Kiblat Kultural

Oleh Johansyah*

Mendengar kata kiblat, maka sesungguhnya yang terbayang dalam benak kita adalah ka’bah yang menjadi ikon religious dalam pelaksanaan ibadah ritual shalat bagi setiap individu muslim, selain sebagai objek wisata spiritual bagi umat Islam yang mampu untuk menjalankan ibadah haji maupun umrah.

Perkara kiblat sepintas kelihatannya sesuatu tidak aktual didiskusikan. Tidak akan banyak yang bertanya; mengapa kiblat kita ke ka’bah dan mengapa bukan ke tempat lain. Tentu persoalan ini tidak perlu dijawab kecuali bagi anak-anak. Kendatipun demikian persoalan yang ingin dimunculkan pada bahasan ini adalah bahwa secara kontekstual ternyata kiblat tidak sesederhana yang dibayangkan. Hemat penulis bahwa dalam setiap aktifitas ternyata kita membutuhkan kiblat, sebuah landasan dan fokus yang menjadi acuan dan sekaligus memengaruhi cara berpikir, rasa dan cara berbuat seseorang.

Persoalannya, jika dalam shalat kita berkiblat dan menghadapkan diri ke ka’bah, maka secara sosial kultural ke manakah kiblat masyarakat kita saat ini?. Apakah masih berkiblat pada nilai-nilai luhur budaya masa lalu ataukah semuanya tergantikan dengan budaya-budaya luar yang diserap oleh masyarakat secara sadar atau tidak sadar.

Inilah yang menjadi kekhawatiran banyak kalangan, bahwa sesungguhnya kiblat budaya kita telah bergeser. Fakta dan realitas sosial sekitar kita saat ini kelihatannya sulit dibohongi dan disembunyikan; bahwa pergeseran budaya itu memang ada karena arus perubahan dan kemajuan pengetahuan dan teknologi yang demikian dahsyat, mulai dari gaya hidup, cara bergaul, cara berpakaian (terutama wanita), cara menyelesaikan masalah, serta hal-hal lainnya.

Di banyak tempat, orang akan dianggap ketinggalan zaman apabila tidak adaptasi dengan perubahan. Di Gayo sendiri, banyak para remaja dan pelajar sepertinya malu berkomunikasi dengan bahasa daerahnya. Mereka lebih memilih menggunakan bahasa nasional (Indonesia). Namun yang kita sesalkan banyak anggapan para remaja bahwa berbahasa daerah dianggap ketinggalan. Tentunya sikap dan asumsi semacam ini adalah kekeliruan besar.

Perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan dan seseorang tidak mungkin melepas diri dari keterikatan ruang dan waktu. Lantas setiap perubahan yang mengitari kita tidak seharusnya menjadikan seseorang terlalu membuka diri terhadap semua itu, melainkan harus memilih dan memilah mana yang sesuai dan mana yang bertentangan.

Sayangnya, masyarakat kita (khususnya orang Gayo) terlalu euforia terhadap hal-hal yang baru tanpa memikirkan dan mempertimbangkanya serta mengukurnya dengan nilai-nilai kearifan lokal dan standar agama yang jelas. Kondisi inilah yang menurut penulis merupakan perilaku dan perbuatan menggeser kiblat dari nilai-nilai kultural yang telah terbangun ke arah upaya mengubur nilai -nilai kearifan lokal. Jika kondisi ini tidak diwaspadai dan hanya diamini, maka secara total budaya masyarakat akan tersisih, bahkan roboh sehingga Gayo kehilangan identitasnya. Secara simbolis mereka Gayo, namun budaya yang tumbuh dan berkembang tidak lagi mencerminkan Gayo.

Hemat penulis, yang paling aneh dalam masyarakat saat ini (khususnya Gayo) adalah respon mereka sangat tinggi hanya terhadap hal-hal yang fisikal dan simbolik; seperti gaya bicara, berpakaian, gaya hidup, cara bergaul dan sebagainya. Akan tetapi respon orang Gayo masih rendah terhadap pendidikan sehingga sumber daya manusia (SDM) masyarakat Gayo sangat minim. Untuk membuktikannya sangat mudah, silakan amati dan lihat, seberapa banyak guru besar (professor), atau Doktor yang berasal dari dataran tinggi Gayo dan seberapa banyak yang memiliki peran dan pengaruh dalam pemerintahan dan masyarakat, baik dalam level nasional maupun regional?. Penulis kira masih sangat sedikit.

Dengan tidak bermaksud merendahkan harkat diri sebagai suku Gayo, sejujurnya penulis mengatakan bahwa tingkat kemodernan masyarakat Gayo masih didominasi oleh hal-hal yang simbolik. Pemaknaan modern diukur dengan handphone (hp), gaya rambut, bicara, dan meniru perilaku-perilaku yang sebelumnya asing dari bangunan budaya masyarakat Gayo. Ketahuilah, pada hakikatnya, secara substansial masyarakat Gayo ternyata belum modern, belum  maju dan masih sangat klasik dan ketinggalan, terutama dari aspek pengetahuan.

Lalu, apakah kita harus kembali ke masa lalu (ulak ku sedenge)?. Yang jelas waktu tidak pernah mengizinkan hal itu. Namun secara substansial, sejatinya nilai-nilai kearifan lokal tetap dipertahankan, terutama terkait dengan adat dan etika yang sudah terbangun sejak lama; sumang opat, penggunaan bahasa Gayo dalam lingkungan keluarga dan tutur. Di sisi lain, paradigma kemodernan kelihatannya harus segera kita perbarui dari pemahaman yang simbolis kepada pemahaman yang substantif; bahwa orang yang ketinggalan itu sesungguhnya bukanlah orang yang lamban dan enggan mengikuti perkembangan teknologi, melainkan mereka yang awam terhadap perkembangan pengetahuan dan tidak mampu bersaing.

Untuk itu, secara kultural kita perlu sering bertanya dan mengevaluasi diri, ke manakah kiblat kita sesungguhnya. Dari perspektif religious, sejatinya tidak hanya shalat yang kiblatnya ke ka’bah, melainkan seluruh perilaku kita harus berpedoman ke sana. Artinya semuanya harus berkiblat pada nilai-nilai luhur Islam.

Eksistensi dunia barat banyak sedikitnya, diakui mendominasi kiblat kultural kita saat ini. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dunia barat dalam menampilkan nuansa modernitas yang mampu memengaruhi pola pikir dan perilaku generasi muda saat ini. Di sisi lain, agaknya Islam dan budaya lokal terlambat mengimbanginya dan hanya mampu menampilkan nuansa klasik yang kemudian dianggap kuno dan ketinggalan zaman.

Adat dan budaya Gayo sendiri, jika disandingkan dengan konsep Islam sangatlah bersesuaian, bahkan tidak banyak yang bertentangan dengan konsep alqur’an. Nah, dalam menyikapi pergeseran kiblat kultural generasi muda saat ini perlu ditempuh berbagai upaya implementatif. Upaya tersebut barangkali direalisasikan melalui tri pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Di sekolah misalnya, adat dan budaya Gayo harus menjadi materi utama dalam muatan lokal, sekaligus menjadikannya sebagai nuansa pendidikan. Sementara dalam keluarga transformasi adat dan budaya Gayo sejatinya harus menjadi program keluarga, tidak peduli apakah mereka di Gayo atau mereka yang berada di perantauan, terutama mengajarkan tutur dan sumang opat. Dan di lingkungan masyarakat, hukum dan peradilan adat harus direvitalisasi dalam upaya penguatan adat dan budaya.

Jika tidak ada upaya implementatif yang kita lakukan, maka pergeseran dan punahnya adat dan budaya Gayo akan semakin dekat waktunya. Tak pelak generasi muda kita akan menjadikan barat sebagai kiblat budaya mereka. Tentu kita tidak menginginkannya bukan?.

*Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Islam tidak membatasi dari mana saja kita dapat mengambil sebuah kebenaran (ilmu pengetahuan, keadaan sosial dan budaya suatu daerah/bangsa) sepanjang relevan dengan nilai-nilai Islam, dan itu telah dibuktikan dalam perjalanan sejarah Islam. Dan dalam konteks membangun kultur Gayo yang baik dan bermartabat ke depan, tampaknya istilah ushul fiqh sangat relevan untuk kita lakukan yaitu” al-muhafadzah ‘ala al- qadiim al-shalih, wal akhdzu bil-al-jadid al-ashlah”, gereke betaya tgk!…..