjajah birokrasi kita. Kini, instansi atau lembaga pemerintahan secara umum sudah terinveksi virus korupsi, Kalaupun ada lembaga yang bersih, mungkin jumlahnya sangat sedikit. Ini tentunya PR besar yang juga harus segera dituntaskan.

Tidak dipungkiri, peluang korupsi dalam birokrasi kita saat ini sangat banyak. Para koruptor dapat saja melakukan tindak korupsi dengan beragam cara. Salah satu tantangan terbesar dalam memaksimalkan tugas ini nanti adalah ketika pasangan terpilih ini berhadapan dengan tim suksesnya. Yang jelas politik balas jasa banyak sedikitnya akan berlaku, dan bahwa mereka memiliki kontrak politik yang harus ditunaikan. Ini patut untuk menjadi renungan pasangan terpilih.

Persoalan lain dalam birokrasi saat ini adalah banyak di antara pegawai yang tidak ditempatkan pada posisi sesuai bidang dan keahliannya. Selama ini proses penempatan pegawai selama ini ternyata sarat dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, penempatan pegawai negeri (terutama guru) di wilayah perkotaan dan pedesaan kurang merata, kebanyakan mereka menumpuk di wilayah kota.

Keempat yaitu pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Aceh. Selama ini masyarakat Aceh memang sudah merasakan pemerataan pembangunan, namun kelihatannya masih ada suara sumbang dari beberapa wilayah di Aceh, di mana sebagian masyarakat pada wilayah tertentu merasa dianaktirikan. Penulis yakin, persoalan inilah yang menjadi salah satu dalih untuk pembentukan provinsi baru di bagian barat-selatan dan tenggara-tengah beberapa waktu lalu.

Kita tau bahwa pasangan Zaini-Muzakir yang terpilih dalam pilkada kemarin, unggul di 14 kabupaten, maka jangan sampai sisa kabupaten lainnya yang tidak memenangkan pasangan ini dipandang sebelah mata. Bagaimanapun, sejarah telah berbicara, bahwa banyak para pejabat yang tidak terlalu peduli dengan kondisi masyarakat suatu wilayah karena saat pemilihan mereka kurang mendukung. Sikap inilah yang tentunya perlu dihindari.

Selain persoalan tidak memilih di pilkada, ego sektoral dan upaya kastanisasi suku-suku yang ada di wilayah Aceh perlu dihindari. Harus diakui bahwa di Aceh hidup beragam suku; jame, kluet, gayo, alas, padang, dan suku-suku lainnya. perbedaan ini sejatinya tidak menjadi jurang pemisah dalam membangun persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan Aceh yang bermartabat.

Kelima adalah melanjutkan program pemerintahan sebelumnya yang dianggap baik. Dalam urusan melanjutkan program dengan pelaku di tampuk kepemimpinan yang berbeda, ini sering menjadi persoalan. Di tingkat nasional pun hal ini sering terjadi, ketika ganti kepemimpinan maka berubah kebijakan. Dengan kata lain, penulis ingin mengatakan bahwa jika ada kebijakan-kebijakan sebelumnya dianggap baik, maka kepemimpinan terpilih saat ini tinggal melanjutkan dan menyempurnakannya.

            Dari beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagaimana uraian di atas, kita juga tentu berharap agar gubernur terpilih mau berupaya merevitalisasi tiga keistimewaan Aceh; agama, pendidikan dan budaya. Selama ini, instansi yang menangani ketiga aspek tersebut telah disiapkan, namun wujud nyata dari keistimewaan dimaksud tampaknya belum kelihatan.

Sekiranya kita menganggap Aceh hebat di bidang agama, apakah cukup hanya dengan pengakuan pemerintah pusat mengenai penerapan  syari’at Islam?. Demikian halnya dalam bidang pendidikan, apa yang dapat kita banggakan dari pendidikan Aceh jika dianggap istimewa, adakah perbedaannya dengan daerah lainnya di luar Aceh, baik dari aspek kelembagaan, kurikulum, dan aspek lainnya. Begitu juga dengan keistimewaan bidang budaya, apakah hanya cukup dengan pengakuan dunia terhadap tari saman?.

Tentunya kita semua berharap agar Aceh ke depan menjadi lebih baik dari semua aspeknya, terutama perdamaian agar terus terjaga di bumi Serambi Mekah ini sehingga semua komponen masyarakat dapat mengisi dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan sesuai profesi dan keahlian masing-masing. Marilah kita bangun Aceh dengan semangat perdamaian dengan berladaskan pada syari’at.

*Penulis adalah warga Aceh, tinggal di Bener Meriah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.